DENPASAR – Wahana Lingkungan Hidup Indonesia Eksekutif Daerah Bali (WALHI Bali), melayangkan surat protes atas rapat paripurna laporan dewan terhadap Rencana Peraturan Daerah tentang Rencana Zonasi Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil Propinsi Bali (Ranperda RZWP3K Bali). Ini setelah DPRD Bali tak mau mendengar atau tuli atas aspirasi masyarakat, salah satunya dari WALHI Bali yang mengajukan interupsi dalam sidang DPRD Bali, Senin (31/8/2020).
Surat tersebut dikirimkan pada hari Rabu, 1 September 2020 kepada Ketua DPRD sekaligus pimpinan rapat Paripurna Ranperda RZWP3K Bali I Nyoman Adi Wiryatama.
Surat protes tersebut dikirimkan karena Rapat Paripurna pembahasan Ranperda RZWP3K sebelumnya (Selasa, 31 Agustus 2020), WALHI Bali tidak diberikan kesempatan untuk menanggapi Ranperda RZWP3K Bali oleh pimpinan rapat paripurna dengan alasan diluar anggota dewan tidak ada hak bicara.
Direktur WALHI Bali I Made Juli Untung Pratama, S.H., M.Kn menyayangkan tindakan ketua DPRD Bali yang melarang WALHI Bali memberikan tanggapan terhadap dokumen Ranperda RZWP3K Bali. Padahal UUD 1945, UU HAM, UU Perlindungan dan Pengelolaan lingkungan Hidup telah menjamin hak masyarakat untuk menyatakan pendapat.
Lebih lanjut, dalam UU MD3, DPRD juga memiliki kewajiban untuk menampung dan menindaklanjuti aspirasi masyarakat. Atas larangan untuk memberikan tanggapan yang disampaikan Ketua DPRD Bali kepada WALHI Bali. Untung Pratama mempertanyakan kapasitas Ketua DPRD Bali sebagai anggota legislatif, karena enggan mendengar alias tuli terhadap aspirasi rakyat.
“Apalagi untuk menampung serta menindaklanjuti aspirasi rakyat. Pantaskah Adi Wiryatama sebagai Ketua DPRD Bali?”, tanyanya Selasa (1/9).
Terkait Teluk Benoa yang ditetapkan sebagai Kawasan Konservasi Maritim dalam Ranperda RZWP3K Bali, Untung Pratama memperingatkan Ketua DPRD Bali agar serius memastikan bahwa Teluk Benoa ditetapkan sebagai Kawasan Konservasi Maritim hingga Ranperda RZWP3K disahkan sebagai Perda.
Karena penetapan Teluk Benoa sebagai Kawasan Konservasi Maritim adalah hasil protes berkali-kali WALHI Bali dalam setiap rapat pembahasan RZWP3K Bali.
“Jangan hanya berbicara saja melindungi Teluk Benoa, karena berbicara tanpa tindakan yang konkret dapat juga dilakukan oleh burung beo,” ujarnya.
Untung Pratama juga menyoroti proyek tambang pasir laut yang diakomodir dalam Ranperda RZWP3K Bali, teletak di kawasan perairan Kuta, Kabupaten Badung seluas 938,34 Ha dan pesisir sawangan seluas 359,53 Ha, yang mengakomodir 2 rekomendasi teknis ijin usaha pertambangan eksplorasi pasir laut tahun 2018 yang sudah terbit kepada 2 perusahaan yakni PT. Pandu Khatulistiwa dan PT. Hamparan Laut Sejahtera.
Atas dasar tersebut, ia menyampaikan bahwa alokasi ruang tambang pasir laut di wilayah Perairan Kuta dan Sawangan yang masuk dalam ranperda RZWP3K diduga sebagai upaya pemutihan pelanggaran tata ruang.
“Patut diduga sebagai upaya pemutihan pelanggaran tata ruang,” tegasnya.
Sebab sebelumnya Pemerintah Provinsi Bali melalui Disnaker dan ESDM telah mengeluarkan Rekomendasi Teknis Izin Usaha Pertambangan (IUP) Eksplorasi Pasir Laut yang merupakan Rekomendasi Teknis IUP Eksplorasi Pasir Laut No. 540/1466/V/DISNAKERESDM dan No. 540/1467/V/DISNAKERESDM tahun, keduanya diterbitkan pada Maret 2018.
WALHI Bali juga menyayangkan sikap DPRD Bali yang mengakomodir rencana perluasan Bandara Ngurah Rai dengan cara reklamasi seluas 151,28 Ha dan rencana perluasan Pelabuhan Benoa dengan cara reklamasi seluas 1.377,52 Ha.
Menurut Untung Pratama, mengakomodir rencana reklamasi perluasan Bandara Ngurah Rai dan rencana reklamasi untuk perluasan Pelabuhan Benoa tidak pernah diatur dalam peraturan tata ruang dari tingkat nasional sampai provinsi.
Ditambah lagi pengalaman buruk reklamasi Pelabuhan Benoa seluas 85 Ha telah menyebabkan matinya hutan mangrove seluas 17 Ha. Sehingga seharusnya 2 proyek reklamasi tersebut dihapus dari ranperda RZWP3K Bali. “Kejadian ini seharusnya digunakan sebagai pelajaran,” jelasnya.
Terlebih dalam rencana Tambang Pasir laut mendapatkan respons penolakan dari STT se Desa Adat Legian, STT Se Desa Adat Seminyak, Asosiasi Surfing Seminyak dan Asosiasi Pedagang Pantai Seminyak.
Ia juga menyayangkan pernyataan dari Koordinator Pengesahan Ranperda RZWP3K Bali, Anggota DPRD Bali Nyoman Adnyana yang dalam rapat paripurnya menyatakan bahwa untuk setiap reklamasi yang dilakukan oleh Bandara Ngurah Rai dan Pelabuhan Benoa, maka Pemprov Bali wajib mendapat minimal 10 persen lahan hasil reklamasi.
Untung Pratama tidak habis pikir DPRD Bali justru memilih kontribusi lahan reklamasi dan membiarkan lingkungan hidup Bali hancur akibat dari reklamasi untuk perluasan 2 proyek tersebut. “Kami mengecam rapat paripurna DPRD Bali yang menjadi pintu masuk awal hancurnya lingkungan hidup Bali,” jelasnya.
Dalam Rapat tersebut, ia juga menyoroti bahwa tidak ada masyarakat adat yang terdampak dilibatkan dalam rapat paripurna pembahasan Ranperda RZWP3K Bali.
Atas hal tersebut, Untung Pratama menyampaikan bahwa DPRD Bali telah menghambat masyarakat untuk terlibat serta memberikan tanggapan Ranperda RZWP3K Bali. Ia menegaskan agar diulang karena tidak melibatkan masyarakat adat yang terdampak. “Mendesak agar rapat paripurna laporan Dewan tentang Ranperda RZWP3K diulang,” tegasnya.
Surat yang dikirimkan kepada Ketua DPRD Bali tersebut juga ditembuskan ke Menteri Dalam Negeri, Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan, Menteri Kelautan dan Perikanan, Gubernur Bali dan Ketua Badan Kehormatan DPRD Provinsi Bali.