24 C
Jakarta
13 September 2024, 2:18 AM WIB

Rusak Citra, Politisi Renon Usulkan Tim Khusus Cegah Mafia Tiongkok

DENPASAR – Penutupan toko oleh-oleh Tiongkok memang tak ubahnya memakan buah simalakama.

Di satu sisi kedatangan wisatawan Tiongkok dibutuhkan, namun di lain sisi praktik mafia pariwisata Tiongkok sangat merugikan pariwisata Bali.

Terkait hal itu, DPRD Bali mengusulkan dibentuk tim khusus untuk mencegah praktik mafia pariwisata Tiongkok terulang kembali.

“Menutup toko-toko bukan berarti menolak wisatawan Tiongkok. Karena itu, mesti dibuatkan syarat-syarat khusus agar ke depan tidak ada lagi praktik serupa,” ungkap Sekretaris Komisi III DPRD Bali, I Ketut Kariyasa Adnyana.

Politikus asal Buleleng itu mengusulkan Pemprov Bali segera membentuk tim khusus yang terdiri dari gabungan organisasi perangkat daerah (OPD).

Selanjutnya tim gabungan itu didukung tim ahli dan komponen pariwisata Bali. Tim khusus ini yang nantinya merumuskan syarat-syarat terhadap aktivitas toko berjaringan Tiongkok di Bali.

Saran tersebut telah disampaikan secara tertulis kepada Gubernur Bali, Wayan Koster pada saat rapat kerja di DPRD Bali, Senin lalu (19/11).

“Jika memang ada pelanggaran pidana atau pelanggaran lainnya dalam proses penertiban dan penutupan jaringan Tiongkok, segera dituntaskan. Perlu ada penegakan hukum yang tegas, untuk memberikan efek jera,” papar politisi PDIP itu.

Lebih lanjut dijelaskan, salah satu syarat yang harus dipenuhi membuka toko di Bali antara lain agar masuk lewat Penanaman Modal Asing (PMA).

Selain itu, masyarakat lokal mesti dilibatkan. Masyarakat lokal harus dilatih menjadi penjaga toko yang mampu berkomunikasi dalam bahasa mandarin.

Syarat berikutnya pemilik toko wajib memasukkan hasil UMKM dari Bali minimal 40 persen. Jika ada barang impor, mesti sesuai mekanisme yang berlaku.

Tidak boleh ada barang impor disebut atau diganti kemasannya seolah-olah barang produk Bali ataupun Indonesia.

Misalnya ketika menjual batu mulia disebut hasil tambang Kalimantan, padahal dari Tiongkok. Hal itu yang merusak citra Bali, ketika kembali ke negaranya wisatawan tahu tahu ternyata mereka ditipu.

Hal lain yang tak boleh terulang penggunaan simbol-simbol negara seperti stempel burung garuda dan lainnya.

“Tidak boleh ada lagi pemaksaan dan penipuan dalam menawarkan barang,” tegasnya.

 

DENPASAR – Penutupan toko oleh-oleh Tiongkok memang tak ubahnya memakan buah simalakama.

Di satu sisi kedatangan wisatawan Tiongkok dibutuhkan, namun di lain sisi praktik mafia pariwisata Tiongkok sangat merugikan pariwisata Bali.

Terkait hal itu, DPRD Bali mengusulkan dibentuk tim khusus untuk mencegah praktik mafia pariwisata Tiongkok terulang kembali.

“Menutup toko-toko bukan berarti menolak wisatawan Tiongkok. Karena itu, mesti dibuatkan syarat-syarat khusus agar ke depan tidak ada lagi praktik serupa,” ungkap Sekretaris Komisi III DPRD Bali, I Ketut Kariyasa Adnyana.

Politikus asal Buleleng itu mengusulkan Pemprov Bali segera membentuk tim khusus yang terdiri dari gabungan organisasi perangkat daerah (OPD).

Selanjutnya tim gabungan itu didukung tim ahli dan komponen pariwisata Bali. Tim khusus ini yang nantinya merumuskan syarat-syarat terhadap aktivitas toko berjaringan Tiongkok di Bali.

Saran tersebut telah disampaikan secara tertulis kepada Gubernur Bali, Wayan Koster pada saat rapat kerja di DPRD Bali, Senin lalu (19/11).

“Jika memang ada pelanggaran pidana atau pelanggaran lainnya dalam proses penertiban dan penutupan jaringan Tiongkok, segera dituntaskan. Perlu ada penegakan hukum yang tegas, untuk memberikan efek jera,” papar politisi PDIP itu.

Lebih lanjut dijelaskan, salah satu syarat yang harus dipenuhi membuka toko di Bali antara lain agar masuk lewat Penanaman Modal Asing (PMA).

Selain itu, masyarakat lokal mesti dilibatkan. Masyarakat lokal harus dilatih menjadi penjaga toko yang mampu berkomunikasi dalam bahasa mandarin.

Syarat berikutnya pemilik toko wajib memasukkan hasil UMKM dari Bali minimal 40 persen. Jika ada barang impor, mesti sesuai mekanisme yang berlaku.

Tidak boleh ada barang impor disebut atau diganti kemasannya seolah-olah barang produk Bali ataupun Indonesia.

Misalnya ketika menjual batu mulia disebut hasil tambang Kalimantan, padahal dari Tiongkok. Hal itu yang merusak citra Bali, ketika kembali ke negaranya wisatawan tahu tahu ternyata mereka ditipu.

Hal lain yang tak boleh terulang penggunaan simbol-simbol negara seperti stempel burung garuda dan lainnya.

“Tidak boleh ada lagi pemaksaan dan penipuan dalam menawarkan barang,” tegasnya.

 

Artikel Terkait

Terpopuler

Artikel Terbaru

/