32.7 C
Jakarta
22 November 2024, 15:12 PM WIB

Sistem Upah Buruh Tani Tak Berlaku, Petani Pilih Sistem Bagi Hasil

RadarBali.com – Kebijakan Kementerian Pertanian terkait peningkatan upah buruh tani per Juli 2017 lalu ternyata tidak bisa diterapkan di Bali.

Pasalnya, Bali memiliki cara lain untuk meningkatkan upah buruh tani. Yakni melalui sistem bagi hasil. Sistem ini diyakini mampu menghilangkan kecemburuan antara pemilik lahan dan petani penggarap untuk menghindari kerugian antar kedua belah pihak.

Ketua Himpunan Kerukunan Tani Indonesia (HKTI) Bali Prof Nyoman Suparta mengungkapkan, sistem bagi hasil diterapkan petani Bali secara turun temurun.

Sistem bagi hasil untuk tanaman padi, misalnya. Di sana ada perjanjian antara pemilik lahan dan penggarap dengan kesepakatan bagi dua.

“Hasil bersih tanaman padi di bagi dua. Tapi, untuk jumlah pembagian tidak sama antar satu daerah dengan daerah lain,” ujar Prof Nyoman Suparta kemarin (17/8).

Ada beberapa jenis tanaman yang melakukan pembagian hasil bagi tiga. Misalnya, pada tanaman palawija, di mana pembagian hasilnya dengan perhitungan dua pertiga untuk pemilik lahan, dan satu pertiga untuk petani penggarap.

“Kalau hitungan di Bali tidak masuk. Tidak bisa memakai ongkos kerja itu,” jelasnya. Dia menambahkan, sistem upah dalam dunia pertanian di Bali hanya dilakukan dalam beberapa bagian saja.

Seperti penggarapan lahan yang akan ditanami dengan mempekerjakan orang dalam sistem gaji borongan.

“Misalnya berapa are yang akan digarap lahannya. Itu pun yang mencari tukangnya dari pihak penggarap. Hanya dalam masa tertentu saja,” terang Suparta.

Anggota Dewan Penasihat Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA) Bali Ngurah Karyadi mengatakan, sistem pengupahan buruh tani memungkinkan untuk diterapkan di Bali.

Ada beberapa perusahaan perkebunan, khususnya BUMD menerapkan pola tersebut. “Besaran gaji mengacu pada UMP, yang sudah tentu sulit bagi kesejahteraan petani. Apalagi sebagian besar BUMD seperti hidup segan mati tak mau,” katanya.

Sistem bagi hasil di Bali memiliki banyak kelemahan. Salah satu yang terlihat, tidak adanya perjanjian tertulis antara penggarap lahan dengan pemilik lahan sehingga kerap kali terjadi “kucing-kucingan”.

“Misalnya dalam panen, penyakap (penggarap) tidak melaporkan hasil, dan atau pemilik panen duluan tanpa melibatkan penyakap,” jelas Ngurah Karyadi.

Sebenarnya sistem bagi hasil ini sudah diatur dalam UU bagi hasil nomor 2 tahun 1960 yang menjelaskan tentang sistem bagi hasil pertanian ini.

Hanya saja UU ini tidak berjalan sesuai ketentuan. “Belum berjalan bagi rakyat kecil, dan hanya investasi atau modal yang menerapkan perjanjian tersebut,” pungkasnya.

Seperti diketahui, sesuai data yang dirilis BPS upah nominal harian buruh tani nasional naik sebesar 0,18 persen dibanding upah buruh tani pada Juni 2017 baik dari upah riil maupun nominal.

Pada Juni 2017 tercatat upah nominal harian buruh tani senilai Rp 49 ribu. Sedangkan, pada Juli 2017 tercatat upah harian buruh tani senilai Rp 50 ribu.

RadarBali.com – Kebijakan Kementerian Pertanian terkait peningkatan upah buruh tani per Juli 2017 lalu ternyata tidak bisa diterapkan di Bali.

Pasalnya, Bali memiliki cara lain untuk meningkatkan upah buruh tani. Yakni melalui sistem bagi hasil. Sistem ini diyakini mampu menghilangkan kecemburuan antara pemilik lahan dan petani penggarap untuk menghindari kerugian antar kedua belah pihak.

Ketua Himpunan Kerukunan Tani Indonesia (HKTI) Bali Prof Nyoman Suparta mengungkapkan, sistem bagi hasil diterapkan petani Bali secara turun temurun.

Sistem bagi hasil untuk tanaman padi, misalnya. Di sana ada perjanjian antara pemilik lahan dan penggarap dengan kesepakatan bagi dua.

“Hasil bersih tanaman padi di bagi dua. Tapi, untuk jumlah pembagian tidak sama antar satu daerah dengan daerah lain,” ujar Prof Nyoman Suparta kemarin (17/8).

Ada beberapa jenis tanaman yang melakukan pembagian hasil bagi tiga. Misalnya, pada tanaman palawija, di mana pembagian hasilnya dengan perhitungan dua pertiga untuk pemilik lahan, dan satu pertiga untuk petani penggarap.

“Kalau hitungan di Bali tidak masuk. Tidak bisa memakai ongkos kerja itu,” jelasnya. Dia menambahkan, sistem upah dalam dunia pertanian di Bali hanya dilakukan dalam beberapa bagian saja.

Seperti penggarapan lahan yang akan ditanami dengan mempekerjakan orang dalam sistem gaji borongan.

“Misalnya berapa are yang akan digarap lahannya. Itu pun yang mencari tukangnya dari pihak penggarap. Hanya dalam masa tertentu saja,” terang Suparta.

Anggota Dewan Penasihat Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA) Bali Ngurah Karyadi mengatakan, sistem pengupahan buruh tani memungkinkan untuk diterapkan di Bali.

Ada beberapa perusahaan perkebunan, khususnya BUMD menerapkan pola tersebut. “Besaran gaji mengacu pada UMP, yang sudah tentu sulit bagi kesejahteraan petani. Apalagi sebagian besar BUMD seperti hidup segan mati tak mau,” katanya.

Sistem bagi hasil di Bali memiliki banyak kelemahan. Salah satu yang terlihat, tidak adanya perjanjian tertulis antara penggarap lahan dengan pemilik lahan sehingga kerap kali terjadi “kucing-kucingan”.

“Misalnya dalam panen, penyakap (penggarap) tidak melaporkan hasil, dan atau pemilik panen duluan tanpa melibatkan penyakap,” jelas Ngurah Karyadi.

Sebenarnya sistem bagi hasil ini sudah diatur dalam UU bagi hasil nomor 2 tahun 1960 yang menjelaskan tentang sistem bagi hasil pertanian ini.

Hanya saja UU ini tidak berjalan sesuai ketentuan. “Belum berjalan bagi rakyat kecil, dan hanya investasi atau modal yang menerapkan perjanjian tersebut,” pungkasnya.

Seperti diketahui, sesuai data yang dirilis BPS upah nominal harian buruh tani nasional naik sebesar 0,18 persen dibanding upah buruh tani pada Juni 2017 baik dari upah riil maupun nominal.

Pada Juni 2017 tercatat upah nominal harian buruh tani senilai Rp 49 ribu. Sedangkan, pada Juli 2017 tercatat upah harian buruh tani senilai Rp 50 ribu.

Artikel Terkait

Terpopuler

Artikel Terbaru

/