27.1 C
Jakarta
22 November 2024, 2:00 AM WIB

Ternak Lebah Trigona, Berhasil Angkat Ekonomi Keluarga

Kegagalan merupakan sukses yang tertunda. Nampaknya pepatah itu benar adanya. Seorang remaja di Desa Les berhasil beternak lebah trigona, setelah berkali-kali gagal dalam proses budi daya. Kini madu dari lebah trigona, berhasil mengangkat ekonomi keluarga.

 

Eka Prasetya, Buleleng

 

SEJUMLAH rumah-rumahan kayu terlihat berjejer di halaman rumah. Sepintas rumah-rumahan itu hanya terlihat sebagai hiasan kebun. Tapi saat dilihat dari dekat, ternyata itu merupakan sarang bagi lebah trigona (Apis trigona). Masyarakat setempat menyebutnya kele, ada pula yang memberi sebutan lebah klanceng.

 

Lebah-lebah berwarna hitam itu merupakan serangga yang diternakkan Gede Redi Putrayasa, 17. Remaja yang mukim di Banjar Dinas Panjingan, Desa Les, Kecamatan Tejakula itu berhasil menggeluti usaha ternak lebah. Dia tidak putus asa setelah berkali-kali gagal saat mengawali proses budi daya.

 

Redi mulai menggeluti bisnis madu lebah trigona pada Maret 2020 silam. Usahanya dimulai saat pandemi covid-19, baru merebak. Sekolah terhenti sementara. Dialihkan menjadi pembelajaran daring. Hari-harinya dipenuhi dengan menyelesaikan tugas sekolah.

 

Jenuh dengan rutinitas itu, Redi memilih ikut ayahnya, Gede Suka Arta, 41, masuk ke hutan desa. Di sana mereka berdua berburu madu lebah trigona. Selain ke hutan desa, mereka juga menjelajahi ladang serta jurang seantero desa.

 

Ketika itu, ia belum terpikir menjual madu lebah trigona. Madu yang didapat dari hutan, sebatas dikonsumsi untuk kebutuhan sendiri. Kalau toh ada tetangga yang ingin, ia berikan percuma.

 

Hingga suatu ketika, salah seorang tetangganya bersedia membeli madu lebah trigona seharga Rp 300 ribu untuk ukuran 360 militer. Tentu saja ia langsung mengiyakan.

 

“Tetangga saya bawa madu itu ke Gianyar. Setelah itu dia beli lagi, dibawa ke Denpasar. Akhirnya dari sana terus ada permintaan. Pas waktu itu saya baru ngerti harga. Ternyata harga jualnya bagus,” cerita Redi saat ditemui di rumahnya Sabtu kemarin (26/2).

 

Redi pun kian giat menjelajahi sudut-sudut desa. Dalam sehari ia meluangkan waktu selama 4 jam, hanya untuk berburu madu lebah trigona.

 

Pada September 2020, ia terpikir untuk beternak lebah di halaman rumah. Cara itu dianggap lebih efektif dan efisien, ketimbang berburu. Ternyata proses budi daya tak mudah. Ia sempat membawa pulang 4 buah sarang lebah. Namun hanya satu sarang saja yang bertahan. Lainnya gagal karena ditinggal lebah.

 

Penasaran, ia mencoba kembali. Ia pelajari detil demi detil. Di dalam hati, ia bertanya-tanya mengapa hanya sebuah sarang saja yang bertahan. Dia sempat berusaha mencari jawaban di dunia maya, tapi tidak membuahkan hasil.

 

“Karena saya waktu itu tahu namanya madu kele. Cari di internet nggak ketemu. Baru ada yang bilang kalau nama latin-nya itu trigona. Setelah searching, baru ketemu. Dari sana baru saya paham,” kata Redi yang juga tercatat sebagai Keluarga Penerima Manfaat Program Keluarga Harapan (KPM-PKH) itu. (Bersambung)

Kegagalan merupakan sukses yang tertunda. Nampaknya pepatah itu benar adanya. Seorang remaja di Desa Les berhasil beternak lebah trigona, setelah berkali-kali gagal dalam proses budi daya. Kini madu dari lebah trigona, berhasil mengangkat ekonomi keluarga.

 

Eka Prasetya, Buleleng

 

SEJUMLAH rumah-rumahan kayu terlihat berjejer di halaman rumah. Sepintas rumah-rumahan itu hanya terlihat sebagai hiasan kebun. Tapi saat dilihat dari dekat, ternyata itu merupakan sarang bagi lebah trigona (Apis trigona). Masyarakat setempat menyebutnya kele, ada pula yang memberi sebutan lebah klanceng.

 

Lebah-lebah berwarna hitam itu merupakan serangga yang diternakkan Gede Redi Putrayasa, 17. Remaja yang mukim di Banjar Dinas Panjingan, Desa Les, Kecamatan Tejakula itu berhasil menggeluti usaha ternak lebah. Dia tidak putus asa setelah berkali-kali gagal saat mengawali proses budi daya.

 

Redi mulai menggeluti bisnis madu lebah trigona pada Maret 2020 silam. Usahanya dimulai saat pandemi covid-19, baru merebak. Sekolah terhenti sementara. Dialihkan menjadi pembelajaran daring. Hari-harinya dipenuhi dengan menyelesaikan tugas sekolah.

 

Jenuh dengan rutinitas itu, Redi memilih ikut ayahnya, Gede Suka Arta, 41, masuk ke hutan desa. Di sana mereka berdua berburu madu lebah trigona. Selain ke hutan desa, mereka juga menjelajahi ladang serta jurang seantero desa.

 

Ketika itu, ia belum terpikir menjual madu lebah trigona. Madu yang didapat dari hutan, sebatas dikonsumsi untuk kebutuhan sendiri. Kalau toh ada tetangga yang ingin, ia berikan percuma.

 

Hingga suatu ketika, salah seorang tetangganya bersedia membeli madu lebah trigona seharga Rp 300 ribu untuk ukuran 360 militer. Tentu saja ia langsung mengiyakan.

 

“Tetangga saya bawa madu itu ke Gianyar. Setelah itu dia beli lagi, dibawa ke Denpasar. Akhirnya dari sana terus ada permintaan. Pas waktu itu saya baru ngerti harga. Ternyata harga jualnya bagus,” cerita Redi saat ditemui di rumahnya Sabtu kemarin (26/2).

 

Redi pun kian giat menjelajahi sudut-sudut desa. Dalam sehari ia meluangkan waktu selama 4 jam, hanya untuk berburu madu lebah trigona.

 

Pada September 2020, ia terpikir untuk beternak lebah di halaman rumah. Cara itu dianggap lebih efektif dan efisien, ketimbang berburu. Ternyata proses budi daya tak mudah. Ia sempat membawa pulang 4 buah sarang lebah. Namun hanya satu sarang saja yang bertahan. Lainnya gagal karena ditinggal lebah.

 

Penasaran, ia mencoba kembali. Ia pelajari detil demi detil. Di dalam hati, ia bertanya-tanya mengapa hanya sebuah sarang saja yang bertahan. Dia sempat berusaha mencari jawaban di dunia maya, tapi tidak membuahkan hasil.

 

“Karena saya waktu itu tahu namanya madu kele. Cari di internet nggak ketemu. Baru ada yang bilang kalau nama latin-nya itu trigona. Setelah searching, baru ketemu. Dari sana baru saya paham,” kata Redi yang juga tercatat sebagai Keluarga Penerima Manfaat Program Keluarga Harapan (KPM-PKH) itu. (Bersambung)

Artikel Terkait

Terpopuler

Artikel Terbaru

/