RadarBali.com – Gunung Agung menjadi buah bibir setelah PVMBG menaikkan statusnya menjadi awas. Beragam spekulasi dari sudut pandang ilmu vulkanologi pun hadir.
Banyak pula yang mengupas dari sisi niskala gunung tertinggi di pulau Dewata ini. Salah satunya dari paguyuban Panji Tohlangkir di bawah komando Jero Lingsir Panji Tohlangkir.
Menurut tokoh spritiual dari Desa Sumberkima, Gerokgak ini, geliat yang ditunjukkan Gunung Agung menunjukkan pertanda alam yang harus dibaca secara utuh oleh krama Bali
Kata Jero Lingsir, ada perbedaan sebelum Gunung Agung meletus pada tahun 1963 dan saat ini. Jika pada 1963, tidak banyak pertanda yang muncul, kali ini berbanding terbalik.
Sejak beberapa tahun terakhir di Gumi Bali, banyak muncul organisasi kemasyarakatan yang memicu gesekan sosial.
Banyak balita yang terlahir tanpa orang tua. Ironisya, kata Jero Lingsir, gunung bukan lagi sebagai tempat puja bakti.
Melainkan gunung dijadikan sebagai tempat memohon dan meminta jabatan, benda-benda pusaka, dan tempat mencari keindahan.
“Beberapa fenomena sosial diatas mau tidak mau kita semua harus intropeksi diri. Harus sadar diri, ada yang salah dengan kita,” ujar Jero Linggir.
Menurutnya, Gunung Agung merupakan titik tertinggi di Pulau Dewata yang sekaligus menjadi instrumen kepercayaan masyarakat Hindu Bali.
Sebagai masyarakat yang dekat dengan alam, setiap situs baik di daratan dan lautan hingga gunung menjadi bagian yang tidak terpisahkan dalam laku spiritual sehari-hari.
Masyarakat Hindu Bali sangat percaya bahwa Gunung Agung adalah tempat dimana bersemayamnya dewa-dewa, dewi-dewi, dan istana dewa.
Oleh karena itu masyarakat Bali menjadikan tempat ini sebagai tempat kramat yang disucikan. Namun sekarang, kata dia, Gunung Agung tidak lagi sebagai tempat sakral.
Melainkan tempat menghibur diri, bahkan kesucian agung dijual sebagai objek tujuan wisata. Jero Lingsir menambahkan, banyak cerita tentang gunung tertinggi di Bali yang berlokasi di Kecamatan Rendang, Karangasem.
Konon awalnya Gunung Agung adalah nama sebuah bukit sejak puluhan ribu tahun yang lalu. Namun ketika Ratu Pakulun Ida Hyang Pasupati yang berstana di puncak Gunung Semeru, Jawa Timur melakukan perjalanan ke arah timur sampailah beliau di sebuah bukit.
Bukit tersebut kemudian diberi nama Bukit Tohlangkir yang kemudian sampai sekarang kita kenal dengan nama Gunung Agung.
“Dalam keyakinan kami Beliaulah yang berstana di Puncak Gunung Agung sampai dengan sekarang,” tutupnya