33.4 C
Jakarta
22 November 2024, 14:25 PM WIB

Respons Pengungsi Pascaturun Status, Ada yang Sedih karena Bekal Habis

RadarBali.com – Turunnya status Gunung Agung dari Awas menjadi Siaga disambut suka cita beberapa warga di pengungsian.

Di antaranya adalah Nengah Sama, warga Geriana Kangin, Duda Utara, Selat, Karangasem. Dia mengaku senang karena bisa merayakan Galungan di rumah.

Padahal, dirinya juga sudah bersiap siap merayakan Galungan di pengungsian, di Banjar Pakel, Desa Sampalan Tengah, Klungkung.

Warga pengungsi di sana juga sudah berencana mebat (memasak)  karena mendapat sumbangan babi dari Bupati Klungkung, I Nyoman Suwirta.

 Untuk potong babi dan mebat akan tetap dilakukan di banjar. Persiapan upacara juga akan dibuat di pengungsian.

Namun demikian, sembahyang akan bisa dilakukan lebih nyaman dan kusuk. Dia juga mengaku lebih tenang mengajak anak anak untuk pulang sekaligus merayakan Galungan.

Hal yang sama juga dikemukakan I Wayan Sadi, pengungsi asal Dusun Tukad Sabuh, Selat, Karangasem. Dia mengaku senang karena bisa merayakan Galungan di kampung halaman.

Padahal, dirinya sudah bersiap siap untuk merayakan Galungan secara sederhana. Bahkan buah dan jajan yang dibeli juga tidak banyak karena banten yang dibuat tidak sebanyak kalau Galungan lagi aman.

“Kali ini tetap kami rayakan dengan sederhana sekalipun sudah bisa pulang,” ujarnya. Kisah lain dituturkan Wayan Wirya,45, warga dusun Pemuteran, Rendang.

Dia justru mengaku sedih. Karena sekalipun bisa pulang merayakan Galungan, namun dia mengaku sudah tidak punya apa- apa.

Satu ekor sapi miliknya sudah dijual seharga Rp 4 juta sejak awal ngungsi. Mestinya sapi tersebut normal laku Rp 10 juta.

Sementara, uangnya dipakai bekal saat mengungsi dan sekarang ini tinggal Rp 57 ribu. “Ini sisanya tinggal segini,” ujarnya, sambil menunjukkan uang yang diambil dari saku celananya.

“Saya malah sedih, apa pakai saya merayakan Galungan. Sementara tidak punya apa – apa lagi. Kebun sayuran sekarang ini tidak ada lagi.

Sedangkan kalau harus tanam tidak punya modal. “Apa saya kasih makan anak- anak saya nanti,” ujarnya, sedih.

Wirya sendiri memiliki dua anak. Yang paling besar sudah kelas III SMP. Sementara anak paling kecil masih SD kelas I.

Awalnya dia mengungsi ke Pengotan, Bangli, selama 20 hari. Namun, sekarang sudah ada di wantilan Jaba Pura Dalem, Rendang.

Selama ini biaya makan dan minim dibantu warga dan pemerintah selama mengungsi. Justru karena pulang, dia malah khawatir tak punya sangu.

“Uang hasil jual sapi sudah habis untuk bekal anak sekolah dan juga biaya bolak balik,” ujarnya. “Saya senang status Gunung Agung turun, tapi saya juga sedih apa pakai biaya saya makan sehari hari,” ujarnya.

RadarBali.com – Turunnya status Gunung Agung dari Awas menjadi Siaga disambut suka cita beberapa warga di pengungsian.

Di antaranya adalah Nengah Sama, warga Geriana Kangin, Duda Utara, Selat, Karangasem. Dia mengaku senang karena bisa merayakan Galungan di rumah.

Padahal, dirinya juga sudah bersiap siap merayakan Galungan di pengungsian, di Banjar Pakel, Desa Sampalan Tengah, Klungkung.

Warga pengungsi di sana juga sudah berencana mebat (memasak)  karena mendapat sumbangan babi dari Bupati Klungkung, I Nyoman Suwirta.

 Untuk potong babi dan mebat akan tetap dilakukan di banjar. Persiapan upacara juga akan dibuat di pengungsian.

Namun demikian, sembahyang akan bisa dilakukan lebih nyaman dan kusuk. Dia juga mengaku lebih tenang mengajak anak anak untuk pulang sekaligus merayakan Galungan.

Hal yang sama juga dikemukakan I Wayan Sadi, pengungsi asal Dusun Tukad Sabuh, Selat, Karangasem. Dia mengaku senang karena bisa merayakan Galungan di kampung halaman.

Padahal, dirinya sudah bersiap siap untuk merayakan Galungan secara sederhana. Bahkan buah dan jajan yang dibeli juga tidak banyak karena banten yang dibuat tidak sebanyak kalau Galungan lagi aman.

“Kali ini tetap kami rayakan dengan sederhana sekalipun sudah bisa pulang,” ujarnya. Kisah lain dituturkan Wayan Wirya,45, warga dusun Pemuteran, Rendang.

Dia justru mengaku sedih. Karena sekalipun bisa pulang merayakan Galungan, namun dia mengaku sudah tidak punya apa- apa.

Satu ekor sapi miliknya sudah dijual seharga Rp 4 juta sejak awal ngungsi. Mestinya sapi tersebut normal laku Rp 10 juta.

Sementara, uangnya dipakai bekal saat mengungsi dan sekarang ini tinggal Rp 57 ribu. “Ini sisanya tinggal segini,” ujarnya, sambil menunjukkan uang yang diambil dari saku celananya.

“Saya malah sedih, apa pakai saya merayakan Galungan. Sementara tidak punya apa – apa lagi. Kebun sayuran sekarang ini tidak ada lagi.

Sedangkan kalau harus tanam tidak punya modal. “Apa saya kasih makan anak- anak saya nanti,” ujarnya, sedih.

Wirya sendiri memiliki dua anak. Yang paling besar sudah kelas III SMP. Sementara anak paling kecil masih SD kelas I.

Awalnya dia mengungsi ke Pengotan, Bangli, selama 20 hari. Namun, sekarang sudah ada di wantilan Jaba Pura Dalem, Rendang.

Selama ini biaya makan dan minim dibantu warga dan pemerintah selama mengungsi. Justru karena pulang, dia malah khawatir tak punya sangu.

“Uang hasil jual sapi sudah habis untuk bekal anak sekolah dan juga biaya bolak balik,” ujarnya. “Saya senang status Gunung Agung turun, tapi saya juga sedih apa pakai biaya saya makan sehari hari,” ujarnya.

Artikel Terkait

Terpopuler

Artikel Terbaru

/