26.1 C
Jakarta
12 Desember 2024, 5:28 AM WIB

Ekonomi Melambat Karena Covid-19, Buleleng Alami Deflasi

SINGARAJA – Kondisi perekonomian di Kabupaten Buleleng yang mengalami perlambatan, ternyata memicu deflasi.

Warga diperkirakan menahan anggaran belanja mereka, sehingga berdampak pada turunnya laju inflasi di Kabupaten Buleleng.

Selama masa pandemi Covid-19, kondisi perekonomian di Kabupaten Buleleng memang diperkirakan mengalami perlambatan.

Warga lebih selektif dan membatasi tingkat konsumsi. Selain itu, pembatasan jam operasional pusat-pusat ekonomi, juga mempengaruhi laju inflasi.

Berdasar pencatatan di Badan Pusat Statistik (BPS) Buleleng, pada bulan April 2020 lalu, Kabupaten Buleleng tak mengalami inflasi.

Sebaliknya, terjadi deflasi sebesar 0,36 persen. Sehingga tingkat inflasi di Kabupaten Buleleng pada tahun kalender 2020, ada pada angka 1,17 persen.

Masih berada pada angka normal, dari target inflasi 3,5 persen. Asisten Ekonomi dan Pembangunan (Ekbang) Setda Buleleng Ni Made Rousmini mengatakan, hasil identifikasi Tim Pengendali Inflasi Daerah (TPID) Buleleng, memang terjadi deflasi pada bulan ini.

Hal itu diharapkan masih mampu menjaga daya beli masyarakat di tengah perlambatan ekonomi selama pandemi Covid-19.

“Kalau melihat data statistik, yang memengaruhi deflasi di Buleleng itu kelompok makanan dan minuman. Seperti komoditas cabai merah,

daging ayam ras, telur, bawang, daging babi, termasuk ikan teri,” kata Rousmini. Rousmini memperkirakan, daya beli masyarakat yang menurun dikarenakan penghasilan dari masyarakat menurun.

“Seperti diketahui, banyak masyarakat yang diberhentikan dari pekerjaannya, sehingga mereka penghasilannya menurun,” katanya lagi.

Lebih lanjut Rousmini mengatakan, selain makanan dan minuman, kelompok yang memengaruhi tingkat deflasi yakni kelompok perlengkapan dan peralatan rumah tangga.

Kelompok ini memberikan kontribusi sebesar -1,74 persen. Selain itu ada kelompok makanan dan tembaku sebesar -0,73 persen, serta kelompok komunikasi dan jasa keuangan sebesar -0,45 persen.

Meski begitu, TPID mencatat ada beberapa kelompok konsumsi yang mengalami inflasi. Yakni kelompok perawatan pribadi dan jasa sebesar 0,17 persen;

kelompok air, listrik, gas, dan bahan bakar lainnya sebesar 0,08 persen; kelompok transportasi sebesar 0,04 persen; dan kelompok kesehatan sebesar 0,01 persen.

Saat ini TPID masih mengkaji dampak deflasi terhadap perekonomian Buleleng dalam jangka panjang. Terutama selama masa pandemi Covid-19.

“Walaupun stok pangan mencukupi dan harga stabil, namun deflasi tidak selamanya baik, karena jika ini terus terjadi berarti

perputaran ekonomi melemah. Sehingga kami sedang menyusun strategi untuk mengantisipasi hal ini,” tandas Rousmini. 

SINGARAJA – Kondisi perekonomian di Kabupaten Buleleng yang mengalami perlambatan, ternyata memicu deflasi.

Warga diperkirakan menahan anggaran belanja mereka, sehingga berdampak pada turunnya laju inflasi di Kabupaten Buleleng.

Selama masa pandemi Covid-19, kondisi perekonomian di Kabupaten Buleleng memang diperkirakan mengalami perlambatan.

Warga lebih selektif dan membatasi tingkat konsumsi. Selain itu, pembatasan jam operasional pusat-pusat ekonomi, juga mempengaruhi laju inflasi.

Berdasar pencatatan di Badan Pusat Statistik (BPS) Buleleng, pada bulan April 2020 lalu, Kabupaten Buleleng tak mengalami inflasi.

Sebaliknya, terjadi deflasi sebesar 0,36 persen. Sehingga tingkat inflasi di Kabupaten Buleleng pada tahun kalender 2020, ada pada angka 1,17 persen.

Masih berada pada angka normal, dari target inflasi 3,5 persen. Asisten Ekonomi dan Pembangunan (Ekbang) Setda Buleleng Ni Made Rousmini mengatakan, hasil identifikasi Tim Pengendali Inflasi Daerah (TPID) Buleleng, memang terjadi deflasi pada bulan ini.

Hal itu diharapkan masih mampu menjaga daya beli masyarakat di tengah perlambatan ekonomi selama pandemi Covid-19.

“Kalau melihat data statistik, yang memengaruhi deflasi di Buleleng itu kelompok makanan dan minuman. Seperti komoditas cabai merah,

daging ayam ras, telur, bawang, daging babi, termasuk ikan teri,” kata Rousmini. Rousmini memperkirakan, daya beli masyarakat yang menurun dikarenakan penghasilan dari masyarakat menurun.

“Seperti diketahui, banyak masyarakat yang diberhentikan dari pekerjaannya, sehingga mereka penghasilannya menurun,” katanya lagi.

Lebih lanjut Rousmini mengatakan, selain makanan dan minuman, kelompok yang memengaruhi tingkat deflasi yakni kelompok perlengkapan dan peralatan rumah tangga.

Kelompok ini memberikan kontribusi sebesar -1,74 persen. Selain itu ada kelompok makanan dan tembaku sebesar -0,73 persen, serta kelompok komunikasi dan jasa keuangan sebesar -0,45 persen.

Meski begitu, TPID mencatat ada beberapa kelompok konsumsi yang mengalami inflasi. Yakni kelompok perawatan pribadi dan jasa sebesar 0,17 persen;

kelompok air, listrik, gas, dan bahan bakar lainnya sebesar 0,08 persen; kelompok transportasi sebesar 0,04 persen; dan kelompok kesehatan sebesar 0,01 persen.

Saat ini TPID masih mengkaji dampak deflasi terhadap perekonomian Buleleng dalam jangka panjang. Terutama selama masa pandemi Covid-19.

“Walaupun stok pangan mencukupi dan harga stabil, namun deflasi tidak selamanya baik, karena jika ini terus terjadi berarti

perputaran ekonomi melemah. Sehingga kami sedang menyusun strategi untuk mengantisipasi hal ini,” tandas Rousmini. 

Artikel Terkait

Terpopuler

Artikel Terbaru

/