26.2 C
Jakarta
22 November 2024, 3:42 AM WIB

Digenjot Bahan Kimia, 5 Persen Populasi Pohon Mangga di Buleleng Rusak

SINGARAJA – Penggunaan bahan kimia yang masif pada lahan perkebunan mangga yang ada di Kabupaten Buleleng, kini mulai berdampak.

Banyak pohon mangga di perkebunan warga yang meranggas mati. Warga pun kini mulai beralih ke komoditas lain, lantaran menanam ulang pohon mangga membutuhkan waktu yang cukup lama.

Pohon mangga yang kini meranggas, biasanya pohon-pohon yang dikontrak oleh tengkulak. Biasanya tengkulak akan melakukan pemumpukan dan penyemprotan pestisida dengan bahan kimia secara masif.

Produksi mangga digenjot semakismal mungkin, agar bisa berbuah tiga hingga empat kali dalam setahun.

Seperti yang terjadi di Desa Tembok, Kecamatan Tejakula. Banyak pohon mangga warga yang kini meranggas mati. Pohon-pohon itu dulunya dikontrak para tengkulak.

Bahkan, harganya sangat murah. Sejumlah pemilik lahan disebut mengontrakkan mangganya senilai Rp 50 ribu per tahun, per pohon.

“Ada pohon yang sudah meranggas. Ini kan sangat merugikan pemilik pohon. Sebab setelah dikontrak, perawatan itu sudah jadi hak pengontrak. Pemilik pohon tidak punya hak apa-apa,” kata Perbekel Tembok Dewa Komang Yudi Astara.

Kepala Dinas Pertanian Buleleng I Made Sumiarta yang dikonfirmasi terpisah mengakui cukup banyak tanaman mangga warga yang sudah meranggas.

Kondisi itu bukan hanya jadi di Desa Tembok. Namun juga terjadi di sejumlah sentra penghasil mangga, terutama di Kecamatan Kubutambahan.

Menurut Sumiarta, kerusakan tanaman itu dipicu proses pemeliharaan yang tak sehat. Tengkulak yang mengontrak pohon seringkali mengeksploitasi pohon dengan bahan-bahan kimia.

Selain itu pohon juga minim perlakuan. Sedikitnya lima persen populasi pohon mangga di Buleleng kini dalam kondisi rusak.

“Kami sudah dorong pemilik pohon memelihara sendiri. Tapi mindset warga itu masih berbeda. Alasannya ongkos pemeliharaan tinggi,

dan hasilnya saat panen tidak seberapa. Padahal kalau dikelola dengan baik, hasilnya bagus sekali,” kata Sumiarta.

Solusinya Dinas Pertanian akan menggelar sekolah lapang pada para petani. Serta membuat demplot-demplot pengelolaan mangga secara organik.

Sehingga warga tertarik bertani secara mandiri, bukan menyerahkan tanamannya pada tengkulak. Sekadar diketahui, saat ini produksi mangga di Buleleng mencapai 30.693 kg per tahun.

Sementara luas lahan budi daya mangga mencapai 6.709 hektare di seluruh Buleleng. Sayangnya tingkat produksi yang tinggi itu tak berbanding lurus dengan nasib para petani mangga.

Harga mangga di tingkat petani kerap ditekan tengkulak. Mangga harum manis di Buleleng bahkan pernah dijual seharga Rp 1.500 per kilogram di tingkat petani.

Sementara setelah dijual di pasar, harganya bisa mencapai Rp 25 ribu per kilogram. 

SINGARAJA – Penggunaan bahan kimia yang masif pada lahan perkebunan mangga yang ada di Kabupaten Buleleng, kini mulai berdampak.

Banyak pohon mangga di perkebunan warga yang meranggas mati. Warga pun kini mulai beralih ke komoditas lain, lantaran menanam ulang pohon mangga membutuhkan waktu yang cukup lama.

Pohon mangga yang kini meranggas, biasanya pohon-pohon yang dikontrak oleh tengkulak. Biasanya tengkulak akan melakukan pemumpukan dan penyemprotan pestisida dengan bahan kimia secara masif.

Produksi mangga digenjot semakismal mungkin, agar bisa berbuah tiga hingga empat kali dalam setahun.

Seperti yang terjadi di Desa Tembok, Kecamatan Tejakula. Banyak pohon mangga warga yang kini meranggas mati. Pohon-pohon itu dulunya dikontrak para tengkulak.

Bahkan, harganya sangat murah. Sejumlah pemilik lahan disebut mengontrakkan mangganya senilai Rp 50 ribu per tahun, per pohon.

“Ada pohon yang sudah meranggas. Ini kan sangat merugikan pemilik pohon. Sebab setelah dikontrak, perawatan itu sudah jadi hak pengontrak. Pemilik pohon tidak punya hak apa-apa,” kata Perbekel Tembok Dewa Komang Yudi Astara.

Kepala Dinas Pertanian Buleleng I Made Sumiarta yang dikonfirmasi terpisah mengakui cukup banyak tanaman mangga warga yang sudah meranggas.

Kondisi itu bukan hanya jadi di Desa Tembok. Namun juga terjadi di sejumlah sentra penghasil mangga, terutama di Kecamatan Kubutambahan.

Menurut Sumiarta, kerusakan tanaman itu dipicu proses pemeliharaan yang tak sehat. Tengkulak yang mengontrak pohon seringkali mengeksploitasi pohon dengan bahan-bahan kimia.

Selain itu pohon juga minim perlakuan. Sedikitnya lima persen populasi pohon mangga di Buleleng kini dalam kondisi rusak.

“Kami sudah dorong pemilik pohon memelihara sendiri. Tapi mindset warga itu masih berbeda. Alasannya ongkos pemeliharaan tinggi,

dan hasilnya saat panen tidak seberapa. Padahal kalau dikelola dengan baik, hasilnya bagus sekali,” kata Sumiarta.

Solusinya Dinas Pertanian akan menggelar sekolah lapang pada para petani. Serta membuat demplot-demplot pengelolaan mangga secara organik.

Sehingga warga tertarik bertani secara mandiri, bukan menyerahkan tanamannya pada tengkulak. Sekadar diketahui, saat ini produksi mangga di Buleleng mencapai 30.693 kg per tahun.

Sementara luas lahan budi daya mangga mencapai 6.709 hektare di seluruh Buleleng. Sayangnya tingkat produksi yang tinggi itu tak berbanding lurus dengan nasib para petani mangga.

Harga mangga di tingkat petani kerap ditekan tengkulak. Mangga harum manis di Buleleng bahkan pernah dijual seharga Rp 1.500 per kilogram di tingkat petani.

Sementara setelah dijual di pasar, harganya bisa mencapai Rp 25 ribu per kilogram. 

Artikel Terkait

Terpopuler

Artikel Terbaru

/