33.4 C
Jakarta
22 November 2024, 13:01 PM WIB

Tak Indahkan Hasil Rapat Pleno, PKKS Denpasar Digeruduk, Aparat Siaga

DENPASAR – Puluhan spanduk terbentang di sekretariat Perkumpulan Kematian Kertha Semadi (PKKS) Denpasar, Jalan Cargo Permai, Ubung Kaja, Denpasar, Rabu (22/4) siang.

Pemicunya transparansi pemberhentian Piet Tjahyono sebagai karyawan. Proses pemberhentian Piet Tjahyono dinilai berbelit-belit dan terkesan “dilindungi” pengurus PKKS.

Beda halnya dengan pengunduran diri Hie khie Sin (Ketua IV PKKS Denpasar) yang mulus. Pengunduran diri Hie khie Sin ini juga memicu polemik sebab sangat disayangkan oleh sebagian besar anggota PKKS Denpasar.

Karena pertemuan digelar di masa pandemi corona, aparat pun tampak siaga. Dalam spanduk yang terbentang,

anggota PKKS Denpasar menuntut agar segera ada jawaban dari keputusan Rapat Pleno tanggal 4 Maret 2020 dan berdasar surat PKKS No. 038/KS/Pg/III/2020.

Diketahui Ketua 1 PKKS Denpasar, Ko Ren Lien dalam surat nomor 038/KS/Pg/III/2020 perihal jawaban dari pengurus PKKS tertanggal 6 Maret 2020 menegaskan Piet Tjahyono tetap diganti dengan tenggang waktu untuk mencari pengganti.

Mekanismenya dicarikan pengganti yang mengerti listrik dan mesin (segera dicari lewat iklan) dilatih sampai bisa melaksanakan tugas dan paham dengan tata cara serta tugas-tugas di Mumbul, dan diutamakan tamatan STM/SMK.

Surat yang sama ditandatangani Sekretaris 1 PKKS Denpasar, Hadi Saputra. Menariknya, Piet Tjahyono seolah mendapat perlakuan istimewa dari pengurus PKKS Denpasar padahal yang bersangkutan bukan termasuk anggota.

“Piet Tjahyono itu adalah anggota keluarga salah satu pengurus. Jadi dia dispesialkan. Berulangkali melakukan kesalahan tetap dipertahankan.

PKKS ini bukan milik pengurus, tapi milik seluruh anggota. Ini harus dipahami bersama,” ucap salah seorang anggota PKKS.

Imbuhnya, pengurus PKKS juga bisa disebut tak transparan masalah keuangan dan tidak adil kepada anggota PKKS.

Pasalnya, anggota yang telah menunaikan kewajiban sesuai anggaran dasar dan anggaran rumah tangga PKKS tidak mendapatkan haknya.

“Kami anggota, tapi tetap bayar bila menggunakan fasilitas di sini. Tiga hari pertama memang gratis. Tapi, patut dipahami prosesi Tionghoa sama seperti umat Hindu Bali. Panjang.

Lewat 3 hari, kami harus bayar Rp 500 ribu per hari. Kalau 10 hari berarti 5 juta,” bebernya sembari menyebut Ketua Umum PKKS Rudy Chandra alias Liong Fuk Chan jarang melakukan rapat anggota dan sesuka hati mengubah AD ART PKKS.

Rudy Chandra membantah hal tersebut. Soal jarangnya rapat anggota digelar di menyebut karena pengurus menilai tidak ada pertanyaan dari anggota PKKS.

Imbuhnya, pertemuan di Sekretariat PKKS, Rabu (22/4) kemarin di masa pandemi Covid-19 dipicu adanya pemasangan spanduk liar alias tak berizin.

Disinggung soal kepemilikan PKKS, Chandra tidak menjawab dan justru menjelaskan bahwa perkumpulan tersebut memiliki anggota sekitar 700 KK.

“Iuran cuma Rp 7.500 per orang per bulan. Kewajiban anggota cuma iuran anggota dan uang duka Rp 2.000 setiap ada kejadian anggota meninggal dunia.

Untuk anggota, hak yang kita berikan berupa subsidi. Kalau meninggal dunia, free. Kalau tunggakan iurannya tidak lebih dari 6 bulan.

Itu haknya penuh. Mulai dari penjemputan ambulans dan penguburan. Tempat pemandian jenazah free. Ruangan rumah duka 3 hari free. Hari ke-4 bayar sepertiga dari tarif.

Ambulan ke Mumbul free. Tenaga adat yang menangani juga free. Kremasi free. Yang dibayar cuma peti saja,” rinci Chandra.

