26.2 C
Jakarta
22 November 2024, 4:01 AM WIB

TERUNGKAP! Jumlah Tes Swab PCR di Bali Jauh Dari Ideal

DENPASAR – Pantas saja, persebaran Covid-19 di Bali tidak banyak terdeteksi dan membuat penularan kian menggila. Salah satu penyebabnya adalah masih rendahnya tes swab dengan metode diagnosis reverse-transcriptase polymerase chain reaction (RT-PCR). Bahkan sangat jauh dari angka ideal.

RT-PCR adalah pemeriksaan laboratorium untuk mendeteksi material genetik sel, bakteri atau virus. Karena material genetik dari virus SARS-CoV-2 atau Covid-19 berupa RNA, maka akan diubah dulu menjadi DNA, setelah itu material genetik yang sudah berupa DNA itu diperbanyak di mesin PCR, agar bisa terbaca.

Menurut rekomendasi Badan Kesehatan Dunia atau World Health Organization (WHO), jumlah pengujian dengan PCR per hari mestinya 1000 banding 1 juta penduduk. Atau 1 tes untuk 1000 penduduk.  Diketahui WHO merupakan sebuah organisasi kesehatan dunia yang dijadikan rujukan oleh sejumlah negara termasuk Indonesia.

Nah, berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS),  jumlah penduduk di Bali tahun 2020 diperkirakan mencapai angka 4,38 juta penduduk. Kalau tes PCR 1:1000 sebagaimana standarisasi WHO, maka di Bali mestinya ada tes PCR sebanyak 4.380 spesimen per hari.

Namun, yang mengejutkan, fakta jumlah sampel yang diswab tidak mencapai angka tersebut. Kepala Dinas Kesehatan Provinsi Bali, dr Ketut Suarjaya membeberkan data rekapitulasi kepada radarbali.id terkait hasil test pemeriksaan spesimen Covid 19 yang dilakukan di Bali dalam setiap harinya, mulai tanggal 26 Maret 2020 hingga 7 September 2020.

Dalam data rekapitulasi tes PCR di Bali itu terungkap bahwa rata-rata sampel yang diperiksa pada bulan Maret hanya 42 sampel per hari. Kemudian pada April meningkat menjadi 92 sampel per hari, dan Mei mencapai 269 sampel per hari.

Pada bulan Juni, jumlah sampel yang diperiksa mengalami kenaikan seiring dengan tambahan laboratorium mikrobiologi atau PCR. Pada Juni itu sudah bisa memeriksa sebanyak 634 sampel per hari.

Kemudian pada bulan Juli agak naik, yakni rata-rata mencapai 844 sampel per hari. Namun, mengalami penurunan di bulan Agustus, di mana data menunjukan rata-rata di angka 660 sampel per hari.

Sedangkan pada bulan September, terhitung dari tanggal 1-7 September, juga tak jauh berbeda. Rata-ratanya di angka 666 sampel per hari. Misalnya, tanggal 1 September, hanya memeriksa 681 sampel, kemudian 2 September 794 sampel. Tanggal 3 September (909), 4 September (614), 5 September (672), 6 September (506), dan 7 September hanya 489 sampel.

Bahkan data dari Dinas Kesehatan ini sebetulnya tak mencerminkan jumlah murni tes swab dari hasil tracing maupun screening. Sebab, data ini memasukkan tes swab pengulangan. Misalnya, pasien yang sudah terkonfirmasi Covid-19, kemudian dilakukan tes swab lagi untuk mengetahui bahwa pasien sudah berstatus negatif atau sembuh. Dengan demikian, jumlah murni tes swab bisa lebih sedikit lagi jika dikurangi tes swab pengulangan.

Dilihat dari angka tersebut, jelas saja jauh dari jumlah sampel yang diperiksa sebagaimana rekomendasi WHO.  Jika mengacu rata-rata bulan September yang hanya 666 sampel per hari, sedangkan idealnya 4.380 sampel per hari, maka Bali hanya mampu mencapai 15 persen dari angka ideal.

