RadarBali.com – Meski hidup di pengungsian sedikit terjamin, para pengungsi tetap saja gelisah. Mereka mulai berpikir pindah mencari tempat baru yang aman.
Kegelisahan tersebut cukup beralasan. Warga khawatir masa erupsi Gunung Agung berlangsung hingga bertahun-tahun seperti halnya Gunung Sinabung.
Warga yang tinggal di lereng juga masih trauma tragedi letusan 1963 yang berlangsung selama setahun.
Keinginan untuk mencari tempat baru yang aman itu diungkapkan Wayan Warsa, 33, warga Br. Sogra, Desa Sebudi, Kecamatan Selat. Br. Sogra adalah desa teratas di lereng Gunung Agung.
Setelah Br. Sogra tidak ada lagi desa. Jarak Br. Sogra dengan puncak Gunung Agung sekitar 3 kilometer.
“Desa saya desa di titik nol, paling atas. Kalau gunung meletus diibaratkan pohon roboh, batang pohon jatuhnya di desa kami,” tutur Warsa kepada Jawa Pos Radar Bali.
“Sekarang ini status awas saja kami sudah tidak berani tinggal di kampung. Kami sudah kehilangan pekerjaan sebagai petani maupun pemandu wisata. Setiap hari gempa terus, belum nanti gunungnya meletus,” imbuhnya lirih.
Di pengungsian dia tidak bisa tenang karena tidak bekerja. Warsa juga masih harus bolak-balik pengungsian ke rumahnya untuk mengecek barang yang ditinggalkan.
Warsa berharap pemerintah bisa mencarikan tempat baru yang aman dan memadai untuk kelanjutan hidup warga Sogra.
Dengan nada yakin, dia siap merantau meninggalkan tanah leluhur untuk mencari hidup lebih baik. Dia ingin tempat baru tersebut berada di luar Bali, namun mempunyai karakter mirip dengan Bali.
Di tempat baru tersebut warga bisa bertani sebagaimana latar belakang warga Sogra sebagai petani. Keinginan untuk mencari tempat baru itu menurut
Warsa juga banyak diungkapkan warga lain. “Kalau bisa tempat baru itu menyediakan lahan pertanian. Mungkin menggarap kelapa sawit atau hutan lainnya. Bertani tapi selain sawah, karena kalau sawah kami kurang cocok,” papar pria berkumis tipis itu.
Keseharian Warsa sebagai pemandu wisatawan. Dia tergabung dalam kelompok sadar wisata (pokdarwis) desa setempat.
Warsa mengaku tidak berani lagi mengantar tamu ke puncak pada 14 September lalu. Tepatnya setelah Gunung Agung mulai bergolak dengan aktivitas gempa cukup tinggi.
“Banyak tamu yang menghubungi ngajak naik ke atas. Tapi saya tolak. Saya tidak berani, taruhannya nyawa,” terang bapak dua anak itu.
Saat wisatawan ramai, Warsa dan anggota pokdarwis bisa mengantar 60 orang tamu. Satu orang pokdarwis membawa satu kelompok pendaki, terdiri dari dua hingga tiga orang.
Biaya yang dikenakan satu kelompok pendaki Rp 450 ribu. Namun, pekerjaan yang memberikan nafkah warga desa itu saat ini ditinggalkan sampai waktu tak ditentukan.
Diceritakan Warsa, Br. Sogra saat letusan 1963 korban selamat cukup banyak meski berada di daerah terdekat kawah. Dibanding tempat lain korban meninggal paling sedikit.
“Saya juga heran, letaknya paling atas tapi korbannya sedikit. Saya dan warga yakin, Ida Sang Hyang Widhi Wasa (Tuhan) melindungi kami,” tukasnya