BANGLI, radarbali.id- Usai membagikan 1.900 paket sembako bagi warga kurang mampu yang tersebar di 38 desa adat se-Kecamatan Mengwi, Badung, Senin (18/7), anggota Komite III DPD RI, Anak Agung Gde Agung, SH, menggelar serap pendapat di Rumah Sakit Jiwa Provinsi Bali yang berada di Kabupaten Bangli, Jumat (22/7).
Kehadiran tokoh kharismatik kelahiran 25 Mei 1949 yang salah satu tugasnya di Komite III DPD RI adalah membidangi kesehatan itu bukan tanpa sebab. Bupati Badung 2 periode (2005-2015) turun langsung untuk menyerap aspirasi terkait dampak pandemi Covid-19, khususnya mengenai masalah kesehatan jiwa.
AA Gde Agung yang juga Penglingsir Puri Ageng Mengwi diterima langsung Direktur RSJ, dr. I Dewa Gede Basudewa. Setibanya di lokasi, AA Gde Agung tampak menyapa dan bercengkrama dengan pasien dan keluarganya. Bahkan menyemangati pasien untuk sembuh. Sekaligus mengecek lingkungan RSJ yang asri ditopang pelayanan yang memadai.
Kemudian, pertemuan digelar di ruang rapat dihadiri Direktur, Wadir RSJ hingga pejabat di lingkup RSJ. Usai serap pendapat, Gde Agung menyatakan tim di DPD RI telah mengadakan kajian mendalam terkait kesehatan jiwa. “Setelah covid apa yang harus kami tangani. Ternyata setelah covid yang terparah adalah masalah kejiwaan,” ujar AA Gde Agung.
Berdasarkan survei, ungkapnya terdapat 277.000 kasus kesehatan jiwa di Indonesia. Naik sangat signifikan dibandingkan sebelum pandemi, yakni sebanyak 197.000 orang.
“Covid menyebabkan orang cemas, merasa disisihkan karena tidak boleh adakan kegiatan sosial. Mereka merasa bagaimana ketika saya sakit, apa tambah parah sakitnya? Di sisi lain, perekonomian masyarakat juga terpuruk. Sehingga yang muncul lebih banyak depresi. Depresi dialami anak muda usia 15-24 tahun. Kelompok usia ini prevelensi depresinya sangat tinggi,” ujar sosok yang selama pandemi Covid-19 telah membagikan lebih dari 10.000 paket sembako kepada masyarakat Bali.
Imbuhnya, mengacu data secara nasional, masih banyak yang berpotensi mengalami gangguan jiwa. Bahkan persentasenya mencapai 20 persen dari jumlah penduduk. Dikatakan Gde Agung, berkaca dari sejumlah kasus yang mencuat, banyak perilaku masyarakat yang di luar kesadaran alias tidak masuk akal.
Seperti kasus cucu bunuh nenek karena tidak diberikan uang, kasus orang tua menyetubuhi anak, kasus anak kecil dianiaya oleh orang tuanya sendiri, akademisi yang intelektual bunuh diri, dan sejenisnya.
“Ini salah satu kelainan. Mungkin dia tidak masuk RSJ. Tapi dia sudah gangguan jiwa. Oleh sebab itu, kami hadir dalam reses di RS Jiwa Bali. Kami serap pendapat sesuai Undang-Undang Kesehatan Jiwa,” jelasnya.
Yang diperoleh dalam serap pendapat, AA Gde Agung melihat ada penerapan undang-undang yang belum sesuai praktik.
“Tidak semua provinsi memiliki Rumah Sakit Jiwa. Bagaimana daerah itu bisa menangani kejiwaan. Padahal, syarat dalam undang-undang, setiap provinsi harus sudah memiliki rumah sakit jiwa,” ujarnya. Lanjut AA Gde Agung, satu pemerintahan daerah setidaknya ada satu RSJ.
Syukur Bali sudah memiliki RSJ yang dibangun pada 1933 sebelum kemerdekaan RI. “Dalam Pasal 4 Undang-Undang 1945, harus ada promotif, preventif, kuratif. Tapi dalam pasal 81, disebut ada ODGJ (Orang Dalam Gangguan Jiwa) terlantar,” jelasnya.
Bagi ODGJ terlantar, diusulkan ada panti untuk ODGJ. Terutama yang sudah dirawat, namun tidak diterima keluarga, tidak punya keluarga, tidak diterima masyarakat, dan sebagainya.
“Maka saya usulkan agar ada Panti Laras. Panti bukan tempat akhir dia, bukan rumah singgah. Kalau rumah singgah sifatnya sementara, namanya singgah. Namun Panti berbeda,” jelasnya.
Dikatakan lebih lanjut, Panti Laras, akan bersifat pembinaan, pelatihan dan sebagainya bagi ODGJ terlantar.
“Nah, Panti Laras ini menampung. Di situ ada semacam rehabilitasi, dengan penambahan keterampilan. Misalnya melukis. Yang perempuan bikin canang, berikan kesibukan. Kalau di Bali ada satu saja saya sudah syukuri,” ujarnya.
Dalam serap pendapat, muncul masukan dari perwakilan dokter. Di antaranya, soal asuransi BPJS Kesehatan. Kemudian pembayaran gaji dokter yang semestinya tipe A, justru diberikan paket klaim tipe C.
“Nanti setelah sidang paripurna, kami adakan rapat dengar pendapat dengan mereka,” tegasnya. Pada intinya, apa yang diperoleh di RSJ, pertama, berkaitan Undang-Undang Kesehatan Jiwa, yakni wajib ada peraturan pelaksana.
“Kami akan bicara di pusat, apakah PP dan sebagainya, sampai turunannya peraturan menteri kesehatan,” ujarnya. Yang kedua, diperlukan panti agar ODGJ yang sudah waras bisa dibina, terutama yang tidak diterima masyarakat. (dra/ken)