Made Sri Agastya memantapkan diri bergelut di usaha kecil mikro dan menengah (UMKM). Hanya bermodalkan resep di internet, produk buatannya kini berhasil menguasai warung dan pasar tradisional di Desa Panji.
Eka Prasetya, Buleleng
MATAHARI sedang terik. Made Sri Agastya, 50, tak mau menyiakan momen itu. Kerupuk-kerupuk mentah, segera dijemur di halaman rumah.
Sejak beberapa hari ini, cuaca sedang tidak bersahabat. Hujan kerap turun pada siang hingga sore hari. Padahal Agas – demikian wanita paro baya itu biasa disapa – sangat membutuhkan terik matahari untuk menjemur kerupuk mentah buatannya.
Agas merupakan salah seorang praktisi UMKM di Desa Panji, Kecamatan Sukasada. Produknya yang paling dikenal ialah kerupuk kelor. Produk itu telah menguasai warung-warung dan pasar tradisional. Utamanya di Desa Panji.
Wanita yang mukim di Dusun Kelod Kauh, Desa Panji itu, sudah menggeluti sektor UMKM sejak tahun 2006 lalu. Kala itu ia masih menggeluti usaha camilan. Seperti kacang kapri dan kacang keplos (olahan kacang merah). Produk camilan itu dikemas dalam kemasan plastik kiloan sederhana. Kemudian dipasarkan di warung-warung sekitar rumahnya.
Selang beberapa tahun, dia berusaha merambah usaha lain. Yakni usaha kerupuk. “Waktu pertama usaha kerupuk, saya itu beli kerupuk mentah di pasar. Baru digoreng di rumah. Ternyata tipis sekali untungnya,” cerita Agas saat ditemui di rumahnya, Sabtu (19/3) siang.
Agas memutuskan membuat adonan kerupuk sendiri. Bermodal resep di internet, dia berusaha meracik kerupuk yang sesuai dengan selera pasar. Resep yang dipilih adalah kerupuk kedelai. Butuh waktu selama sepekan baginya hingga menemukan resep yang pas di lidah. Awal mencoba diakui penuh dengan tantangan. Kerupuk buatannya pernah gagal mengembang. Pernah pula rasanya terlalu asin.
“Sekitar seminggu mencoba terus, akhirnya ketemu resep yang paten. Sekarang kalau saya buat kerupuk, semua bahan saya timbang. Jadi rasanya tetap begitu. Nggak berubah,” katanya.
Baru pada 2018, dia merambah kerupuk kelor. Ide itu didapat saat mengikuti pameran di salah satu hotel berbintang. Tatkala itu ia menjumpai beberapa praktisi UMKM yang membuat kue dengan bahan dasar daun kelor. Dia pun tercetus mencampur kelor ke dalam adonan kerupuk buatannya.
Agas dan keluarganya langsung jatuh cinta dengan rasa kerupuk kelor pada percobaan pertama. “Sampai sekarang, banyak yang pesan produk ini. Ada yang suka kerupuk kelor, ada juga yang suka kerupuk kedelai biasa,” tuturnya.
Untuk membuat kerupuk, butuh proses panjang. Agas menggunakan tepung terigu, tepung kanji, serta beras organik. Dia juga menyiapkan kedelai yang diblender kasar. Seluruh bahan itu kemudian dicampur menjadi satu. Setelah menyatu, ditambahkan kelor yang telah diseduh air panas dan daun seledri.
Adonan itu kemudian direbus selama 1,5 jam. Selanjutnya adonan didinginkan. Kemudian adonan tersebut dipotong. Baru setelah itu dijemur di bawah terik matahari selama 1,5 hari. Bila sudah kering, baru kerupuk mentah itu digoreng.
Dalam sepekan, Agas biasanya melakukan produksi selama sebanyak 3 kali. Tiap kali produksi, dia akan menghabiskan adonan sebanyak 12 kilogram. Biasanya dia akan mulai berproduksi pukul 03.00 dini hari. Pukul 06.00 pagi, dia harus siap menjajakan produknya ke sejumlah titik. Selanjutnya pada pukul 09.00 hingga 12.00 siang, dia akan mengemas kerupuk dan camilan yang telah digoreng pada pagi hari.
“Produk saya sekarang itu banyak di Pasar Kalibukbuk, Anturan, dan Panji. Kalau warung-warung, hampir seluruh Panji itu saya yang handle kerupuk dan kacangnya. Sudah lebih dari 50 warung,” kata ibu dari 3 orang anak itu.
Meski telah menguasai pasar dan warung tradisional, Agas tak mau berpuas diri. Dia masih punya keinginan melakukan ekspansi pasar. Sekitar setahun lalu, dia mengajukan Kredit Usaha Rakyat (KUR) di Bank Rakyat Indonesia (BRI) Unit Banyuasri. Dia mendapat kredit sebanyak Rp 50 juta dengan tenor selama 4 tahun.
Modal itu kini digunakan untuk membeli kemasan premium. Sekaligus meremajakan beberapa mesin produksi. Dia juga tengah melakukan eksperimen membuat kerupuk sorgum. Rencananya kerupuk itu akan dirilis pada Jumat (25/3) pekan depan. “Masih cari resep yang pas,” katanya.
Lebih lanjut Agas mengatakan, produknya memang banyak diserap pasar dan warung tradisional. Tapi dengan kemasan yang lebih cantik, produknya bisa menembus pasar premium. Produk seperti kerupuk, kacang kapri, dan kacang keplos dengan kemasan premium dijual seharga Rp 10 ribu per 100 gram. Rata-rata dalam sebulan, Agas mampu mengumpulkan omzet hingga Rp 5 juta sebulan.
Kini kendala yang ia hadapi adalah fluktuasi harga bahan baku. Utamanya minyak goreng dan kedelai. Disamping itu, dia juga membutuhkan oven untuk mengeringkan kerupuk, serta mesin pembersih kulit kacang. “Mudah-mudahan ada yang membantu,” harapnya.
Salah seorang warga, Gede Ganesha, mengaku sangat menggemari produk camilan buatan Agastya. Ganesha biasanya membeli kacang keplos. “Rasanya enak dan gurih. Biasanya saya beli kiloan. Selain dipakai camilan, kadang juga dipakai untuk kebutuhan upakara,” ungkapnya.
Sementara itu Regional CEO BRI Denpasar, Rudy Andimono mengungkapkan, pihaknya akan melakukan pendampingan yang lebih intens pada pegiat UMKM. Salah satunya dengan mendorong UMKM masuk ke pemasaran digital.