DENPASAR – Pemberlakuan jam malam untuk berusaha di Bali membuat pusing para pemilik usaha. Namun apakah hal itu efektif untuk mencegah penularan virus Corona atau Covid 19 di Bali?
Ahli Epidemiologi dari Universitas Udayana, Dr. I Made Ady Wirawan, PhD., menyebut pembatasan waktu memang sebaiknya melihat indikator epidemiologi seperti kasus harian, kasus aktif, dan tingkat transmisi (angka reproduksi).
“Untuk memudahkan bisa juga menggunakan masa inkubasi terpanjang yaitu 14 hari, sebagai waktu untuk melakukan evaluasi apakah pembatasan dicabut atau dilanjutkan,” ujarnya pada Rabu (27/1).
Namun, kata dia, pemberlakuan jam malam sejatinya tak menjadi solusi utama. Baginya, yang lebih penting adalah penerapan aturan yang ketat.
“Tidak hanya saat malam hari tapi juga siang hari. Kalau pengawasan bisa secara ketat dan terfokus pada target-target aktivitas yang ingin dikendalikan, saya kira tidak perlu jam malam. Tapi kalau memang sulit mengontrol, jam malam bisa jadi salah satu solusi,” jawabnya.
Diketahui, Gubernur Bali Wayan Koster kembali mengeluarkan kebijakan pembaharuan berupa Surat Edaran Nomor 2 tahun 2021.
Ada sejumlah hal yang berbeda bila dilihat secara seksama dalam aturan terbaru ini. Antaranya, terkait pengaturan jam buka, dimana dalam aturan sebelumnya sampai jam 21.00 WITA, sedangkan yang terbaru sampai jam 20.00 WITA.
Ada juga terkait penggunaan PCR dan Rapid Tes Antigen, dimana sebelumnya dari 7 hari sebelum keberangkatan, sekarang menjadi 2 hari untuk PCR dan 1 Hari untuk rapid.
Ada lagi terkait soal pembatasan jumlah pengunjung dalam restoran atau tempat makan yang sebelumnya 50 persen, sekarang diperkecil lagi menjadi 25 persen.