Bulan Agustus dan September ini memang menjadi bulan yang paling mencengangkan, di mana jumlah kasus positif dan kematian akibat Covid-19 di Bali melonjak secara fantastis. Anehnya, jumlah tes swab Agustus dan September sebetulnya lebih sedikit dari bulan Juli. Bila tes swab lebih banyak, bukan tidak mungkin jumlah kasus positif di Bali sebetulnya lebih banyak lagi. Namun, kasus penularan bisa terkendali bila yang positif bisa diisolasi.

Maka tak heran bila salah satu ahli epidemiologi Ilmu Kesehatan Masyarakat Fakultas Kedokteran Universitas Udayana, I Made Ady Wirawan sebelumnya menyebut tak terkendalinya kasus Covid-19 di Bali dikarenakan rendahnya tes swab PCR yang dilakukan pemerintah.

Secara teori, bila tes swab makin banyak, diyakini akan makin banyak pula ditemukan warga yang terjangkit Covid-19. Dengan kata lain, warga itu bisa diisolasi dan dirawat sehingga tidak menularkan ke orang lain. Dan sebaliknya, semakin banyak warga terpapar Covid-19 tidak terdeteksi, maka penularan Covid-19 akan semakin menggila.

Ady Wirawan pun meminta pemerintah segera melakukan test secara masal dan cepat untuk memutus semakin tingginya angka positif dan bahkan meninggal dunia di Bali.

“Meningkatkan kapasitas testing, bisa kombinasi dengan tes rapid antigen, test semua kontak dekat supaya bisa diisolasi dan diputus penularan,” sarannya.

Tidak hanya Ady Wirawan, dari Universitas Udayana sendiri sudah memberikan masukan agar tes swab diperbanyak. Itu disampaikan Rektor Unud Prof Dr dr Raka Sudewi saat menerima kunjungan Koordinator Staf Kantor Kepresidenan AAGN Ari Dwipayana di Kampus Jimbaran, Rabu (9/9/2020).

Di sisi lain, dr Ketut Suarjaya saat ditanya mengenai kendala sulitnya melakukan tes PCR sebagaimana standarisasi WHO justru menyebut pihaknya telah melakukan sesuai dengan pedoman.

“Memang sesuai pedoman. Siapa yang positif dan kami lakukan tracing, itu yang diambil (sampel). Kami ambil sampel sesuai pedoman,” kata Suarjaya.

DENPASAR – Pantas saja, persebaran Covid-19 di Bali tidak banyak terdeteksi dan membuat penularan kian menggila. Salah satu penyebabnya adalah masih rendahnya tes swab dengan metode diagnosis reverse-transcriptase polymerase chain reaction (RT-PCR). Bahkan sangat jauh dari angka ideal.

RT-PCR adalah pemeriksaan laboratorium untuk mendeteksi material genetik sel, bakteri atau virus. Karena material genetik dari virus SARS-CoV-2 atau Covid-19 berupa RNA, maka akan diubah dulu menjadi DNA, setelah itu material genetik yang sudah berupa DNA itu diperbanyak di mesin PCR, agar bisa terbaca.

Menurut rekomendasi Badan Kesehatan Dunia atau World Health Organization (WHO), jumlah pengujian dengan PCR per hari mestinya 1000 banding 1 juta penduduk. Atau 1 tes untuk 1000 penduduk.  Diketahui WHO merupakan sebuah organisasi kesehatan dunia yang dijadikan rujukan oleh sejumlah negara termasuk Indonesia.

Nah, berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS),  jumlah penduduk di Bali tahun 2020 diperkirakan mencapai angka 4,38 juta penduduk. Kalau tes PCR 1:1000 sebagaimana standarisasi WHO, maka di Bali mestinya ada tes PCR sebanyak 4.380 spesimen per hari.

Namun, yang mengejutkan, fakta jumlah sampel yang diswab tidak mencapai angka tersebut. Kepala Dinas Kesehatan Provinsi Bali, dr Ketut Suarjaya membeberkan data rekapitulasi kepada radarbali.id terkait hasil test pemeriksaan spesimen Covid 19 yang dilakukan di Bali dalam setiap harinya, mulai tanggal 26 Maret 2020 hingga 7 September 2020.

Dalam data rekapitulasi tes PCR di Bali itu terungkap bahwa rata-rata sampel yang diperiksa pada bulan Maret hanya 42 sampel per hari. Kemudian pada April meningkat menjadi 92 sampel per hari, dan Mei mencapai 269 sampel per hari.