Terkait laporan keuangan PKKS Denpasar, Chandra mengklaim sangat transparan. Dirinya mengaku siap pasang badan atas selentingan anggota PKKS mengenai dugaan penyalahgunaan anggaran.

Chandra meminta barang bukti ditunjukkan. “Siap diperiksa. Sekarang ada masalah seperti ini kita sedang dalam proses. Hasilnya akan kami laporkan dalam rapat anggota yang akan datang,” ujarnya.

Ditanyai tentang total aset yang dimiliki PKKS dalam bentuk rupiah, Chandra menjawab ambigu. Pria yang menempati posisi Ketua Umum PKKS Denpasar sejak 2012 itu malah menjelaskan luas tanah PKKS Denpasar, yakni 68.000 meter persegi.

Di sisi lain, Hie khie Sin mengaku mundur dari posisi Ketua IV PKKS Denpasar karena ada ketidaksesuaian antara hak dan kewajibannya mengacu AD ART.

“Saya berhenti dari sini (PKKS Denpasar, red) karena tidak sesuai dengan AD ART. Supaya sama-sama baik, saya mengalah,” ucapnya.

Kepada awak media, Hie Khie Sin mengaku dirinya memiliki hak mengelola ruangan sekaligus menjaga bangunan PKKS Denpasar plus security.

“Kalau ada yang meninggal, keluarga almarhum saya nilai tidak mampu lalu mereka minta keringanan, sebagai Ketua IV saya gunakan hak saya untuk memberi keringanan.

Ternyata itu salah. Kewenangan saya inilah yang diambil sama Ketua Umum. Jadi saya tidak punya kewenangan. Lalu untuk apa saya menjadi Ketua IV?” ungkapnya.

Tentang dugaan penyalahgunaan keuangan, Hie khie Sin belum saatnya ditanyakan dan memilih menjawab tidak tahu-menahu.

“Saya di sini mengabdi tanpa pamrih. Meskipun banyak anggota menilai saya banyak berbuat, jujur saya merasa biasa-biasa saja. Intinya saya hanya ingin mengabdi kepada masyarakat.

Masalah yang terjadi di Mumbul itu murni penilaian anggota. Oleh pengurus sudah sering diplenokan, tapi tidak pernah ada sanksinya.

Pembiaran. Lama-lama akhirnya anggota kecewa,” tandasnya merujuk kejadian di Yasa Setra Mandala (Mumbul). 

DENPASAR – Puluhan spanduk terbentang di sekretariat Perkumpulan Kematian Kertha Semadi (PKKS) Denpasar, Jalan Cargo Permai, Ubung Kaja, Denpasar, Rabu (22/4) siang.

Pemicunya transparansi pemberhentian Piet Tjahyono sebagai karyawan. Proses pemberhentian Piet Tjahyono dinilai berbelit-belit dan terkesan “dilindungi” pengurus PKKS.

Beda halnya dengan pengunduran diri Hie khie Sin (Ketua IV PKKS Denpasar) yang mulus. Pengunduran diri Hie khie Sin ini juga memicu polemik sebab sangat disayangkan oleh sebagian besar anggota PKKS Denpasar.

Karena pertemuan digelar di masa pandemi corona, aparat pun tampak siaga. Dalam spanduk yang terbentang,

anggota PKKS Denpasar menuntut agar segera ada jawaban dari keputusan Rapat Pleno tanggal 4 Maret 2020 dan berdasar surat PKKS No. 038/KS/Pg/III/2020.

Diketahui Ketua 1 PKKS Denpasar, Ko Ren Lien dalam surat nomor 038/KS/Pg/III/2020 perihal jawaban dari pengurus PKKS tertanggal 6 Maret 2020 menegaskan Piet Tjahyono tetap diganti dengan tenggang waktu untuk mencari pengganti.

Mekanismenya dicarikan pengganti yang mengerti listrik dan mesin (segera dicari lewat iklan) dilatih sampai bisa melaksanakan tugas dan paham dengan tata cara serta tugas-tugas di Mumbul, dan diutamakan tamatan STM/SMK.

Surat yang sama ditandatangani Sekretaris 1 PKKS Denpasar, Hadi Saputra. Menariknya, Piet Tjahyono seolah mendapat perlakuan istimewa dari pengurus PKKS Denpasar padahal yang bersangkutan bukan termasuk anggota.

“Piet Tjahyono itu adalah anggota keluarga salah satu pengurus. Jadi dia dispesialkan. Berulangkali melakukan kesalahan tetap dipertahankan.

PKKS ini bukan milik pengurus, tapi milik seluruh anggota. Ini harus dipahami bersama,” ucap salah seorang anggota PKKS.

