DENPASAR – Siapa tidak ingat metode cuci otak yang dikenalkan Letjen dr. Terawan Agus Putranto yang dinamakan Digital Substraction Angiography (DSA).
Sempat jadi kontroversi karena metode yang digunakan dianggap belum teruji secara ilmiah. Bahkan, Majelis Kehormatan Etik Kedokteran (MKEK)
Ikatan Dokter Indonesia (IDI) memecat sementara dr. Terawan dari IDI, ternyata metode itu sudah ada di RS Sanglah sejak 2010 lalu.
Menurut dr Terawan, terapi cuci otak ini layak diterapkan untuk menyembuhkan penyakit stroke.Hal itu sudah disahkan Menteri Kesehatan sebelum dirinya menjabat, Nila. F Moeloek.
Kini untuk menyediakannya di rumah sakit, dibutuhkan kesungguhan dari setiap rumah sakit dan jika komitmen tinggal membuat standar operasional prosedur (SOP).
Katanya, jangan sampai peralatan sudah ada, tapi mangkrak karena tidak digunakan. “Jadi, risetnya sudah jadi dan jalan, tinggal SOP dari rumah sakit. Sah itu dikerjakan. Oo jelas. Eman-eman banyak teman yang sakit,” ucapnya.
Kendati demikian, meski dianggap bisa menyembuhkan, tapi tidak ramah dikantong masyarakat kurang mampu. Pembiayannya pun tidak ditanggung BPJS.
“Tidak semua BPJS. Itu pelayanan dasar kesehatan sesuai dengan budget yang ada. Jangan semua di BPJS kan itu akan meruntuhkan kemampuan rumah sakit.
Maka kemampuan bayar masyarakat yang mampu itu masih besar sekali. Lihat klaim ratio milik orang miskin disedot untuk orang tidak miskin. Jadinya tidak ada gotong royong,” ujar Menkes.
Diwawancarai terpisah, kepala Radiologi Fakultas Kedokteran Universitas Udayana RS Sanglah, dr Firman Parulian mengatakan, sejak tahun 2010 RSUP Sanglah sudah melakukan pelayanan DSA atau terapi cuci otak.
Namun sayangnya, alat yang dimiliki minim hanya ada tiga alat, itupun satu rusak tidak bisa dipakai. Bayangkan saja, dua alat dimiliki harus berbagi dengan unit bagian jantung.
“Alat bisa dipakai unit bagian jantung, dua itu bisa dipakai sebenarnya. Alat saya sementara rusak bisa pinjam di jantung.
Cuma jadinya kalau pakai yang di jantung, saya nggak bisa pakai kerja pagi saya dapat prioritas belakangan setelah teman – teman
di unit bagian jantung untuk menyelesaikan pekerjannya baru saya. Sehingga dapatnya di atas jam 16.00 sore,” ucap pria yang merupakan senior Terawan di bangku kuliah.
Mendengarkan keluhan Firman, Terawan langsung menelpon bagian distributor alat, untuk memperbaiki alat DSA RS Sanglah.
“Pak menteri sudah langsung telepon distributornya besok (hari ini, red) akan datang timnya memperbaiki mulai bulan depan bisa beroperasi lagi,” tuturnya.
Di RS Sanglah dokter radiologi hanya ada dua yakni dr Firman dan dr Putu Patriawan yang juga dibantu juga tim dan perawat.
Menurutnya, setiap minggunya ada 3 sampai 4 pasien yang berobat dengan terapi DSA. Untuk biaya cukup mahal.
Katanya sekali terapi Rp 15 sampai 17 juta. Meski cukup merogoh kocek yang dalam, ternyata pasiennya tidak dari Bali saja. Ada dari Timor Leste, dan NTB.
Jenis stroke yang bisa segera ditangani yaitu stroke tidak berdarah atau non hemoragik sehingga fungsional menjadi lebih baik.
“Kalau sebaiknya kapan, makin cepat lebih baik. Tidak dibatasi waktu. Makin cepat dikerjakan makin baik hasilnya. Banyak pasien kesini setahun dua tahun.
Ada yang setahun dua tahun, seperti pak menteri kesehatan yang penting kualitas hidup seperti pasien tidak bisa angkat tangan nggak bisa berdiri,” jelasnya.