NEGARA – Sejumlah perbekel di Jembrana mengakhiri masa jabatannya Mei lalu. Sebagian lagi pilih cuti karena akan mengikuti pemilihan perbekel (Pilkel) serentak September mendatang.
Namun beberapa perbekel yang sudah berakhir masa jabatannya, ramai-ramai membeli motor mahal menggunakan Anggaran Pendapatan dan Belanja Desa (APBdes).
Menurut informasi, pembelian motor seharga sekitar Rp 30 juta lebih tersebut sudah dianggarkan dalam APBdes induk 2019.
Awalnya, pembelian motor salah satu merek terkenal tersebut direncanakan oleh seluruh perbekel se-Kabupaten Jembrana.
Namun, karena ada masalah dalam teknis pembelanjaan, akhirnya dibatalkan. Akan tetapi, desa yang sudah terlanjur menganggarkan tetap membeli.
Sedikitnya ada empat desa yang sudah membeli motor N-Max tersebut. Meski menggunakan APBDes, motor tetap dengan plat hitam, bukan plat merah seperti layaknya motor pemerintah.
Motor yang sudah dibeli tersebut digunakan untuk operasional Perbekel. Karena perbekel sudah tidak menjabat, motor dikembalikan pada desa untuk operasional perangkat desa.
Namun yang menjadi pertanyaan warga, motor tersebut tidak menggunakan plat merah sehingga dicurigai menggunakan nama pribadi, sehingga menggunakan plat merah.
Mantan Ketua Forum Perbekel se-Jembrana I Gede Suardika dikonfirmasi terpisah mengaku sudah mengetahui adanya pembelian motor oleh perbekel sejumlah desa tersebut.
Sebelumnya pembelian motor tersebut memang direncanakan seluruh perbekel, karena ada proses yang rumit akhirnya dibatalkan, termasuk Desa Yehembang Kangin .
“Sistem pengadaan sulit terealisasi, makanya dibatalkan,” ujar Suardika yang juga mantan Perbekel Yehembang Kangin.
Menurutnya, pada saat perencanaan pembelian motor tersebut menemui kendala. Tapis ulit untuk direalisasikan karena ada sejumlah syarat yang harus dipenuhi oleh desa.
Di antaranya mengenai proses pengadaan harus menggunakan plat merah yang prosesnya melalui pengadaan barang dan jasa.
“Kita prosesnya sama-sama kita ajak, secara ketentuan dilihat. Prinsipnya karena operasional desa harus menggunakan atas nama desa dan plat merah. Kalau memang terpenuhi bisa direalisasikan,” ungkapnya.
Pihaknya bersama beberapa desa sempat koordinasi dengan supplier motor yang akan dibeli, dua supplier yang ditemui untuk koordinasi menyarankan memakai e-processing.
Di mana pengadaan dilaksanakan oleh orang yang punya sertifikasi pengadaan, tapi desa tidak punya. Sedangkan kabupaten tidak punya kewenangan untuk pengadaan barang dan jasa di desa.
“Itu yang kemarin tidak gambang difasilitasi pihak penyedia barang. Kalau tidak plat merah gampang walau harganya pakai e katalog, cuma pengadaannya yang sulit,” terangnya.
Lantas bagaimana dengan desa yang sudah terlanjur membeli? Suardika mengaku tidak mengetahui secara pasti mekanisme yang digunakan perbekel yang sudah membeli motor tersebut, karena apabila atas nama desa yang belanja sulit terealisasi.
“Secara penganggaran bisa. Tapi karena agak ribet persyaratannya ribet, karena harus DK merah. Teman2 yang jadi, apakah DK merah atas nama desa atau gimana, saya tidak tahu,” ujarnya.
Karena sulit terealisasi, pihaknya sempat menyarankan kepada perbekel untuk berhati-hati merealisasikan rencana tersebut.
Ternyata, sejumlah desa sudah membeli motor yang sudah dianggarkan. “Sempat saya informasikan untuk berhati-hati untuk merealisasikan,
kalau tidak pas jangan dipaksakan ditunda dulu. Biar tidak jadi masalah, niatnya bagus, tapi prosedur jadi masalah,” tandasnya.
Beberapa perbekel yang membeli motor, saat berusaha dikonfirmasi gagal. Dihubungi melalui sambungan telepon tidak ada jawaban. Sementara, hingga kemarin kantor Perbekel masih belum ada yang buka, karena libur manis Galungan.