31.1 C
Jakarta
30 April 2024, 9:43 AM WIB

Pameran di London, Dinanti Pasar Eropa dan Amerika

SINGARAJA – Ada yang istimewa dari sosok I Gusti Bagus (IGB) Sumertana. Dia rela resign sebagai Product Manager Bagus Agro Plaga, Petang, Badung, demi bertani menekuni budidaya kelor.

’’Kami ingin, dari budidaya dan produksi olahan kelor, turut membantu mengentaskan angka kemiskinan dan stunting,’’ kata Bagus, soal latar belakang keputusannya.

Pria asal Lokapaksa, Seririt, Buleleng, ini, menginisiasi lahirnya Agribisnis Tri Hita Karana. Mengolah kelor menjadi tepung, cendol, klepon, bubur, hingga laklak.

Bahkan, kini punya Koperasi Produsen Agribisnis Tri Hita Karana. ’’Saya sekarang di Buleleng, bertani. Kulit tambah hitam, tangan ngapal, tidurnya nyenyak,’’ kata Bagus via Whatsapp.

Itu tandanya happy? ’’Saya sudah tidak di Bagus Agro Pelaga lagi. Sudah jatuh cinta jadi petani,’’ sambungnya sambil mengirim foto dirinya di tengah

areal tanaman kelor dengan kaos oblong bertuliskan Hong Kong lengkap dengan gambar kapal khas Hong Kong di kawasan Tsim Tsa Tsui. 

Saking semangatnya dengan kelor dan pengolahannya, akhir Juni mendatang menjadwalkan gelar Seminar Nasional Kelor di Lokapaksa, Seririt.

’’Dalam seminar nanti, kami ingin mengundang Menteri Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal, dan Transmigrasi,’’ tutur pria yang rambutnya mulai memutih ini.    

Sejak kapan kesengsem kelor? Ide tentang kelor dimulai April tahun lalu. Lantas, membentuk Kelompok Tani Organik Tri Hita Karana. Realisasinya, melakukan pembibitan dari biji.

Baik didatangkan dari Jawa dan Bali. Setelah sosialisasi, membuat kebun percontohan sebanyak 500 pohon, pada Oktober 2018,

di- support Satuan Kerja Perangkat Daerah (SKPD)/ Organisasi Perangkat Daerah (OPD) Pemerintah Kabupaten (Pemkab) Buleleng.

Inspirasi bergelut di dunia kelor ini, sejatinya bermula di era krisis ekonomi 1998. Saat itu, Bagus melihat banyak saudara-saudara meninggal karena sakit, tidak bisa berobat karena tidak punya biaya.

’’Dari sinilah saya tertarik mencari solusinya dan tertarik dengan dunia pertanian. Khususnya herbal. Sering mengikuti pelatihan, seminar, pameran, dan berkunjung ke lembaga-lembaga yang terkait,’’ kenangnya.

Lantas, mengenal manfaat kelor, sekitar awal 2015. Selanjutnya, mendalaminya dari berbagai referensi.

’’Untuk mewujudkan obsesi tentang kelor, akhirnya di awal tahun 2018, setelah tidak bekerja di Bagus Agro (Bagus Agro Pelaga, Red) pulang kampung di Desa Lokapaksa, Seririt,’’ bebernya.

Mengingat betapa besar kandungan gizi kelor, sehingga disebut sebagai super food, maka Bagus berpikir bagaimana pangan lokal ini bisa bernilai gizi lebih.

’’Akhirnya cendol (berbahan kelor, Red) menjadi pilihan pertama. Selanjutnya klepon, bubur, dan lainnya.

Pilihan ini mengingat, jajanan tersebut sangat diminati masyarakat, dengan sendirinya mereka semakin sehat,’’ jelas Bagus.

Tahapan berikutnya, sosialisasi manfaat kelor kepada ibu-ibu, mengajak mereka mencoba membuatnya.

’’Setelah berhasil mengikuti pameran-pameran, akhirnya semakin dikenal masyarakat, juga Pemkab Buleleng, dan terus berkembang,’’ sambungnya.

Saat ini, diakuinya, untuk sementara dengan infrastruktur seadanya, ibarat pepatah; Tak Ada Rotan Akar pun Jadi, Bagus terus semangat.

Terlebih Pemerintah Kabupaten (Pemkab) Buleleng sudah membantunya dengan alat penepung untuk membuat tepung kelor, pengemas teh celup, hingga sertifikasi pertanian organik.

’’Saat ini, kami sangat memerlukan rumah pengering daun kelor, alat pembuat es krim, pie, dan mesin pembuat mi, serta mesin pengemas,’’ urainya.

