28.4 C
Jakarta
30 April 2024, 4:07 AM WIB

Terganggu Cuaca Buruk, Sentra Garam Gerokgak Hanya Produksi 30 Persen

GEROKGAK – Produksi garam di Desa Pejarakan Kecamatan Gerokgak Buleleng hingga saat ini masih terbilang rendah.

Rendahnya produksi garam di wilayah yang memiliki luas lahan pertanian garam terbesar di Bali ini masih terkendala cuaca hujan yang masih berlangsung.

Akibatnya, produksi garam yang dihasilkan hanya berkisar 30 persen saja dari panen biasanya saat cuaca normal.

Ketua Gabungan Kelompok Usaha GaramRakyat “Bumi Putih” Desa Pejarakan yakni Iksan mengatakan sejak musim berlangsung saat awal tahun, sejumlah petani garam di Pejarakan baru mulai melakukan masa panen.

Dalam kondisi hujan, panen hanya bisa dilakukan satu bulan sekali. “Kalau cuaca normal, panennya bisa 10 hari sekali,” tuturnya.

Dalam kondisi normal, produksi garam di desa Pejarakan bisa menghasilkan hingga 300 ton garam dalam satu kali panen.

Namun, sejak memasuki musim hujan pada Oktober 2017 lalu para petani garam di Desa Pejarakan yang terdiri dari 150 orang hanya mampu memproduksi 30 ton saja bahkan banyak petani yang beristirahat untuk tidak memproduksi garam.

“Hanya 30 persen dari panen normal. Garam hasil panen masih dipasarkan di seputaran wilayah Bali saja,” ucapnya.

Sementara untuk harga sendiri, saat ini harga garam terbilang cukup tinggi. Di tingkatan petani, harga garam mencapai Rp 1.500 perkilo, sedangkan di pasaran bisa mencapai Rp 3000 perkilo.

Harga ini terbilang tinggi mengingat harga biasanya saat cuaca normal hanya memiliki harga Rp 500 perkilonya.

“Nanti kalau normal pasti turun lagi harganya, kalau sekasrang karena permintaan tinggi barangnya susah makanya mahal,” pungkasnya.

Desa Pejarakan sendiri menjadi centra penghasil garam terbesar di Bali. Luas lahan pertanian garam di wilayah tersebut saat ini mencapai 195 hektar.

GEROKGAK – Produksi garam di Desa Pejarakan Kecamatan Gerokgak Buleleng hingga saat ini masih terbilang rendah.

Rendahnya produksi garam di wilayah yang memiliki luas lahan pertanian garam terbesar di Bali ini masih terkendala cuaca hujan yang masih berlangsung.

Akibatnya, produksi garam yang dihasilkan hanya berkisar 30 persen saja dari panen biasanya saat cuaca normal.

Ketua Gabungan Kelompok Usaha GaramRakyat “Bumi Putih” Desa Pejarakan yakni Iksan mengatakan sejak musim berlangsung saat awal tahun, sejumlah petani garam di Pejarakan baru mulai melakukan masa panen.

Dalam kondisi hujan, panen hanya bisa dilakukan satu bulan sekali. “Kalau cuaca normal, panennya bisa 10 hari sekali,” tuturnya.

Dalam kondisi normal, produksi garam di desa Pejarakan bisa menghasilkan hingga 300 ton garam dalam satu kali panen.

Namun, sejak memasuki musim hujan pada Oktober 2017 lalu para petani garam di Desa Pejarakan yang terdiri dari 150 orang hanya mampu memproduksi 30 ton saja bahkan banyak petani yang beristirahat untuk tidak memproduksi garam.

“Hanya 30 persen dari panen normal. Garam hasil panen masih dipasarkan di seputaran wilayah Bali saja,” ucapnya.

Sementara untuk harga sendiri, saat ini harga garam terbilang cukup tinggi. Di tingkatan petani, harga garam mencapai Rp 1.500 perkilo, sedangkan di pasaran bisa mencapai Rp 3000 perkilo.

Harga ini terbilang tinggi mengingat harga biasanya saat cuaca normal hanya memiliki harga Rp 500 perkilonya.

“Nanti kalau normal pasti turun lagi harganya, kalau sekasrang karena permintaan tinggi barangnya susah makanya mahal,” pungkasnya.

Desa Pejarakan sendiri menjadi centra penghasil garam terbesar di Bali. Luas lahan pertanian garam di wilayah tersebut saat ini mencapai 195 hektar.

Artikel Terkait

Terpopuler

Artikel Terbaru

/