28.6 C
Jakarta
10 Desember 2024, 18:10 PM WIB

Daging Impor Australia Kuasai Bali, Wajibkan Hotel Masak Sapi Bali

RadarBali.com – Pansus ranperda perlindungan dan pemanfaatan sapi Bali bersama Dinas Peternakan dan Kesehatan Hewan (DPKH), perwakilan petani serta pihak terkait, sepakat hotel dan restoran di Bali wajib menggunakan daging sapi Bali.

Hotel dan restoran tidak lagi diperbolehkan impor daging dari luar negeri. Selama ini daging sapi yang dimasak pihak hotel dan restoran banyak berasal dari Australia dan New Zealand.

“Dalam salah satu pasal ranperda, hotel dan restoran di Bali wajib menggunakan sapi Bali. Hotel-hotel jangan sampai pakai sapi impor,” tandas Ketua Pansus ranperda perlindungan dan pemanfaatan sapi Bali, Nyoman Parta, kemarin (3/8) di DPRD Bali.

Menurut Parta, hotel dan restoran diwajibkan membeli daging sapi lokal demi menyejahterakan petani sapi Bali.

Selain itu juga untuk melindungi sapi Bali agar tidak banyak diselundupkan keluar Bali. Selama ini para petani memilih menjual sapi keluar karena pasar di Bali yang terbatas.

Terkait alasan hotel dan restoran tidak mau menggunakan sapi Bali karena dagingnya yang keras, hal itu sudah diatur dalam ranperda.

Dijelaskan Parta, petani diberikan kelonggaran memotong sapi usia muda atau berat 200 kg. Petani tidak perlu menunggu berat sapi mencapai 400 kg.

“Dengan harga istimewa (mahal, Red), petani boleh memotong sapi yang umurnya dua tahun atau beratnya 200 kg,” beber politisi asal Gainyar itu.

Parta juga tak memungkiri jika petani lebih suka menjual sapinya dibawa ke luar Bali karena faktor keuangan. Saat petani menjual sapi ke rumah potong hewan lokal tidak langsung dibayar.

Tapi, saat dijual pada pedagang lain langsung dibayar kontan. “Hotel atau restoran yang tidak mau pakai daging sapi Bali, jangan diberi rekomendasi impor daging dari luar,” tandasnya.

Hal lain yang menjadi sorotan adalah kinerja Perusda Bali yang mengelola Rumah Pemotongan Hewan (RPH) di Temesi Gianyar.

RPH Temesi diketahui tak produktif sejak 2014. Hal ini dikarenakan, pihak Perusda tidak berani membeli sapi ke peternak dengan harga tunai sementara pihak lain berani membeli sapi dengan harga tunai.

Adanya dualisme pengelolaan RPH Temesi antara Pemprov dan Pemkab Gianyar lantaran tanahnya masih milik Pemkab Gianyar.

Parta berharap, kalau Pemprov sudah tidak sanggup lagi mengelola RPH Temesi, lebih baik dihibahkan ke Pemkab Gianyar.

Di tempat yang sama, Kepala DPKH Provinsi Bali Putu Sumantra mengungkapkan, selain mengimpor daging dari Australia dan New Zealand, hotel dan restoran juga mendatangkan daging dengan pola eks impor.

Daging dari Australia masuk ke Jakarta baru dikirim ke Bali. Sumantra memaklumi hotel dan restoran memilih daging sapi luar karena tekstur dagingnya lembut.

Sementara daging sapi Bali yang alot atau keras sulit dimasak. Ke depan, menurut Sumantra yang perlu diperbaiki adalah membuat daging sapi Bali lebih lembut.

Populasi sapi Bali sendiri diperkirakan saat ini 553 ribu ekor. Setiap tahun kebutuhan daging sapi di Bali berkisar 1.000 – 2.00 ton.

“Kebutuhan untuk wisatawan di hotel karena daging sapi Bali belum memiliki keempukan, kan hotel bisa komplain hotel,” bebernya.

Di Bali juga terkendala ketiadaan bahan baku pakan. Seperti jagung dan dedak. Keterbatasan itu yang akhirnya membuat suplai pakan menjadi persoalan tersendiri.

“Caranya sapi dipotong usia muda, pakannya diberi pakan tertentu, sehingga dagingnya lembut. Dengan demikian hotel mau menerima,” tukas Sumantra.

