33 C
Jakarta
16 September 2024, 14:35 PM WIB

Kisah Pekerja Migran Indonesia yang Jadi Korban Trafficking di Turki

 

Sejumlah Pekerja Migran Indonesia (PMI) asal Bali, akhirnya tiba di tanah kelahiran. Mereka sampai di Buleleng pada Minggu (10/4) malam. Mereka gelisah, karena di rumah sudah dinanti utang berjuta-juta. Namun, bertahan di tanah rantau bukan pilihan.

 

Eka Prasetya, Buleleng

 

ISAK tangis haru langsung pecah saat pintu mobil travel dibuka. Satu persatu Pekerja Migran Indonesia (PMI) turun dari mobil. Mereka langsung menghambur, mendatangi orang tuanya. Memeluk sekaligus menumpahkan tangis haru.

 

Malam itu, Minggu (10/4), sebanyak sebelas orang pekerja migran berhasil pulang ke tanah air. Mereka sampai di Mapolres Buleleng sekitar pukul 23.00 malam. Sebelum sampai di tanah kelahiran, mereka harus melalui perjalanan panjang sejak Jumat (8/4) dini hari lalu.

 

Para pekerja migran itu merupakan korban tindak pidana perdagangan orang alias trafficking. Mereka diberangkatkan ke Istanbul, Turki, pada Desember 2021 silam dengan iming-iming bekerja di hotel maupun restoran. Gaji yang ditawarkan cukup besar. Berkisar antara Rp 7 juta hingga Rp 10 juta.

 

Pencari kerja itu diberangkatkan dengan visa liburan. Alasannya visa akan ditukar dengan ikamet atau izin tinggal dari pemerintah Turki. Belakangan mereka baru tahu bahwa ikamet bukan izin tinggal untuk kerja. Tak hanya itu, mereka juga ditelantarkan di sana.

 

Salah seorang pekerja migran, Ketut Susena Adiputra menuturkan, dirinya mendapat iming-iming berangkat dari seseorang pria berinisial Komang P. Pria itu mengaku memiliki koneksi dengan agensi yang bisa memberangkatkan pekerja migran kala pandemi.

 

Syaratnya tidak ribet. Hanya diminta menyetor uang Rp 25 juta, menyerahkan paspor, dan daftar riwayat hidup. Tak perlu interview. Dampaknya para calon pekerja pun tergiur.

 

“Tapi di sana akhirnya tidak bekerja sesuai harapan. Dengar-dengar ada banyak juga yang jadi korban. Tapi tidak ada yang berani lapor. Hanya beberapa saja yang berani lapor ke KJRI (Konsultas Jenderal Republik Indonesia) di Istanbul,” katanya.

 

Saat melapor ke KJRI, Susena mengaku ditawarkan kembali ke tanah air. Dalam hati, sebenarnya ia menolak. Dia masih berharap mendapat pekerjaan yang layak di perantauan. Sayangnya dia tidak memiliki dokumen legal untuk bekerja di luar negeri. Sehingga dia memilih pulang ke tanah air.

 

“Akhirnya lega bisa sampai di rumah. Tapi ada beban juga, karena kepikiran utang. Harapannya kan uang bisa kembali. Orang yang memperlakukan kami juga supaya kena jerat hukum, biar tidak terjadi lagi seperti ini,” harap pemuda yang tinggal di Desa Tamblang, Kecamatan Kubutambahan itu.

 

Hal serupa juga diungkapkan Putu Septiana Wardana. Septiana mengaku dirinya terpaksa bertahan di Turki, karena dijanjikan akan mendapat ikamet. Dia juga harus tunduk dengan seorang wanita asal Bali berinisial Anak Agung KRS yang kini mukim di Turki. Lantaran wanita itu yang akan mengurus dokumen izin tinggal.

 

Bulan demi bulan berlalu. Pekerjaan yang layak tak kunjung didapat. Mereka justru dipekerjakan di sebuah pabrik masker. Izin tinggal juga tak kunjung muncul. Para pekerja juga sempat luntang-lantung di tepi jalan raya saat musim dingin, gegara dilarang masuk ke dalam penginapan oleh Anak Agung KRS. Sehingga mereka membulatkan tekad melapor ke KJRI Istanbul.