Imbuhnya, pengurus PKKS juga bisa disebut tak transparan masalah keuangan dan tidak adil kepada anggota PKKS.

Pasalnya, anggota yang telah menunaikan kewajiban sesuai anggaran dasar dan anggaran rumah tangga PKKS tidak mendapatkan haknya.

“Kami anggota, tapi tetap bayar bila menggunakan fasilitas di sini. Tiga hari pertama memang gratis. Tapi, patut dipahami prosesi Tionghoa sama seperti umat Hindu Bali. Panjang.

Lewat 3 hari, kami harus bayar Rp 500 ribu per hari. Kalau 10 hari berarti 5 juta,” bebernya sembari menyebut Ketua Umum PKKS Rudy Chandra alias Liong Fuk Chan jarang melakukan rapat anggota dan sesuka hati mengubah AD ART PKKS.

Rudy Chandra membantah hal tersebut. Soal jarangnya rapat anggota digelar di menyebut karena pengurus menilai tidak ada pertanyaan dari anggota PKKS.

Imbuhnya, pertemuan di Sekretariat PKKS, Rabu (22/4) kemarin di masa pandemi Covid-19 dipicu adanya pemasangan spanduk liar alias tak berizin.

Disinggung soal kepemilikan PKKS, Chandra tidak menjawab dan justru menjelaskan bahwa perkumpulan tersebut memiliki anggota sekitar 700 KK.

“Iuran cuma Rp 7.500 per orang per bulan. Kewajiban anggota cuma iuran anggota dan uang duka Rp 2.000 setiap ada kejadian anggota meninggal dunia.

Untuk anggota, hak yang kita berikan berupa subsidi. Kalau meninggal dunia, free. Kalau tunggakan iurannya tidak lebih dari 6 bulan.

Itu haknya penuh. Mulai dari penjemputan ambulans dan penguburan. Tempat pemandian jenazah free. Ruangan rumah duka 3 hari free. Hari ke-4 bayar sepertiga dari tarif.

Ambulan ke Mumbul free. Tenaga adat yang menangani juga free. Kremasi free. Yang dibayar cuma peti saja,” rinci Chandra.

Terkait laporan keuangan PKKS Denpasar, Chandra mengklaim sangat transparan. Dirinya mengaku siap pasang badan atas selentingan anggota PKKS mengenai dugaan penyalahgunaan anggaran.

Chandra meminta barang bukti ditunjukkan. “Siap diperiksa. Sekarang ada masalah seperti ini kita sedang dalam proses. Hasilnya akan kami laporkan dalam rapat anggota yang akan datang,” ujarnya.

Ditanyai tentang total aset yang dimiliki PKKS dalam bentuk rupiah, Chandra menjawab ambigu. Pria yang menempati posisi Ketua Umum PKKS Denpasar sejak 2012 itu malah menjelaskan luas tanah PKKS Denpasar, yakni 68.000 meter persegi.

Di sisi lain, Hie khie Sin mengaku mundur dari posisi Ketua IV PKKS Denpasar karena ada ketidaksesuaian antara hak dan kewajibannya mengacu AD ART.

“Saya berhenti dari sini (PKKS Denpasar, red) karena tidak sesuai dengan AD ART. Supaya sama-sama baik, saya mengalah,” ucapnya.

Kepada awak media, Hie Khie Sin mengaku dirinya memiliki hak mengelola ruangan sekaligus menjaga bangunan PKKS Denpasar plus security.

“Kalau ada yang meninggal, keluarga almarhum saya nilai tidak mampu lalu mereka minta keringanan, sebagai Ketua IV saya gunakan hak saya untuk memberi keringanan.

Ternyata itu salah. Kewenangan saya inilah yang diambil sama Ketua Umum. Jadi saya tidak punya kewenangan. Lalu untuk apa saya menjadi Ketua IV?” ungkapnya.

Tentang dugaan penyalahgunaan keuangan, Hie khie Sin belum saatnya ditanyakan dan memilih menjawab tidak tahu-menahu.

“Saya di sini mengabdi tanpa pamrih. Meskipun banyak anggota menilai saya banyak berbuat, jujur saya merasa biasa-biasa saja. Intinya saya hanya ingin mengabdi kepada masyarakat.

Masalah yang terjadi di Mumbul itu murni penilaian anggota. Oleh pengurus sudah sering diplenokan, tapi tidak pernah ada sanksinya.

Pembiaran. Lama-lama akhirnya anggota kecewa,” tandasnya merujuk kejadian di Yasa Setra Mandala (Mumbul). 

Artikel Terkait

Terpopuler

Artikel Terbaru

/