Di awal pengembangan ini, memanfaatkan 500 pohon kelor. Dalam tahun ini, ingin mengembangkan sekitar 500 hektare (ha) lahan. Lahan 1 ha, bisa ditanami 10 ribu pohon dengan jarak tanah 1 x 1 meter.

’’Sudah terinventaris sekitar 250 ha,’’ tuturnya optimistis.

Untuk pengolahan, dilakukan lima orang ibu-ibu dalam Kelompok Tani Organik Tri Hita Karana. Didukung anggota kelompok yang lain.

Diakuinya, sukanya usaha ini, dapat membantu menyejahterakan masyarakat dengan berbagai peluang usaha. Serta mengurangi biaya pengobatan.

’’Dengan kata lain, kami turut mengurangi kemiskinan dan menurunkan angka stunting, mengurangi pengangguran dan mendatangkan devisa. Karena sebagian produk akan diekspor,’’ paparnya.

Diakuinya, calon buyer asal Australia sudah datang. Bahkan, produknya sudah dipamerkan di London, Inggris.

Dapat respons sangat positif. Karena diakui sebagai produk terbaik dalam pameran itu. Nantinya, akan mengisi pasar Eropa dan Amerika.

’’Kalau Juni nanti, buyer-buyer kami datang, kami siap take off,’’ sambungnya bangga. Walau demikian, diakuinya, di awal merintis budidaya dan olahan kelor, banyak cobaan.

’’Dukanya, di awal usaha kami, banyak ketidakberhasilan pembibitan,  banyak yang meboya/ mencibir. Tapi hal tersebut kami syukuri. Karena, bisa sebagai penyemangat,’’ ungkapnya.

Untuk kapasitas, sementara memanfaatkan kebun percontohan 500 pohon. Dengan rata-rata produktivitasnya sekitar 250 kilogram per bulan daun basah, ditambah dari tanaman masyarakat.

’’Tahun depan, dengan berhasilnya target kami 500 ha dengan panen rata-rata 5 ton/ha/bulan,  produktivitasnya sekitar 2.500 ton/bulan  daun basah. Bila dijadikan tepung menjadi 250 ton dengan rendemen 10 persen,’’ papar Bagus.

Hasil olahan baru dipasarkan dalam pameran, rapat, pertemuan dan pesanan. ’’Ke depan, kami mempunyai gerai-gerai di seluruh Bali.

Setelah produksi kami stabil dan masyarakat semakin mengenal kelor dan produk turunannya,’’ pungkasnya. (djoko heru setiyawan)

SINGARAJA – Ada yang istimewa dari sosok I Gusti Bagus (IGB) Sumertana. Dia rela resign sebagai Product Manager Bagus Agro Plaga, Petang, Badung, demi bertani menekuni budidaya kelor.

’’Kami ingin, dari budidaya dan produksi olahan kelor, turut membantu mengentaskan angka kemiskinan dan stunting,’’ kata Bagus, soal latar belakang keputusannya.

Pria asal Lokapaksa, Seririt, Buleleng, ini, menginisiasi lahirnya Agribisnis Tri Hita Karana. Mengolah kelor menjadi tepung, cendol, klepon, bubur, hingga laklak.

Bahkan, kini punya Koperasi Produsen Agribisnis Tri Hita Karana. ’’Saya sekarang di Buleleng, bertani. Kulit tambah hitam, tangan ngapal, tidurnya nyenyak,’’ kata Bagus via Whatsapp.

Itu tandanya happy? ’’Saya sudah tidak di Bagus Agro Pelaga lagi. Sudah jatuh cinta jadi petani,’’ sambungnya sambil mengirim foto dirinya di tengah

areal tanaman kelor dengan kaos oblong bertuliskan Hong Kong lengkap dengan gambar kapal khas Hong Kong di kawasan Tsim Tsa Tsui. 

Saking semangatnya dengan kelor dan pengolahannya, akhir Juni mendatang menjadwalkan gelar Seminar Nasional Kelor di Lokapaksa, Seririt.

’’Dalam seminar nanti, kami ingin mengundang Menteri Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal, dan Transmigrasi,’’ tutur pria yang rambutnya mulai memutih ini.    

Sejak kapan kesengsem kelor? Ide tentang kelor dimulai April tahun lalu. Lantas, membentuk Kelompok Tani Organik Tri Hita Karana. Realisasinya, melakukan pembibitan dari biji.

Baik didatangkan dari Jawa dan Bali. Setelah sosialisasi, membuat kebun percontohan sebanyak 500 pohon, pada Oktober 2018,

di- support Satuan Kerja Perangkat Daerah (SKPD)/ Organisasi Perangkat Daerah (OPD) Pemerintah Kabupaten (Pemkab) Buleleng.

