DENPASAR – Pulau Dewata ditampar cukup keras karena menduduki posisi nomor 1 (satu) penyakit gangguan jiwa skizofrenia se Indonesia hingga tahun 2020 ini.
Padahal pulau ini menjadi destinasi pariwisata dunia. Lalu mengapa hal tersebut terjadi?
Profesor Luh Ketut Suryani, salah satu psikiater dan peneliti isu kesehatan mental di Bali menyebut persoalan ganguan kejiwaan di Bali dengan menduduki posisi 1 menurut hasil riset kesehatan dasar sejatinya sudah terjadi dari tahun 2009 lalu.
Persoalan ini belum juga diselesaikan, padahal sudah 10 tahun berlalu.
“Saya sudah melihat persoalan ini dari tahun 2000an. Saya sudah teriak-teriak, tapi nggak ada yang mau dengar. Pemerintah tak mau melihat ini,” ujarnya saat dihubungi Selasa (21/1).
Katannya, skizofrenia seperti bunuh diri, gangguan jiwa berat dan lainnya ini begitu tinggi di Bali.
Terutama kasus bunuh diri. Di tahun 2004 saja, dalam catatan Prof Suryani sebagai peneliti, jumlahnya sampai di angka 184 orang.
Setiap tahunnya, kasus seperti ini tetap ada dan terjadi pada orang Bali.
Kesalahannya, menurut Prof Suryani karena banyak orang berpikir jika penyakit ganguan jiwa seperti ini adalah faktor genetik.
“Jangan berpikir begitu. Ini bukan urusan genetik,” tegasnya.
Prof Suryani menjelaskan ada faktor lain yang utama.
Seperti pendidikan anak dari usia 1 hingga 10 tahun. Usia yang rentan dalam mendidik anak.
“Untuk orang tua, didiklah anak secara bagus. Jangan bully anak. Kebanyakan orang tua membully anaknya,” sebutnya.
Selain itu, juga ada pengaruh hubungan seksual sebelum pernikahan, persoalan Keluarga Berencana (KB) dan bahkan juga persoalan menggugurkan anak.
“Semoga hal ini mengetuk hati gubernur Bali, bahwa bali sedang dalam keadaan darurat. Termasuk darurat kependudukan. Jangan berpikir pariwisata saja, sayangin penduduk di bali,” tutupnya.