31.2 C
Jakarta
13 November 2024, 19:52 PM WIB

Dirumahkan, Karyawan Restoran Pilih Buat Kue Basah

SUKASADA – Masa pandemi memaksa masyarakat menjadi lebih kreatif. Terutama bagi mereka yang mengalami pemutusan hubungan kerja, maupun yang dirumahkan untuk sementara waktu.

Seperti yang dialami oleh Kadek Wika Aprianti. Salah seorang karyawan restoran di wilayah Kuta Selatan ini, sudah dirumahkan sejak awal pandemi pada Maret lalu.

Ia putar otak dan memanfaatkan kemampuannya memasak kue basah, untuk memenuhi kebutuhan keluarga.

Wanita yang mukim di Banjar Dinas Babakan, Desa Sambangan, Kecamatan Sukasada itu, tadinya bekerja di salah satu restoran yang cukup bonafid di Kuta Selatan.

Saat pandemi covid-19 menyerang dataran Tiongkok dan terus meluas ke seluruh dunia, bisnis di restoran tempat ia bekerja mulai goyah.

Terlebih restoran itu lebih banyak dikunjungi wisatawan mancanegara. Kabar buruk itu pun tiba pada 23 Maret silam.

“Waktu itu saya dapat info restoran tempat saya bekerja itu tutup. Jadinya dari yang namanya daily worker, training, sampai staf, diliburkan. Termasuk manajer saya juga diliburkan sampai waktu yang belum ditentukan,” kata Wika.

Pulang kampung tanpa penghasilan, membuat ia kelimpungan. Kondisi bahkan semakin buruk. Ibunya yang sempat dipekerjakan sebagai baby sitter juga harus berhenti bekerja sementara waktu.

Pandemi memaksa sebagian besar keluarga mengendalikan pengeluaran. Minimnya pemasukan yang didapat keluarga, memaksa Wika putar otak.

Ia kemudian memanfaatkan kemampuannya membuat kue basah untuk pemasukan keluarga. Ia memilih membuat kue basah untuk kebutuhan upkara.

Jenisnya pun beragam, mulai dari jaje uli, kaliadrem, abug gobres, bantal, maupun kue kukus. Biasanya kue-kue itu dijual jelang hari raya.

Seperti rahima purnama, tilem, buda wage, sarasawati, maupun pagerwesi. Khusus saat pagerwesi pekan lalu, ia juga membuat tape yang disandingkan dengan jaje uli.

“Biasanya sih dijual di pasar. Tapi H-2 juga mulai buka pesanan di media sosial. Kalau untuk rahina purnama dan tilem itu biasanya

untuk ukuran (adonan) satu kilogram aja dulu. Ada juga pesanan dari teman-teman. Selama ini sih selalu habis,” ceritanya.

Lebih lanjut Wika menuturkan, untuk menghemat pengeluaran, ia dan keluarga memilih memasak kue-kue itu dengan cara tradisional.

Yakni dengan menggunakan tungku. Setiap pagi, kakak dan ayahnya, kerap berkeliling kebun untuk mengumpulkan kayu bakar.

Kayu yang didapat kemudian dikumpulkan pada sebuah lahan kosong terbengkalai yang terletak di depan rumahnya. Kayu-kayu itu kemudian digunakan untuk memasak.

Selain lebih hemat, Wika menyebut rasa yang didapat juga menjadi lebih enak. “Paling tidak bisa lebih hemat,” katanya lagi.

Di masa new normal ini, Wika berharap kondisi perekonomian di Provinsi Bali bisa pulih seperti sediakala. Sehingga ia bisa kembali bekerja di Bali Selatan guna membantu kondisi perekonomian keluarga. 

SUKASADA – Masa pandemi memaksa masyarakat menjadi lebih kreatif. Terutama bagi mereka yang mengalami pemutusan hubungan kerja, maupun yang dirumahkan untuk sementara waktu.

Seperti yang dialami oleh Kadek Wika Aprianti. Salah seorang karyawan restoran di wilayah Kuta Selatan ini, sudah dirumahkan sejak awal pandemi pada Maret lalu.

Ia putar otak dan memanfaatkan kemampuannya memasak kue basah, untuk memenuhi kebutuhan keluarga.

Wanita yang mukim di Banjar Dinas Babakan, Desa Sambangan, Kecamatan Sukasada itu, tadinya bekerja di salah satu restoran yang cukup bonafid di Kuta Selatan.

Saat pandemi covid-19 menyerang dataran Tiongkok dan terus meluas ke seluruh dunia, bisnis di restoran tempat ia bekerja mulai goyah.

Terlebih restoran itu lebih banyak dikunjungi wisatawan mancanegara. Kabar buruk itu pun tiba pada 23 Maret silam.

“Waktu itu saya dapat info restoran tempat saya bekerja itu tutup. Jadinya dari yang namanya daily worker, training, sampai staf, diliburkan. Termasuk manajer saya juga diliburkan sampai waktu yang belum ditentukan,” kata Wika.

Pulang kampung tanpa penghasilan, membuat ia kelimpungan. Kondisi bahkan semakin buruk. Ibunya yang sempat dipekerjakan sebagai baby sitter juga harus berhenti bekerja sementara waktu.

Pandemi memaksa sebagian besar keluarga mengendalikan pengeluaran. Minimnya pemasukan yang didapat keluarga, memaksa Wika putar otak.

Ia kemudian memanfaatkan kemampuannya membuat kue basah untuk pemasukan keluarga. Ia memilih membuat kue basah untuk kebutuhan upkara.

Jenisnya pun beragam, mulai dari jaje uli, kaliadrem, abug gobres, bantal, maupun kue kukus. Biasanya kue-kue itu dijual jelang hari raya.

Seperti rahima purnama, tilem, buda wage, sarasawati, maupun pagerwesi. Khusus saat pagerwesi pekan lalu, ia juga membuat tape yang disandingkan dengan jaje uli.

“Biasanya sih dijual di pasar. Tapi H-2 juga mulai buka pesanan di media sosial. Kalau untuk rahina purnama dan tilem itu biasanya

untuk ukuran (adonan) satu kilogram aja dulu. Ada juga pesanan dari teman-teman. Selama ini sih selalu habis,” ceritanya.

Lebih lanjut Wika menuturkan, untuk menghemat pengeluaran, ia dan keluarga memilih memasak kue-kue itu dengan cara tradisional.

Yakni dengan menggunakan tungku. Setiap pagi, kakak dan ayahnya, kerap berkeliling kebun untuk mengumpulkan kayu bakar.

Kayu yang didapat kemudian dikumpulkan pada sebuah lahan kosong terbengkalai yang terletak di depan rumahnya. Kayu-kayu itu kemudian digunakan untuk memasak.

Selain lebih hemat, Wika menyebut rasa yang didapat juga menjadi lebih enak. “Paling tidak bisa lebih hemat,” katanya lagi.

Di masa new normal ini, Wika berharap kondisi perekonomian di Provinsi Bali bisa pulih seperti sediakala. Sehingga ia bisa kembali bekerja di Bali Selatan guna membantu kondisi perekonomian keluarga. 

Artikel Terkait

Terpopuler

Artikel Terbaru

/