 

Uniknya pada waktu yang hampir bersamaan, Anak Agung KRS juga mengadu ke KJRI Istanbul. “Dia melapor katanya kami tidak mau nurut sama dia. Kami sering keluyuran dan ke klab malam. Saat dia melapor, kami tidak ambil pusing. Kami hanya sampaikan ke KJRI apa yang kami alami dengan dokumen dan bukti yang sudah kami pegang,” kata Septiawan.

 

Konon di hadapan konsulat, Anak Agung KRS siap menanggung biaya kepulangan para pekerja migran. Hingga akhir Maret, Anak Agung KRS justru mangkir dari kewajibannya. Sehingga mereka baru bisa dipulangkan ke tanah air pada pekan pertama bulan April, menggunakan biaya dari pemerintah.

 

Septiawan menuturkan masih banyak pekerja migran yang bertahan di Turki. Mereka nekat bertahan,  karena tersandera utang yang menumpuk di tanah air. Padahal konsulat telah menyarankan agar mereka pulang ke tanah air. Toh dibiayai pemerintah.

 

 

“Saya pribadi memilih pulang. Karena di sana pasti nanti dikejar-kejar polisi dan imigrasi Turki. Lebih baik urus dokumen dulu di rumah. Kalau ada kesempatan, ingin kerja di luar negeri lagi. Dari pemerintah juga sudah mengenalkan ke beberapa agen resmi yang siap memfasilitasi keberangkatan ke Australia, New Zealand, atau Jepang,” tuturnya.

 

Lebih lanjut Septiawan mengatakan, pihaknya sudah beberapa kali memberikan keterangan pada pihak kepolisian. Pada Maret lalu, ia sempat memberikan keterangan melalui media zoom meeting. Pada Minggu siang, ia juga kembali menyampaikan keterangan serupa pada penyidik di Polda Bali. Rencananya pada Rabu (13/4), pekerja migran akan kembali dipanggil pihak kepolisian.

 

Di sisi lain, salah seorang orang tua, Komang Budi Artawan mengaku bahagia anaknya bisa pulang ke tanah air dengan selamat. Ia mengaku gelisah sejak mendapat kabar bahwa putranya, Komang Adi Saputra, bekerja secara ilegal di Turki.

 

“Anak saya baru pertama kali ke luar negeri. Dia berangkat biar ekonomi keluarganya membaik. Saya ini cuma jualan bakso. Saya ikhlaskan anak saya berangkat, karena dia ingin orang tuanya maju. Tapi malah kena masalah begini. Syukur akhirnya bisa pulang dengan selamat, tidak kena kasus hukum di luar negeri,” ujar pria asal Desa Galungan itu.

 

Seperti diberitakan sebelumnya, puluhan pekerja migran asal Bali, sempat terlantar di Turki. Mereka dijanjikan mendapat pekerjaan di sektor perhotelan oleh calo perorangan. Calo tersebut mengaku memiliki agen penyalur tenaga kerja. Saat sampai di Turki, bukannya mendapat pekerjaan, mereka justru terlantar di sana.

 

Para pekerja sempat ditempatkan pada sebuah losmen kecil. Losmen itu memiliki ruang tidur berukuran 3×3 meter dan ruang tamu berukuran 3×3 meter. Puluhan pekerja migran itu harus tinggal di ruang sempit itu.

 

Dari puluhan pekerja migran tersebut, 2 orang di antaranya diketahui berasal dari Buleleng. Mereka adalah Putu Septiana Wardana dan Komang Yudi. Keduanya berasal dari Banjar Dinas Babakan, Desa Sambangan, Kecamatan Sukasada.

 

Kepada wartawan, Septiana mengaku dirinya sudah berada di Turki sejak 10 Desember 2021 lalu. Saat itu mereka dijanjikan bekerja di hotel dengan penempatan sebagai petugas house keeping dan steward. Alih-alih mendapat pekerjaan di hotel, mereka justru di restoran pabrik. Belakangan mereka ditempatkan sebagai pekerja di pabrik masker.

