BANGLI – Sudah jatuh tertimpa tangga. Itulah yang dialami petani jeruk di Banjar Let, Desa Taro, Kecamatan Kintamani di tengah panen jeruk besar-besaran.
Ketersediaan yang banyak justru membuat harga jeruk jenis siem anjlok menjelang hari raya Galungan.
Mirisnya, karena pasar tidak menampung, jeruk dijadikan pupuk untuk pohonnya sendiri. Salah satu petani jeruk, Ni Komang Rini, mengaku tak habis pikir dengan kejadian ini.
“Ini panen setiap tahun. Sekali petik, saya bisa panen setengah ton (500 kilogram, red),” ujar Rini, kemarin.
Karena musim panen, setelah dipetik, pohon kembali berbuah. “Kalau sudah panen cepat berbuahnya,” jelas pemilik lahan 20 are itu.
Ratusan kilogram buah jeruk itu kemudian dibawa ke pengepul di Kabupaten Bangli. Di Bangli, jeruk di packing kemudian dikirimkan ke seluruh penjuru Bali.
“Harganya sekarang malah turun. Padahal mau dekat Galungan,” keluh perempuan 31 tahun itu. Sekilo, harga jeruk Rp 3.000.
Kata Rini, harga itu jauh di bawah harga normal jeruk. “Kalau dulu harganya bisa Rp 5-6 ribuan per kilo, sekarang turun jauh,” jelasnya.
Selain anjlok, panen yang melimpah justru terbuang percuma. “Karena ada yang tidak masuk packing, akhirnya tidak terangkut. Jadi banyak yang tidak terpakai,” jelasnya.
Jeruk yang tidak terpakai itu mau tidak mau mubazir. “Ini terpaksa dijadikan pupuk untuk pohon jeruk,” ujarnya.
Dia mengaku, untuk meminimalisir kerugian, sebagian jeruk dibawa ke pasar-pasar tradisional terdekat seperti Gianyar dan Denpasar.
Sebagai petani jeruk yang sudah bergelut sejak 6 tahun lalu, Rini sudah mengalami anjlok harga sejak tiga kali panen.
Sebelumnya, pengepul mengambil jeruk seharga Rp 4-5 ribu. “Tapi sekarang paling rendah dibanding panen yang lalu. Ini yang termurah,” tukasnya.