27.1 C
Jakarta
22 November 2024, 1:17 AM WIB

Korban Mengungsi ke Buleleng, Maulidin: Tiap Lima Menit Ada Gempa

SERIRIT – Satu keluarga asal Pulau Lombok, memilih mengungsi ke Kabupaten Buleleng. Mereka mengaku trauma dengan kondisi terkini yang terjadi di Lombok.

Meski trauma, mereka mengaku akan kembali ke Lombok untuk menata kehidupan dari nol. Mereka adalah Muhammad Maulidin, 33 bersama istrinya Samiwati, 26, serta dua orang anak mereka masing-masing Faturohman, 6, dan Patia, 1.

Mereka berempat berasal dari Dusun Gili Trawangan, Desa Gili Indah, Kecamatan Pemenang, Lombok Utara.

Kini mereka menumpang di rumah kerabatnya yang ada di RT 2 Lingkungan III, Kelurahan Seririt, hingga kondisi di Lombok membaik.

Saat gempa Lombok terjadi pada Minggu (5/8) lalu, keluarga ini sebenarnya memilih bertahan di Gili Trawangan. Selama tiga hari mereka tinggal di Bukit Gili karena khawatir ada tsunami.

Setelah gempa mereda, mereka kembali ke desa dan bergabung dengan para pengungsi di Posko Pemenang.

Mereka akhirnya mukim di pengungsian selama beberapa hari. Namun gempa susulan terus menghantui, sehingga mereka tak bisa tidur nyenyak.

“Rasanya itu tiap lima menit ada gempa. Benar-benar trauma rasanya. Lihat bangunan roboh dimana-mana terus terbawa pikiran.

Rumah saya juga temboknya sudah miring, tidak bisa ditempati lagi. Mau masuk ambil barang saja ngeri, takut ada gempa susulan nanti roboh rumahnya,” kata Maulidin saat ditemui di Seririt, kemarin.

Berdasar pertimbangan itu, Maulidin berencana memboyong keluarganya mengungsi ke Seririt.

Ditambah lagi aktivitas ekonomi, kegiatan belajar mengajar, hingga aktifitas perkantoran di tempatnya lumpuh, makin membulatkan tekadnya mengungsi dari Lombok untuk sementara waktu.

Ia akhirnya berangkat dari Lombok pada Rabu (15/8) pekan lalu, via Pelabuhan Lembar. Saat itu ia berangkat bersama beberapa temannya, seperti Khoirul Anwar dan Een.

Dua temannya itu memilih memboyong keluarganya ke Jembrana. Sementara Maulidin tetap ke Seririt. Ia akhirnya sampai di Seririt pada Rabu sore dan tinggal di rumah Muhammad Sanimbar.

Selama di Seririt, peristiwa traumatik yang dialami keluarga ini berangsur-angsur pulih. Hingga gempa kembali terjadi pada Minggu (20/8) malam. Keluarga ini pun kembali teringat dengan peristiwa gempa itu.

“Ya teringat pas kejadian yang dulu. Apalagi pas gempa pertama itu, anak saya sedang ngaji di masjid. Sempat bingung cari anak saya, takut ikut jadi korban,” imbuh Samiwati.

Meski trauma dengan kejadian tersebut, keluarga ini memutuskan kembali ke Lombok setelah kondisi dirasa aman.

Mereka akan kembali menata kehidupan dari nol. Kembali membuka warung makan yang kini harus ditutup karena gempa. Maulidin pun berencana kembali menjadi pekerja serabutan di Gili Trawangan.

Sementara itu Lurah Seririt I Gusti Bagus Sarpa Wijaya mengaku baru mengetahui ada pengungsi gempa Lombok yang kini menumpang di wilayahnya.

“Sementara ini baru satu keluarga ini saja yang terpantau. Nanti kami akan laporkan ke BPBD dan Dinas Sosial. Mudah-mudahan bisa dibantu,” kata Sarpa Wijaya. 

