DENPASAR – Aksi demonstrasi di sejumlah daerah yang dilakukan oleh mahasiswa, warga sipil dan lainnya untuk
menolak pengesahan Rancangan Kitab Undang-undang Hukum Pidana (RKUHP) memang telah membuahkan hasil.
Yakni pihak DPR dan Pemerintah telah mengamini tuntutan masyarakat. Meski begitu, hal ini belum sepenuhnya menjadi kemenangan masyarakat.
Sebab, belum ada kepastian yang pasti terkait keberlanjutan RKUHP ini. Praktisi hukum I Made Ariel Suardana saat dihubungi radarbali.id (Jawa Pos Grup) memiliki
kecurigaan di mana Pemerintah dan DPR RI terlihat ingin mengesahkan RKUHP di injury time yaitu di detik-detik terakhir pergantian DPR RI.
“Sehingga mengesahkan RUU ini seperti SKS (Sistem Kebut Semalam) apalagi ditengah kontroversi pengesahan RUU KPK menjadi UU,” ujar Made Suardana, Rabu (25/9) siang.
Ariel yang juga mantan Aktivis 98 ini menyadari DPR ingin keliatan berprestasi dalam mengegolkan RUU KUHP yang ingin menggantikan KUHP Kolonial Belanda yang sudah 70 Tahun berlaku di Indonesia.
Tapi, yang menjadi soal adalah DPR yang sudah kehilangan legitimasi atas pengesahan RUU KPK dan menetapkan komisioner KPK menambah kemarahan publik.
“Belum lagi RUU KUHP itu setelah saya baca multitafsir dan kontroversial. Bagaimana tidak, sejumlah pasalnya masih sangat rawan disalahgunakan,” tuturnya.
Untuk itu, Ariel menyarankan, pertama DPR dan Pemerintah harus mendengarkan lagi masukan dari publik (Masyarakat, LSM,
mahasiswa dan seluruh komponen baik tani, nelayan dan sebagainya ) karena merekalah yang akan dikenakan atas pasal-pasal KUHP yang baru itu.
“Jangan hanya fakultas hukum aja diajak bicara memangnya negara ini hanya diisi oleh orang hukum. Ajak juga yang lain. Mewakili semua komponen,” sarannya.
Kedua, tidak lagi memasukkan urusan-urusan yang bersifat privat misalnya kumpul kebo sebagai pemidanaan yang justru merepotkan negara padahal ini urusan yang bersifat pribadi.
Ketiga, mengeluarkan pasal kontroversial yang menjadi penolakan dari rakyat. Keempat, tidak lagi memaksakan untuk mengesahkan RUU KUHP kalau belum sempurna.
“Diera saat ini meski KUHP ini warisan Belanda toh selama ini nggak ada persoalan yang signifikan. Dan semua masalah bisa diselesaikan melalui proses hukum yang regulasinya dibuat secara khusus dengan Lex Spesialis,” jelasnya.
Kelima, RUU ini dikawatirkan akan bertentangan dengan peraturan yang sudah ditetapkan terdahulu misalnya UU. No. 23 Tahun 2004 tentang KDRT di KUHP juga diatur lalu keduanya diberlakukan maka tentu akan menyulitkan dalam pelaksanaan.
“Iya kalau penegak hukum paham, karena tidak sedikit penegak hukum yang gagal paham atas penerapan suatu aturan,” ungkapnya.
Sementara, RKUHP ini juga disebutkan pulau Bali sebagai destinasi wisata dunia. Sikap penolakan yang dilakukan oleh pelaku pariwisata di Bali pun diancungkan jempol oleh Ariel.
Jika, hal ini berlaku maka penerapannya akan berbahaya. “Jangan sampai semua perempuan keluar malam lalu disidak dan diperiksa atas dasar menegakkan aturan.
Belum lagi saya baca perzinahan telah diperluas mulai dari siapa yang berhak melaporkan dan hukumnya juga menjadi 1 tahun
dari KUHP terdahulu 9 Bulan. Dan banyak hal yang bisa ditafsirkan dan membahayakan betul dalam penerapan,” ungkapnya.
Yang juga menarik, Ariel juga meminta agar semua anggota DPR RI dan DPD dari Bali harus membuat penolakan bersama-sama melalui surat resmi terkait hal ini.
Ariel juga menegaskan, jika RUU ini lolos yang dirugikan adalah kita semua. Terutama masyarakat. Sedangkan bagi penegak hukum terutama polisi sebagai garda terdepan dalam menjalankan KUHP ini, justru jadi senjata baru membungkam masyarakat.
“Dia akan sebebas mungkin menafsirkannya dan dipastikan dia juga disibukkan dengan hal-hal yang seharusnya bukan urusan pidana
adalah kasus pribadi. Maka dengan KUHP yang baru ini akan menjadi urusan polisi karena merupakan pidana,” ujarnya.
Dapat diketahui pula, selain RKUHP yang sudah ditunda tanpa ada batas waktu yang jelas, Jokowi juga meminta DPR menunda pengesahan RUU Pertanahan, RUU Minerba, dan RUU Pemasyarakatan.