26.9 C
Jakarta
27 April 2024, 22:48 PM WIB

Lahan Shortcut Titik 7-10 Bermasalah, Ini Pangkal Masalah yang Terjadi

SINGARAJA – Sejumlah warga Desa Pegayaman, mendatangi DPRD Buleleng kemarin (23/3). Mereka meminta pendampingan dari DPRD Buleleng, terkait masalah pembebasan lahan shortcut titik 7-10 yang tak kunjung tuntas.

Masalah pembebasan lahan itu sebenarnya sudah bergulir sejak awal 2020 lalu. Namun hingga kini belum juga terselesaikan.

Permasalahan sebenarnya berpangkal pada proses apraisal yang berlangsung pada tahun 2019 lalu. Warga merasa harga yang ditentukan oleh tim apraisal tak memenuhi asas keadilan.

Warga sejatinya sempat berencana melayangkan keberatan ke pengadilan. Namun batas waktu pengajuan keberatan sudah tertutup.

“Contohnya pohon cengkih. Pohon kami itu hanya dihargai Rp 1,4 juta per pohon. Sedangkan hasil tahunan kami itu bisa Rp 2-3 juta per pohon.

Jumlah tanaman yang di dalam lahan kami juga tidak dihitung semua,” keluh Wayan Saparudin, salah seorang warga.

Ia mengaku sudah sempat mengadu pada Kantor Pertanahan Buleleng maupun Dinas Pekerjaan Umum dan Penataan Ruang (PUPR) Bali.

Sayang warga tak juga mendapat jalan keluar. Selain menerima hasil dari penetapan tim apraisal.

“Kami ini mau tidak mau harus setuju. Kami sudah sampaikan keberatan tapi tidak pernah ditanggapi. Kami juga sudah sempat diundang

gubernur dan dijanjikan akan diber ganti rugi terhadap barang-barang kami yang luput dari proses pendataan,” imbuhnya.

Sementara itu Anggota DPRD Buleleng H. Mulyadi Putra yang menerima warga, sempat memberikan penjelasan. Warga pun akhirnya mencapai kata sepakat dan bersedia mencairkan uang ganti rugi lahan.

“Kami sudah komunikasi dengan pihak terkait agar menjadi solusi bagi semua pihak. Sehingga proyek ini bisa berjalan lancar.

Jadi sudah ada titik temu, warga siap menerima nilai ganti rugi yang disampaikan pemerintah,” kata Mulyadi.

Sekadar diketahui, proses pembebasan lahan shortcut titik 7-10 menyisakan sejumlah persoalan. Ada yang menganggap harga yang ditawarkan tidak layak dan biaya ganti rugi imaterial tidak diperhitungkan.

Sejumlah warga mengajukan keberatan terhadap nilai ganti rugi. Sayang tak ada penyelesaian terhadap masalah tersebut.

Pemprov Bali hanya melakukan proses konsinyasi, dengan cara menitipkan uang pada Pengadilan Negeri (PN) Singaraja. 

SINGARAJA – Sejumlah warga Desa Pegayaman, mendatangi DPRD Buleleng kemarin (23/3). Mereka meminta pendampingan dari DPRD Buleleng, terkait masalah pembebasan lahan shortcut titik 7-10 yang tak kunjung tuntas.

Masalah pembebasan lahan itu sebenarnya sudah bergulir sejak awal 2020 lalu. Namun hingga kini belum juga terselesaikan.

Permasalahan sebenarnya berpangkal pada proses apraisal yang berlangsung pada tahun 2019 lalu. Warga merasa harga yang ditentukan oleh tim apraisal tak memenuhi asas keadilan.

Warga sejatinya sempat berencana melayangkan keberatan ke pengadilan. Namun batas waktu pengajuan keberatan sudah tertutup.

“Contohnya pohon cengkih. Pohon kami itu hanya dihargai Rp 1,4 juta per pohon. Sedangkan hasil tahunan kami itu bisa Rp 2-3 juta per pohon.

Jumlah tanaman yang di dalam lahan kami juga tidak dihitung semua,” keluh Wayan Saparudin, salah seorang warga.

Ia mengaku sudah sempat mengadu pada Kantor Pertanahan Buleleng maupun Dinas Pekerjaan Umum dan Penataan Ruang (PUPR) Bali.

Sayang warga tak juga mendapat jalan keluar. Selain menerima hasil dari penetapan tim apraisal.

“Kami ini mau tidak mau harus setuju. Kami sudah sampaikan keberatan tapi tidak pernah ditanggapi. Kami juga sudah sempat diundang

gubernur dan dijanjikan akan diber ganti rugi terhadap barang-barang kami yang luput dari proses pendataan,” imbuhnya.

Sementara itu Anggota DPRD Buleleng H. Mulyadi Putra yang menerima warga, sempat memberikan penjelasan. Warga pun akhirnya mencapai kata sepakat dan bersedia mencairkan uang ganti rugi lahan.

“Kami sudah komunikasi dengan pihak terkait agar menjadi solusi bagi semua pihak. Sehingga proyek ini bisa berjalan lancar.

Jadi sudah ada titik temu, warga siap menerima nilai ganti rugi yang disampaikan pemerintah,” kata Mulyadi.

Sekadar diketahui, proses pembebasan lahan shortcut titik 7-10 menyisakan sejumlah persoalan. Ada yang menganggap harga yang ditawarkan tidak layak dan biaya ganti rugi imaterial tidak diperhitungkan.

Sejumlah warga mengajukan keberatan terhadap nilai ganti rugi. Sayang tak ada penyelesaian terhadap masalah tersebut.

Pemprov Bali hanya melakukan proses konsinyasi, dengan cara menitipkan uang pada Pengadilan Negeri (PN) Singaraja. 

Artikel Terkait

Terpopuler

Artikel Terbaru

/