SERIRIT – Satu keluarga asal Pulau Lombok, memilih mengungsi ke Kabupaten Buleleng. Mereka mengaku trauma dengan kondisi terkini yang terjadi di Lombok.

Meski trauma, mereka mengaku akan kembali ke Lombok untuk menata kehidupan dari nol. Mereka adalah Muhammad Maulidin, 33 bersama istrinya Samiwati, 26, serta dua orang anak mereka masing-masing Faturohman, 6, dan Patia, 1.

Mereka berempat berasal dari Dusun Gili Trawangan, Desa Gili Indah, Kecamatan Pemenang, Lombok Utara.

Kini mereka menumpang di rumah kerabatnya yang ada di RT 2 Lingkungan III, Kelurahan Seririt, hingga kondisi di Lombok membaik.

Saat gempa Lombok terjadi pada Minggu (5/8) lalu, keluarga ini sebenarnya memilih bertahan di Gili Trawangan. Selama tiga hari mereka tinggal di Bukit Gili karena khawatir ada tsunami.

Setelah gempa mereda, mereka kembali ke desa dan bergabung dengan para pengungsi di Posko Pemenang.

Mereka akhirnya mukim di pengungsian selama beberapa hari. Namun gempa susulan terus menghantui, sehingga mereka tak bisa tidur nyenyak.

“Rasanya itu tiap lima menit ada gempa. Benar-benar trauma rasanya. Lihat bangunan roboh dimana-mana terus terbawa pikiran.

Rumah saya juga temboknya sudah miring, tidak bisa ditempati lagi. Mau masuk ambil barang saja ngeri, takut ada gempa susulan nanti roboh rumahnya,” kata Maulidin saat ditemui di Seririt, kemarin.

Berdasar pertimbangan itu, Maulidin berencana memboyong keluarganya mengungsi ke Seririt.

Ditambah lagi aktivitas ekonomi, kegiatan belajar mengajar, hingga aktifitas perkantoran di tempatnya lumpuh, makin membulatkan tekadnya mengungsi dari Lombok untuk sementara waktu.

Ia akhirnya berangkat dari Lombok pada Rabu (15/8) pekan lalu, via Pelabuhan Lembar. Saat itu ia berangkat bersama beberapa temannya, seperti Khoirul Anwar dan Een.

Dua temannya itu memilih memboyong keluarganya ke Jembrana. Sementara Maulidin tetap ke Seririt. Ia akhirnya sampai di Seririt pada Rabu sore dan tinggal di rumah Muhammad Sanimbar.

Selama di Seririt, peristiwa traumatik yang dialami keluarga ini berangsur-angsur pulih. Hingga gempa kembali terjadi pada Minggu (20/8) malam. Keluarga ini pun kembali teringat dengan peristiwa gempa itu.

“Ya teringat pas kejadian yang dulu. Apalagi pas gempa pertama itu, anak saya sedang ngaji di masjid. Sempat bingung cari anak saya, takut ikut jadi korban,” imbuh Samiwati.

Meski trauma dengan kejadian tersebut, keluarga ini memutuskan kembali ke Lombok setelah kondisi dirasa aman.

Mereka akan kembali menata kehidupan dari nol. Kembali membuka warung makan yang kini harus ditutup karena gempa. Maulidin pun berencana kembali menjadi pekerja serabutan di Gili Trawangan.

Sementara itu Lurah Seririt I Gusti Bagus Sarpa Wijaya mengaku baru mengetahui ada pengungsi gempa Lombok yang kini menumpang di wilayahnya.

“Sementara ini baru satu keluarga ini saja yang terpantau. Nanti kami akan laporkan ke BPBD dan Dinas Sosial. Mudah-mudahan bisa dibantu,” kata Sarpa Wijaya. 

Artikel Terkait

Terpopuler

Artikel Terbaru

/