 

Para pekerja migran itu sempat merekam kondisi mereka di lokasi penampungan ilegal. Rekaman itu kemudian diunggah ke media sosial hingga viral. (*)

 

Sejumlah Pekerja Migran Indonesia (PMI) asal Bali, akhirnya tiba di tanah kelahiran. Mereka sampai di Buleleng pada Minggu (10/4) malam. Mereka gelisah, karena di rumah sudah dinanti utang berjuta-juta. Namun, bertahan di tanah rantau bukan pilihan.

 

Eka Prasetya, Buleleng

 

ISAK tangis haru langsung pecah saat pintu mobil travel dibuka. Satu persatu Pekerja Migran Indonesia (PMI) turun dari mobil. Mereka langsung menghambur, mendatangi orang tuanya. Memeluk sekaligus menumpahkan tangis haru.

 

Malam itu, Minggu (10/4), sebanyak sebelas orang pekerja migran berhasil pulang ke tanah air. Mereka sampai di Mapolres Buleleng sekitar pukul 23.00 malam. Sebelum sampai di tanah kelahiran, mereka harus melalui perjalanan panjang sejak Jumat (8/4) dini hari lalu.

 

Para pekerja migran itu merupakan korban tindak pidana perdagangan orang alias trafficking. Mereka diberangkatkan ke Istanbul, Turki, pada Desember 2021 silam dengan iming-iming bekerja di hotel maupun restoran. Gaji yang ditawarkan cukup besar. Berkisar antara Rp 7 juta hingga Rp 10 juta.

 

Pencari kerja itu diberangkatkan dengan visa liburan. Alasannya visa akan ditukar dengan ikamet atau izin tinggal dari pemerintah Turki. Belakangan mereka baru tahu bahwa ikamet bukan izin tinggal untuk kerja. Tak hanya itu, mereka juga ditelantarkan di sana.

 

Salah seorang pekerja migran, Ketut Susena Adiputra menuturkan, dirinya mendapat iming-iming berangkat dari seseorang pria berinisial Komang P. Pria itu mengaku memiliki koneksi dengan agensi yang bisa memberangkatkan pekerja migran kala pandemi.

 

Syaratnya tidak ribet. Hanya diminta menyetor uang Rp 25 juta, menyerahkan paspor, dan daftar riwayat hidup. Tak perlu interview. Dampaknya para calon pekerja pun tergiur.

 

“Tapi di sana akhirnya tidak bekerja sesuai harapan. Dengar-dengar ada banyak juga yang jadi korban. Tapi tidak ada yang berani lapor. Hanya beberapa saja yang berani lapor ke KJRI (Konsultas Jenderal Republik Indonesia) di Istanbul,” katanya.

 

Saat melapor ke KJRI, Susena mengaku ditawarkan kembali ke tanah air. Dalam hati, sebenarnya ia menolak. Dia masih berharap mendapat pekerjaan yang layak di perantauan. Sayangnya dia tidak memiliki dokumen legal untuk bekerja di luar negeri. Sehingga dia memilih pulang ke tanah air.

 

“Akhirnya lega bisa sampai di rumah. Tapi ada beban juga, karena kepikiran utang. Harapannya kan uang bisa kembali. Orang yang memperlakukan kami juga supaya kena jerat hukum, biar tidak terjadi lagi seperti ini,” harap pemuda yang tinggal di Desa Tamblang, Kecamatan Kubutambahan itu.

 

Hal serupa juga diungkapkan Putu Septiana Wardana. Septiana mengaku dirinya terpaksa bertahan di Turki, karena dijanjikan akan mendapat ikamet. Dia juga harus tunduk dengan seorang wanita asal Bali berinisial Anak Agung KRS yang kini mukim di Turki. Lantaran wanita itu yang akan mengurus dokumen izin tinggal.

 

Bulan demi bulan berlalu. Pekerjaan yang layak tak kunjung didapat. Mereka justru dipekerjakan di sebuah pabrik masker. Izin tinggal juga tak kunjung muncul. Para pekerja juga sempat luntang-lantung di tepi jalan raya saat musim dingin, gegara dilarang masuk ke dalam penginapan oleh Anak Agung KRS. Sehingga mereka membulatkan tekad melapor ke KJRI Istanbul.

