SINGARAJA – Sejumlah warga Lingkungan Kayubuntil Barat, Kelurahan Kampung Anyar, mengadu ke DPRD Buleleng.
Mereka mengadukan masalah peralihan hak kepemilikan Rumah Sangat Sederhana (RSS) di Kayubuntil.
Mereka mengklaim hingga kini sertifikat hak milik (SHM) yang terbit, belum diserahkan oleh Kantor Pertanahanan Buleleng karena diminta biaya pengganti sertifikat.
Kepala Lingkungan Kayubuntil Barat Ketut Bukit yang dikonfirmasi terpisah, menyebut yang datang ke dewan hanya oknum warga.
Bukit mengaku tak memberikan mandat maupun wewenang kepada warga yang datang ke dewan. Bukit justru menuding Bagiada tak memiliki hak dalam proses sengketa RSS Kayubuntil itu.
“Saudara Wayan Bagiada tidak punya hak untuk itu. Yang punya hak itu, bapaknya Putu Gede Jati. Bapaknya masih sehat.
Kalau bapaknya sudah meninggal, itu lain ceritanya. Makanya kami pertanyakan motivasinya mengadu ke DPRD itu apa sebenarnya,” kata Bukit.
Menurut Bukit, warga sebenarnya sudah sepakat untuk menyelesaikan sengketa RSS Kayubuntil. Penyelesaian sengketa kini sudah dibahas oleh Kejaksaan Negeri Buleleng.
Bahkan, Kantor Pertanahan Buleleng sudah menerbitkan Sertifikat Hak Milik (SHM) melalui program Pendaftaran Tanah Sistematis Lengkap (PTSL) pada tahun 2018 lalu.
Hanya saja SHM itu belum diserahkan pada warga karena ada masalah bangunan yang masih jadi aset pemerintah daerah.
Masalah bangunan itulah yang kini masih dalam proses mediasi yang difasilitasi Kejari Buleleng. “Sertifikatnya memang belum diserahkan. Karena bangunan RSS ini kan masih aset pemda.
Biar selesai dulu masalah bangunan ini, baru sertifikatnya diserahkan ke warga. Takutnya kalau sekarang diserahkan, nanti ada peralihan hak,
tambah ruwet lagi penyelesaian masalahnya. Kami harap ini bisa segera diselesaikan. Kalau toh ada biaya yang timbul, kami mohon agar seringan mungkin. Karena warga kami ini mayoritas nelayan dan buruh,” imbuh Bukit.
Sementara itu, Kepala Bidang Pengelolaan Barang Milik Daerah Made Pasda Gunawan mengatakan, sengketa itu sebenarnya sudah berlangsung sejak lama.
Permasalahan berawal dari Surat Keputusan Bupati Buleleng Nomor 580 Tahun 1994. Dalam SK itu pemerintah menyatakan akan membangun RSS bagi 98 kepala keluarga di Lingkungan Kayubuntil Barat.
Sebagai konsekuensinya, warga harus membayar biaya Rp 4.000 per bulan selama 20 tahun. Setelah 20 tahun, bangunan itu akan dihibahkan pada warga.
Faktanya sejak 1994 hingga 2014, warga tak pernah membayar biaya tersebut. Dampaknya masalah itu selalu menjadi temuan Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) RI dari tahun ke tahun.
Pada 2017 lalu, pemerintah sebenarnya sudah berusaha menyelesaikan masalah tersebut. Salah satu opsi yang muncul yakni warga membayar nilai bangunan tersebut sesuai dengan nilai yang ditentukan tim apraisal independen.
Pada tahun 2017, tim apraisal menetapkan bahwa bangunan itu senilai Rp 24 juta. Tim juga menetapkan biaya sebanyak Rp 1,44 juta sebagai akumulasi denda yang tak pernah terbayarkan sejak tahun 1994.
Nilai itu harus dibayar oleh warga ke pemerintah. Namun saat itu warga belum sepakat. Karena hanya mencakup masalah bangunan saja.
Sedangkan warga menginginkan agar tanah dan bangunan menjadi hak milik masyarakat. “Saat itu dari kecamatan dan Dinas Perkimta membantu agar bisa dibuatkan SHM lewat PTSL.
Karena status tanahnya kan tanah negara bebas. Informasinya SHM itu sudah terbit. Tapi untuk ganti rugi yang Rp 24 juta itu tidak relevan lagi dijadikan acuan.
Karena sesuai regulasi nilai yang dikeluarkan tim apraisal itu hanya berlaku selama 6 bulan. Jadi nilai yang Rp 24 juta itu bukan untuk biaya pengganti sertifikat. Tapi pengganti bangunan, sesuai dengan yang dikeluarkan tim apraisal,” jelas Pasda.
Pemerintah pun meminta pendampingan hukum pada Kejari Buleleng pada 6 Agustus lalu. Dengan harapan permasalahan ini dapat segera diselesaikan.
Pasda menyebut pihak kejaksaan sudah mengundang warga untuk sosialisasi membahas penyelesaian sengketa RSS Kayubuntil pada 17-23 November lalu.
“Kalau ada yang menyampaikan aspirasi ke DPRD, sah-sah saja. Karena itu hak masyarakat. Kami di pemerintah akan ikuti apa yang menjadi petunjuk dari kejaksaan.
Karena kami sudah minta pendampingan hukum dari kejaksaan. Kami juga tidak ingin masalah ini berlarut-larut,” tukas Pasda.