26.2 C
Jakarta
22 November 2024, 4:33 AM WIB

Usai Datangi BPN Gianyar, Warga Bisa Labrak Awig Adat

GIANYAR – Puluhan warga Desa Adat Jro Kuta dan Desa Adat Panglan dari Desa Pejeng Kecamatan Tampaksiring yang meluruk Badan Pertanahan Negara (BPN) mengarah melabrak awig adat.

Bendesa Adat Jro Kuta Pejeng, Cokorda Gde Pemayun, menyatakan warga yang mengadukan kasus tanah adat itu tidak melalui proses di desa adat.

Terkait laporan ke Polres dan aksi masa ke BPN, bendesa Cok Pemayun menghargai upaya masyarakat.

“Kami ikuti saja. Keberatan wajar, tapi sesuai aturan di awig, apabila ada warga keberatan, prosedur harus laporkan sesuai awig,” ujar Cok Pemayun kemarin.

Cok Pemayun membeberkan sejumlah pasal atau paos dalam awig-awig. Yakni paos 63, mengenai prosedur keberatan.

“Pertama sampaikan ke Klian adat. Kalau tidak puas, disampaikan ke sangkepan (rapat) Banjar. Tidak terima, baru mereka sampaikan ke desa adat. Baru sampaikan ke sang rumawos (ke tingkat atas),” jelas tokoh di Puri Pejeng itu.

Ternyata, kata bendesa, upaya sesuai paos 63 tidak pernah dilakukan. “Ini tidak dilakukan ke mereka, langsung ke polisi,” ujar mantan Anggota DPRD Gianyar periode 2014-2019 itu.

Lantaran menangani masalah tanah Pekarangan Desa (PKD) yang notabena tanah adat, lanjut dia, ada paos 67 dalam awig-awig.

“Paos 67, melanggar awig, bisa dikenakan sanksi. Kalau dibahasa Indonesiakan. Denda arta (harta red), dipecat dari desa adat dan pengayaskara

atau minta maaf ke prajuru tentang keiwangankesalahan disertai upacara,” imbuhnya sambil membaca buku awig-awig.

Bendesa menambahkan, tanah yang dipermasalahkan ini adalah tanah Teba. “Tanah untuk memenuhi keperluan saat ngayah di desa. Isinya bambu, kelapa, pisang, pohon enau dan umbi-umbian,” jelasnya.

Dia membeberkan, tujuan tanah teba, ketika krama diminta menyediakan bambu, sudah ada bambu di tega. Begitu juga ketika perlu daun pisang atau buahnya.

“Sehingga nggak sampai membeli. Kena kelapa, itu sudah ada di Teba. Kena pisang sekian lepit, sudah ada. Itu konsep leluhur dulu. Di awig ada,” terangnya.

Disamping itu, klaim warga yang merasa membayar pajak terbantahkan. “SPPT bukan kepemilikan tanah. Wajar tanah teba bayar pajak, karena menghasilkan. Bahkan ada yang dikontrakkan,” ungkapnya.

Selain itu, tanah teba warga jadi bersertifikat tanah ayahan desa, sejak ada program penyertifikatan dari Presiden Joko Widodo.

“Waktu penyertifikatkan tanah ayahan desa, warga mengumpulkan KK dan KTP. Setelah jadi, sertifikat milik adat.

Di dalamnya berisi tanah ditempati Si A, Si B, Si C. Nama mereka tercantum di sertifikat. Mereka jelas tahu, itu tanah ayahan desa,” tegasnya.

Bendesa menilai, dari dari 280 tanah ayahan desa yang dikelola warga yang mengadukan masalah tanah itu 44 orang.

“Yang lainnya mundur, setelah tahu penjelasannya begitu. Bahkan mereka bikin surat pernyataan mengundurkan diri dari keberatan,” pungkasnya.

GIANYAR – Puluhan warga Desa Adat Jro Kuta dan Desa Adat Panglan dari Desa Pejeng Kecamatan Tampaksiring yang meluruk Badan Pertanahan Negara (BPN) mengarah melabrak awig adat.

Bendesa Adat Jro Kuta Pejeng, Cokorda Gde Pemayun, menyatakan warga yang mengadukan kasus tanah adat itu tidak melalui proses di desa adat.

Terkait laporan ke Polres dan aksi masa ke BPN, bendesa Cok Pemayun menghargai upaya masyarakat.

“Kami ikuti saja. Keberatan wajar, tapi sesuai aturan di awig, apabila ada warga keberatan, prosedur harus laporkan sesuai awig,” ujar Cok Pemayun kemarin.

Cok Pemayun membeberkan sejumlah pasal atau paos dalam awig-awig. Yakni paos 63, mengenai prosedur keberatan.

“Pertama sampaikan ke Klian adat. Kalau tidak puas, disampaikan ke sangkepan (rapat) Banjar. Tidak terima, baru mereka sampaikan ke desa adat. Baru sampaikan ke sang rumawos (ke tingkat atas),” jelas tokoh di Puri Pejeng itu.

Ternyata, kata bendesa, upaya sesuai paos 63 tidak pernah dilakukan. “Ini tidak dilakukan ke mereka, langsung ke polisi,” ujar mantan Anggota DPRD Gianyar periode 2014-2019 itu.

Lantaran menangani masalah tanah Pekarangan Desa (PKD) yang notabena tanah adat, lanjut dia, ada paos 67 dalam awig-awig.

“Paos 67, melanggar awig, bisa dikenakan sanksi. Kalau dibahasa Indonesiakan. Denda arta (harta red), dipecat dari desa adat dan pengayaskara

atau minta maaf ke prajuru tentang keiwangankesalahan disertai upacara,” imbuhnya sambil membaca buku awig-awig.

Bendesa menambahkan, tanah yang dipermasalahkan ini adalah tanah Teba. “Tanah untuk memenuhi keperluan saat ngayah di desa. Isinya bambu, kelapa, pisang, pohon enau dan umbi-umbian,” jelasnya.

Dia membeberkan, tujuan tanah teba, ketika krama diminta menyediakan bambu, sudah ada bambu di tega. Begitu juga ketika perlu daun pisang atau buahnya.

“Sehingga nggak sampai membeli. Kena kelapa, itu sudah ada di Teba. Kena pisang sekian lepit, sudah ada. Itu konsep leluhur dulu. Di awig ada,” terangnya.

Disamping itu, klaim warga yang merasa membayar pajak terbantahkan. “SPPT bukan kepemilikan tanah. Wajar tanah teba bayar pajak, karena menghasilkan. Bahkan ada yang dikontrakkan,” ungkapnya.

Selain itu, tanah teba warga jadi bersertifikat tanah ayahan desa, sejak ada program penyertifikatan dari Presiden Joko Widodo.

“Waktu penyertifikatkan tanah ayahan desa, warga mengumpulkan KK dan KTP. Setelah jadi, sertifikat milik adat.

Di dalamnya berisi tanah ditempati Si A, Si B, Si C. Nama mereka tercantum di sertifikat. Mereka jelas tahu, itu tanah ayahan desa,” tegasnya.

Bendesa menilai, dari dari 280 tanah ayahan desa yang dikelola warga yang mengadukan masalah tanah itu 44 orang.

“Yang lainnya mundur, setelah tahu penjelasannya begitu. Bahkan mereka bikin surat pernyataan mengundurkan diri dari keberatan,” pungkasnya.

Artikel Terkait

Terpopuler

Artikel Terbaru

/