 

Uniknya pada waktu yang hampir bersamaan, Anak Agung KRS juga mengadu ke KJRI Istanbul. “Dia melapor katanya kami tidak mau nurut sama dia. Kami sering keluyuran dan ke klab malam. Saat dia melapor, kami tidak ambil pusing. Kami hanya sampaikan ke KJRI apa yang kami alami dengan dokumen dan bukti yang sudah kami pegang,” kata Septiawan.

 

Konon di hadapan konsulat, Anak Agung KRS siap menanggung biaya kepulangan para pekerja migran. Hingga akhir Maret, Anak Agung KRS justru mangkir dari kewajibannya. Sehingga mereka baru bisa dipulangkan ke tanah air pada pekan pertama bulan April, menggunakan biaya dari pemerintah.

 

Septiawan menuturkan masih banyak pekerja migran yang bertahan di Turki. Mereka nekat bertahan,  karena tersandera utang yang menumpuk di tanah air. Padahal konsulat telah menyarankan agar mereka pulang ke tanah air. Toh dibiayai pemerintah.

 

 

“Saya pribadi memilih pulang. Karena di sana pasti nanti dikejar-kejar polisi dan imigrasi Turki. Lebih baik urus dokumen dulu di rumah. Kalau ada kesempatan, ingin kerja di luar negeri lagi. Dari pemerintah juga sudah mengenalkan ke beberapa agen resmi yang siap memfasilitasi keberangkatan ke Australia, New Zealand, atau Jepang,” tuturnya.

 

Lebih lanjut Septiawan mengatakan, pihaknya sudah beberapa kali memberikan keterangan pada pihak kepolisian. Pada Maret lalu, ia sempat memberikan keterangan melalui media zoom meeting. Pada Minggu siang, ia juga kembali menyampaikan keterangan serupa pada penyidik di Polda Bali. Rencananya pada Rabu (13/4), pekerja migran akan kembali dipanggil pihak kepolisian.

 

Di sisi lain, salah seorang orang tua, Komang Budi Artawan mengaku bahagia anaknya bisa pulang ke tanah air dengan selamat. Ia mengaku gelisah sejak mendapat kabar bahwa putranya, Komang Adi Saputra, bekerja secara ilegal di Turki.

 

“Anak saya baru pertama kali ke luar negeri. Dia berangkat biar ekonomi keluarganya membaik. Saya ini cuma jualan bakso. Saya ikhlaskan anak saya berangkat, karena dia ingin orang tuanya maju. Tapi malah kena masalah begini. Syukur akhirnya bisa pulang dengan selamat, tidak kena kasus hukum di luar negeri,” ujar pria asal Desa Galungan itu.

 

Seperti diberitakan sebelumnya, puluhan pekerja migran asal Bali, sempat terlantar di Turki. Mereka dijanjikan mendapat pekerjaan di sektor perhotelan oleh calo perorangan. Calo tersebut mengaku memiliki agen penyalur tenaga kerja. Saat sampai di Turki, bukannya mendapat pekerjaan, mereka justru terlantar di sana.

 

Para pekerja sempat ditempatkan pada sebuah losmen kecil. Losmen itu memiliki ruang tidur berukuran 3×3 meter dan ruang tamu berukuran 3×3 meter. Puluhan pekerja migran itu harus tinggal di ruang sempit itu.

 

Dari puluhan pekerja migran tersebut, 2 orang di antaranya diketahui berasal dari Buleleng. Mereka adalah Putu Septiana Wardana dan Komang Yudi. Keduanya berasal dari Banjar Dinas Babakan, Desa Sambangan, Kecamatan Sukasada.

 

Kepada wartawan, Septiana mengaku dirinya sudah berada di Turki sejak 10 Desember 2021 lalu. Saat itu mereka dijanjikan bekerja di hotel dengan penempatan sebagai petugas house keeping dan steward. Alih-alih mendapat pekerjaan di hotel, mereka justru di restoran pabrik. Belakangan mereka ditempatkan sebagai pekerja di pabrik masker.

 

Para pekerja migran itu sempat merekam kondisi mereka di lokasi penampungan ilegal. Rekaman itu kemudian diunggah ke media sosial hingga viral. (*)

Artikel Terkait

Terpopuler

Artikel Terbaru

/