28.1 C
Jakarta
22 November 2024, 19:46 PM WIB

Bali Masih Belum Ramah Anak, Ini Penyebabnya…

RadarBali.com – Keinginan Kabupaten/ Kota di Bali mengumandangkan diri sebagai Kota Layak Anak (KLA) sepertinya sangat sulit terwujud.

Pasalnya, Kabupaten/kota di Bali belum mempunyai sistem pembangunan berbasis hak anak melalui pengintegrasian komitmen dan sumber daya pemerintah, masyarakat, dan dunia usaha, yang terencana secara menyeluruh dan berkelanjutan dalam kebijakan, program dan kegiatan untuk menjamin terpenuhinya hak dan perlindungan anak.

Buktinya, hingga Sabtu (2/9) masih sangat mudah kita jumpai anak-anak yang diduga diperalat orang dewasa untuk mengemis di sejumlah itik traffic light. 

Dengan kata lain lima prinsip KLA yang dikeluarkan Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak Republik Indonesia yang mencakup 1) non diskriminasi, 2) kepentingan yang terbaik untuk anak, 3) hak untuk hidup, kelangsungan hidup, dan perkembangan, 4) penghargaan terhadap pendapat anak, 5) tata pemerintahan yang baik belum terpenuhi.

Kasus baby J yang berujung penahanan sang ibu kandung, Mariana Dangu alias Merry oleh Polda Bali menegaskan kondisi kurang ideal tersebut.

Perlindungan terhadap Merry yang ditelantarkan oleh ayah biologis baby J, Otmar Daniel Adelsbeger, WNA berkebangsaan Austria menegaskan lemahnya sistem administrasi pernikahan di Indonesia.

Informasi yang dihimpun Jawa Pos Radar Bali, kasus yang dialami baby J bahkan mencuri perhatian Ketua Komisi Nasional Perlindungan Anak, Seto Mulyadi.

Kak Seto- panggilan akrab psikolog anak tersebut- Jumat (2/9) kemarin diketahui menyambangi Mapolda Bali. Soal kunjungan itu dirinya mengatakan semata-mata demi kepentingan anak.

“Kami mengapresiasi langkah yang telah dilakukan Polda Bali. Mohon semua pihak mengedepankan kepentingan terbaik bagi anak. Jadi jangan sampai terpengaruh oleh berbagai hal dari luar, melainkan melakukan tindakan yang mengarah pada kebaikan perkembangan jiwa anak,” ucapnya.

Kak Seto sendiri sempat bertemu Merry plus berkunjung ke Yayasan Metta Mama & Maggha, Jalan Gunung Lawu No. 30, Pemecutan Klod, Denpasar Barat.

“Sekarang baby J di yayasan yang selama ini mengasuhnya. Itu titipan dari Polda Bali. Jadi kalau ada apa-apa kami harus minta izin pada penyidik Polda Bali. Tempatnya saja di situ, tapi di bawah monitor Polda Bali,” jelasnya.

Terang Seto Mulyadi kasus yang menimpa babi J terjadi karena kurangnya kontrol masyarakat, lebih khususnya tetangga.

“Intinya ada ibu yang stres. Mungkin karena si suami atau ayah bayi J tidak peduli atau menelantarkan. Seandainya dia (Merry, red) curhat dengan tetangga kiri-kanan, maka hal itu tidak akan terjadi dan anak dapat diselamatkan,” ucapnya.

Kak Seto menyentil apa yang terjadi secara riil di masyarakat. “Coba kita lihat namanya saja rukun tetangga, tapi faktanya saling tak rukun; saling tak peduli. Ada masalah saling tak mau tahu,” tandasnya.

Imbuhnya, bila Provinsi Bali ingin menjadi provinsi layak anak, maka hal yang mungkin dipandang kecil seperti ini harus segera diselesaikan. 

RadarBali.com – Keinginan Kabupaten/ Kota di Bali mengumandangkan diri sebagai Kota Layak Anak (KLA) sepertinya sangat sulit terwujud.

Pasalnya, Kabupaten/kota di Bali belum mempunyai sistem pembangunan berbasis hak anak melalui pengintegrasian komitmen dan sumber daya pemerintah, masyarakat, dan dunia usaha, yang terencana secara menyeluruh dan berkelanjutan dalam kebijakan, program dan kegiatan untuk menjamin terpenuhinya hak dan perlindungan anak.

Buktinya, hingga Sabtu (2/9) masih sangat mudah kita jumpai anak-anak yang diduga diperalat orang dewasa untuk mengemis di sejumlah itik traffic light. 

Dengan kata lain lima prinsip KLA yang dikeluarkan Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak Republik Indonesia yang mencakup 1) non diskriminasi, 2) kepentingan yang terbaik untuk anak, 3) hak untuk hidup, kelangsungan hidup, dan perkembangan, 4) penghargaan terhadap pendapat anak, 5) tata pemerintahan yang baik belum terpenuhi.

Kasus baby J yang berujung penahanan sang ibu kandung, Mariana Dangu alias Merry oleh Polda Bali menegaskan kondisi kurang ideal tersebut.

Perlindungan terhadap Merry yang ditelantarkan oleh ayah biologis baby J, Otmar Daniel Adelsbeger, WNA berkebangsaan Austria menegaskan lemahnya sistem administrasi pernikahan di Indonesia.

Informasi yang dihimpun Jawa Pos Radar Bali, kasus yang dialami baby J bahkan mencuri perhatian Ketua Komisi Nasional Perlindungan Anak, Seto Mulyadi.

Kak Seto- panggilan akrab psikolog anak tersebut- Jumat (2/9) kemarin diketahui menyambangi Mapolda Bali. Soal kunjungan itu dirinya mengatakan semata-mata demi kepentingan anak.

“Kami mengapresiasi langkah yang telah dilakukan Polda Bali. Mohon semua pihak mengedepankan kepentingan terbaik bagi anak. Jadi jangan sampai terpengaruh oleh berbagai hal dari luar, melainkan melakukan tindakan yang mengarah pada kebaikan perkembangan jiwa anak,” ucapnya.

Kak Seto sendiri sempat bertemu Merry plus berkunjung ke Yayasan Metta Mama & Maggha, Jalan Gunung Lawu No. 30, Pemecutan Klod, Denpasar Barat.

“Sekarang baby J di yayasan yang selama ini mengasuhnya. Itu titipan dari Polda Bali. Jadi kalau ada apa-apa kami harus minta izin pada penyidik Polda Bali. Tempatnya saja di situ, tapi di bawah monitor Polda Bali,” jelasnya.

Terang Seto Mulyadi kasus yang menimpa babi J terjadi karena kurangnya kontrol masyarakat, lebih khususnya tetangga.

“Intinya ada ibu yang stres. Mungkin karena si suami atau ayah bayi J tidak peduli atau menelantarkan. Seandainya dia (Merry, red) curhat dengan tetangga kiri-kanan, maka hal itu tidak akan terjadi dan anak dapat diselamatkan,” ucapnya.

Kak Seto menyentil apa yang terjadi secara riil di masyarakat. “Coba kita lihat namanya saja rukun tetangga, tapi faktanya saling tak rukun; saling tak peduli. Ada masalah saling tak mau tahu,” tandasnya.

Imbuhnya, bila Provinsi Bali ingin menjadi provinsi layak anak, maka hal yang mungkin dipandang kecil seperti ini harus segera diselesaikan. 

Artikel Terkait

Terpopuler

Artikel Terbaru

/