Dua pekan sebelum pencoblosan Pilkada Jembrana 9 Desember, I Gede Winasa sudah yakin anaknya bakal menang.
Dari dalam penjara dia bisa memetakan lumbung suara yang bisa digarap dan daerah terlarang yang tidak perlu digarap.
MAULANA SANDIJAYA, Denpasar
BADAN boleh saja dikerangkeng, tapi tidak dengan pikiran Winasa. Dari balik jeruji besi, pria bergelar professor gigi itu
memberikan strategi pemenangan kepada I Gede Ngurah Patriana Krisna alias Ipat, anak sulungnya yang sedang berjibaku mencalonkan diri sebagai wakil bupati.
Kiprah Winasa itu diungkapkan Jansen Purba, pengacara yang pernah mendampingi Winasa. Meski Jansen dan Winasa sempat “bercerai”
di tengah jalan saat menjalani sidang pengajuan Peninjauan Kembali (PK), hubungan keduanya hingga saat ini terjalin baik.
Ibarat perang, Winasa adalah ahli strategi. Winasa sudah tahu, mana daerah yang harus digempur dan dihindari.
“Jadi, dua minggu sebelum coblosan, beliau bilang kepada saya. Saya sudah perhitungkan semuanya, anak saya pasti menang’. Dia memprediksi bisa menang sampai 60 persen,” ujar Jansen Purba.
Sayang, prediksi menang 60 persen itu meleset. Meski meleset, anak Winasa toh tetap memenangkan pilkada berpasangan dengan I Nengah Tamba.
Menurut pengacara kelahiran Siantar, 55, tahun silam itu pengaruh Winasa di Jembrana masih luar biasa. Tidak hanya pengakuan sepihak dari Winasa, tapi pengakuan itu langsung dari masyarakat.
Padahal, sudah hampir satu dekade Winasa dijebloskan ke dalam bui. Raganya dipisahkan dari rakyat yang dulu pernah dipimpinnya.
“Saya pernah tanya kepada penduduk di Pengambengan, semua menyatakan masih menyukai Pak Winasa,” tukasnya.
Seminggu jelang coblosan, Jansen Purba kembali mengingatkan Winasa apakah sudah memperhitungkan akibat jika anaknya kalah pilkada.
Sebab, yang dilawan adalah partai penguasa dan petahana. Belum lagi bisa digugat jika selisih suara hanya 1 persen.
Namun hal itu tak membuat Winasa bergeming. “Winasa bilang suara (pendukung) saya tidak akan berpaling”. Dia tetap maju,” tukas Jansen.
Pengacara kelahiran 28 Oktober 1965 itu pun tak bisa berbuat apa. Ia hanya kagum dengan visi Winasa yang melompat jauh ke depan. Semua program yang digagas Winasa semuanya sangat membantu rakyat.
Kendati tak memiliki latar belakang hukum, Winasa cukup licin dalam sidang. Jansen mengaku selama mendampingi Winasa tidak pernah memikirkan fee lawyer atau bayaran.
Meski tak dibayar sepeser pun, Jansen memaklumi. Menurutnya, kondisi ekonomi Winasa saat ini sudah habis. Sulit mengharapkan fee lawyer, apalagi dalam jumlah besar dari mantan penguasa Bumi Makepung itu.
Yang ada Jansen merasa iba dengan kondisi Winasa. Saat sidang PK beberapa waktu lalu, sepatunya sobek dan bajunya lusuh. Winasa terlihat lahap makan mi instan di kantin pengadilan.
Kondisi tersebut tak mencerminkan sebagai mantan bupati. “Makanya, sekarang hubungan kami tetap terjalin baik,” pungkasnya.
Pengakuan tak jauh berbeda diungkapkan Nur Abidin, pengacara yang mendampingi Winasa setelah Jansen.
Pria yang akrab disapa Bidin itu menuturkan, selama mendampingi Winasa sidang banyak hal berkesan.“Secara kemanusiaan, Pak Winasa ini orangnya sangat baik dan brilian,” ujar Abidin.
Pengacara kelahiran Seririt, 13 April 1974, itu menyebut pengaruh Winasa di akar bawah masih sangat kuat.
Sebagian besar orang Jembrana yang ditemui Abidin menyatakan merindukan sosok Winasa. Programnya benar-benar menyentuh rakyat langsung.
“Saya kadang pergi mancing ke Jembrana. Saya tanya penduduk setempat, semua mengaku masih suka dengan Winasa,” bebernya.
Karena itu, saat Winasa menyuruh anaknya maju dalam pertempuran pilkada di Jembrana, masyarakat langsung antusias.
“Saya tidak kaget ketika Ipat menang, karena memang ada sosok Pak Winasa di belakangnya,” tandasnya.
Sama dengan Jansen, Abidin juga tidak berani menargetkan lawyer fee pada Winasa. Keuangan Winasa bisa dikatakan sedang terpuruk. Abidin ikhlas saat diberi uang untuk membeli bensin pulang-pergi ke Jembrana. (*)