RadarBali.com – Pansus ranperda perlindungan dan pemanfaatan sapi Bali bersama Dinas Peternakan dan Kesehatan Hewan (DPKH), perwakilan petani serta pihak terkait, sepakat hotel dan restoran di Bali wajib menggunakan daging sapi Bali.

Hotel dan restoran tidak lagi diperbolehkan impor daging dari luar negeri. Selama ini daging sapi yang dimasak pihak hotel dan restoran banyak berasal dari Australia dan New Zealand.

“Dalam salah satu pasal ranperda, hotel dan restoran di Bali wajib menggunakan sapi Bali. Hotel-hotel jangan sampai pakai sapi impor,” tandas Ketua Pansus ranperda perlindungan dan pemanfaatan sapi Bali, Nyoman Parta, kemarin (3/8) di DPRD Bali.

Menurut Parta, hotel dan restoran diwajibkan membeli daging sapi lokal demi menyejahterakan petani sapi Bali.

Selain itu juga untuk melindungi sapi Bali agar tidak banyak diselundupkan keluar Bali. Selama ini para petani memilih menjual sapi keluar karena pasar di Bali yang terbatas.

Terkait alasan hotel dan restoran tidak mau menggunakan sapi Bali karena dagingnya yang keras, hal itu sudah diatur dalam ranperda.

Dijelaskan Parta, petani diberikan kelonggaran memotong sapi usia muda atau berat 200 kg. Petani tidak perlu menunggu berat sapi mencapai 400 kg.

“Dengan harga istimewa (mahal, Red), petani boleh memotong sapi yang umurnya dua tahun atau beratnya 200 kg,” beber politisi asal Gainyar itu.

Parta juga tak memungkiri jika petani lebih suka menjual sapinya dibawa ke luar Bali karena faktor keuangan. Saat petani menjual sapi ke rumah potong hewan lokal tidak langsung dibayar.

Tapi, saat dijual pada pedagang lain langsung dibayar kontan. “Hotel atau restoran yang tidak mau pakai daging sapi Bali, jangan diberi rekomendasi impor daging dari luar,” tandasnya.

Hal lain yang menjadi sorotan adalah kinerja Perusda Bali yang mengelola Rumah Pemotongan Hewan (RPH) di Temesi Gianyar.

RPH Temesi diketahui tak produktif sejak 2014. Hal ini dikarenakan, pihak Perusda tidak berani membeli sapi ke peternak dengan harga tunai sementara pihak lain berani membeli sapi dengan harga tunai.

Adanya dualisme pengelolaan RPH Temesi antara Pemprov dan Pemkab Gianyar lantaran tanahnya masih milik Pemkab Gianyar.

Parta berharap, kalau Pemprov sudah tidak sanggup lagi mengelola RPH Temesi, lebih baik dihibahkan ke Pemkab Gianyar.

Di tempat yang sama, Kepala DPKH Provinsi Bali Putu Sumantra mengungkapkan, selain mengimpor daging dari Australia dan New Zealand, hotel dan restoran juga mendatangkan daging dengan pola eks impor.

Daging dari Australia masuk ke Jakarta baru dikirim ke Bali. Sumantra memaklumi hotel dan restoran memilih daging sapi luar karena tekstur dagingnya lembut.

Sementara daging sapi Bali yang alot atau keras sulit dimasak. Ke depan, menurut Sumantra yang perlu diperbaiki adalah membuat daging sapi Bali lebih lembut.

Populasi sapi Bali sendiri diperkirakan saat ini 553 ribu ekor. Setiap tahun kebutuhan daging sapi di Bali berkisar 1.000 – 2.00 ton.

“Kebutuhan untuk wisatawan di hotel karena daging sapi Bali belum memiliki keempukan, kan hotel bisa komplain hotel,” bebernya.

Di Bali juga terkendala ketiadaan bahan baku pakan. Seperti jagung dan dedak. Keterbatasan itu yang akhirnya membuat suplai pakan menjadi persoalan tersendiri.

“Caranya sapi dipotong usia muda, pakannya diberi pakan tertentu, sehingga dagingnya lembut. Dengan demikian hotel mau menerima,” tukas Sumantra.

Artikel Terkait

Terpopuler

Artikel Terbaru

/