Inspirasi bergelut di dunia kelor ini, sejatinya bermula di era krisis ekonomi 1998. Saat itu, Bagus melihat banyak saudara-saudara meninggal karena sakit, tidak bisa berobat karena tidak punya biaya.

’’Dari sinilah saya tertarik mencari solusinya dan tertarik dengan dunia pertanian. Khususnya herbal. Sering mengikuti pelatihan, seminar, pameran, dan berkunjung ke lembaga-lembaga yang terkait,’’ kenangnya.

Lantas, mengenal manfaat kelor, sekitar awal 2015. Selanjutnya, mendalaminya dari berbagai referensi.

’’Untuk mewujudkan obsesi tentang kelor, akhirnya di awal tahun 2018, setelah tidak bekerja di Bagus Agro (Bagus Agro Pelaga, Red) pulang kampung di Desa Lokapaksa, Seririt,’’ bebernya.

Mengingat betapa besar kandungan gizi kelor, sehingga disebut sebagai super food, maka Bagus berpikir bagaimana pangan lokal ini bisa bernilai gizi lebih.

’’Akhirnya cendol (berbahan kelor, Red) menjadi pilihan pertama. Selanjutnya klepon, bubur, dan lainnya.

Pilihan ini mengingat, jajanan tersebut sangat diminati masyarakat, dengan sendirinya mereka semakin sehat,’’ jelas Bagus.

Tahapan berikutnya, sosialisasi manfaat kelor kepada ibu-ibu, mengajak mereka mencoba membuatnya.

’’Setelah berhasil mengikuti pameran-pameran, akhirnya semakin dikenal masyarakat, juga Pemkab Buleleng, dan terus berkembang,’’ sambungnya.

Saat ini, diakuinya, untuk sementara dengan infrastruktur seadanya, ibarat pepatah; Tak Ada Rotan Akar pun Jadi, Bagus terus semangat.

Terlebih Pemerintah Kabupaten (Pemkab) Buleleng sudah membantunya dengan alat penepung untuk membuat tepung kelor, pengemas teh celup, hingga sertifikasi pertanian organik.

’’Saat ini, kami sangat memerlukan rumah pengering daun kelor, alat pembuat es krim, pie, dan mesin pembuat mi, serta mesin pengemas,’’ urainya.

Di awal pengembangan ini, memanfaatkan 500 pohon kelor. Dalam tahun ini, ingin mengembangkan sekitar 500 hektare (ha) lahan. Lahan 1 ha, bisa ditanami 10 ribu pohon dengan jarak tanah 1 x 1 meter.

’’Sudah terinventaris sekitar 250 ha,’’ tuturnya optimistis.

Untuk pengolahan, dilakukan lima orang ibu-ibu dalam Kelompok Tani Organik Tri Hita Karana. Didukung anggota kelompok yang lain.

Diakuinya, sukanya usaha ini, dapat membantu menyejahterakan masyarakat dengan berbagai peluang usaha. Serta mengurangi biaya pengobatan.

’’Dengan kata lain, kami turut mengurangi kemiskinan dan menurunkan angka stunting, mengurangi pengangguran dan mendatangkan devisa. Karena sebagian produk akan diekspor,’’ paparnya.

Diakuinya, calon buyer asal Australia sudah datang. Bahkan, produknya sudah dipamerkan di London, Inggris.

Dapat respons sangat positif. Karena diakui sebagai produk terbaik dalam pameran itu. Nantinya, akan mengisi pasar Eropa dan Amerika.

’’Kalau Juni nanti, buyer-buyer kami datang, kami siap take off,’’ sambungnya bangga. Walau demikian, diakuinya, di awal merintis budidaya dan olahan kelor, banyak cobaan.

’’Dukanya, di awal usaha kami, banyak ketidakberhasilan pembibitan,  banyak yang meboya/ mencibir. Tapi hal tersebut kami syukuri. Karena, bisa sebagai penyemangat,’’ ungkapnya.

Untuk kapasitas, sementara memanfaatkan kebun percontohan 500 pohon. Dengan rata-rata produktivitasnya sekitar 250 kilogram per bulan daun basah, ditambah dari tanaman masyarakat.

’’Tahun depan, dengan berhasilnya target kami 500 ha dengan panen rata-rata 5 ton/ha/bulan,  produktivitasnya sekitar 2.500 ton/bulan  daun basah. Bila dijadikan tepung menjadi 250 ton dengan rendemen 10 persen,’’ papar Bagus.

Hasil olahan baru dipasarkan dalam pameran, rapat, pertemuan dan pesanan. ’’Ke depan, kami mempunyai gerai-gerai di seluruh Bali.

Setelah produksi kami stabil dan masyarakat semakin mengenal kelor dan produk turunannya,’’ pungkasnya. (djoko heru setiyawan)

Artikel Terkait

Terpopuler

Artikel Terbaru

/