Pada bulan Juni, jumlah sampel yang diperiksa mengalami kenaikan seiring dengan tambahan laboratorium mikrobiologi atau PCR. Pada Juni itu sudah bisa memeriksa sebanyak 634 sampel per hari.

Kemudian pada bulan Juli agak naik, yakni rata-rata mencapai 844 sampel per hari. Namun, mengalami penurunan di bulan Agustus, di mana data menunjukan rata-rata di angka 660 sampel per hari.

Sedangkan pada bulan September, terhitung dari tanggal 1-7 September, juga tak jauh berbeda. Rata-ratanya di angka 666 sampel per hari. Misalnya, tanggal 1 September, hanya memeriksa 681 sampel, kemudian 2 September 794 sampel. Tanggal 3 September (909), 4 September (614), 5 September (672), 6 September (506), dan 7 September hanya 489 sampel.

Bahkan data dari Dinas Kesehatan ini sebetulnya tak mencerminkan jumlah murni tes swab dari hasil tracing maupun screening. Sebab, data ini memasukkan tes swab pengulangan. Misalnya, pasien yang sudah terkonfirmasi Covid-19, kemudian dilakukan tes swab lagi untuk mengetahui bahwa pasien sudah berstatus negatif atau sembuh. Dengan demikian, jumlah murni tes swab bisa lebih sedikit lagi jika dikurangi tes swab pengulangan.

Dilihat dari angka tersebut, jelas saja jauh dari jumlah sampel yang diperiksa sebagaimana rekomendasi WHO.  Jika mengacu rata-rata bulan September yang hanya 666 sampel per hari, sedangkan idealnya 4.380 sampel per hari, maka Bali hanya mampu mencapai 15 persen dari angka ideal.

Bulan Agustus dan September ini memang menjadi bulan yang paling mencengangkan, di mana jumlah kasus positif dan kematian akibat Covid-19 di Bali melonjak secara fantastis. Anehnya, jumlah tes swab Agustus dan September sebetulnya lebih sedikit dari bulan Juli. Bila tes swab lebih banyak, bukan tidak mungkin jumlah kasus positif di Bali sebetulnya lebih banyak lagi. Namun, kasus penularan bisa terkendali bila yang positif bisa diisolasi.

Maka tak heran bila salah satu ahli epidemiologi Ilmu Kesehatan Masyarakat Fakultas Kedokteran Universitas Udayana, I Made Ady Wirawan sebelumnya menyebut tak terkendalinya kasus Covid-19 di Bali dikarenakan rendahnya tes swab PCR yang dilakukan pemerintah.

Secara teori, bila tes swab makin banyak, diyakini akan makin banyak pula ditemukan warga yang terjangkit Covid-19. Dengan kata lain, warga itu bisa diisolasi dan dirawat sehingga tidak menularkan ke orang lain. Dan sebaliknya, semakin banyak warga terpapar Covid-19 tidak terdeteksi, maka penularan Covid-19 akan semakin menggila.

Ady Wirawan pun meminta pemerintah segera melakukan test secara masal dan cepat untuk memutus semakin tingginya angka positif dan bahkan meninggal dunia di Bali.

“Meningkatkan kapasitas testing, bisa kombinasi dengan tes rapid antigen, test semua kontak dekat supaya bisa diisolasi dan diputus penularan,” sarannya.

Tidak hanya Ady Wirawan, dari Universitas Udayana sendiri sudah memberikan masukan agar tes swab diperbanyak. Itu disampaikan Rektor Unud Prof Dr dr Raka Sudewi saat menerima kunjungan Koordinator Staf Kantor Kepresidenan AAGN Ari Dwipayana di Kampus Jimbaran, Rabu (9/9/2020).

Di sisi lain, dr Ketut Suarjaya saat ditanya mengenai kendala sulitnya melakukan tes PCR sebagaimana standarisasi WHO justru menyebut pihaknya telah melakukan sesuai dengan pedoman.

“Memang sesuai pedoman. Siapa yang positif dan kami lakukan tracing, itu yang diambil (sampel). Kami ambil sampel sesuai pedoman,” kata Suarjaya.

Artikel Terkait

Terpopuler

Artikel Terbaru

/