26.7 C
Jakarta
12 September 2024, 21:22 PM WIB

Kemarau Panjang, Produksi Arak Bali di Karangasem Turun Drastis

AMLAPURA – Arak tradisional Desa Tri Eka Buana, Kecamatan Sidemen, Karangasem sangat diminati konsumen.

Tidak heran jika 90 persen warganya berprofesi sebagai petani arak. Sayang, produksi arak para petani di desa tersebut mengalami penurunan hingga 50 persen sejak musim kemarau ini.

Perbekel Tri Eka Buana Ketut Derka mengungkapkan, sejak musim kemarau, nira yang berhasil dipanen para petani arak menurun drastis.

Kondisi itu menyebabkan penurunan produksi arak para petani. Jika para petani rata-rata bisa memproduksi sekitar 30 liter arak per hari, sejak musim kemarau, mereka hanya bisa memproduksi rata-rata 15 liter arak per hari.

“Para petani itu ngirisin (mencari nira, Red) pada pagi hari dan sore hari,” terangnya. Di tengah menurunnya produksi arak, permintaan terhadap minuman tradisional memabukkan ini justru cukup tinggi.

Tidak hanya datang dari Denpasar, permintaan arak produksi Desa Tri Eka Buana juga datang dari wilayah Badung, Gianyar bahkan luar Bali.

“Permintaan arak setiap hari sekitar 2,5 ribu liter. Sementara yang bisa diproduksi hanya sekitar 1,5 ribu liter. Jadi para petani cukup kewalahan memenuhi permintaan,” ujarnya.

Lebih lanjut pihaknya meminta agar Pemerintah Provinsi Bali memperhatikan nasib para petani arak di desanya dengan melegalkan penualan arak.

Sehingga warga di desanya bisa mencari nafkah dengan tenang. Tidak seperti sekarang, warganya terpaksa kucing-kucingan menjual arak untuk menyambung hidup. “90 persen warga kami menjadi petani arak,” tandasnya.

AMLAPURA – Arak tradisional Desa Tri Eka Buana, Kecamatan Sidemen, Karangasem sangat diminati konsumen.

Tidak heran jika 90 persen warganya berprofesi sebagai petani arak. Sayang, produksi arak para petani di desa tersebut mengalami penurunan hingga 50 persen sejak musim kemarau ini.

Perbekel Tri Eka Buana Ketut Derka mengungkapkan, sejak musim kemarau, nira yang berhasil dipanen para petani arak menurun drastis.

Kondisi itu menyebabkan penurunan produksi arak para petani. Jika para petani rata-rata bisa memproduksi sekitar 30 liter arak per hari, sejak musim kemarau, mereka hanya bisa memproduksi rata-rata 15 liter arak per hari.

“Para petani itu ngirisin (mencari nira, Red) pada pagi hari dan sore hari,” terangnya. Di tengah menurunnya produksi arak, permintaan terhadap minuman tradisional memabukkan ini justru cukup tinggi.

Tidak hanya datang dari Denpasar, permintaan arak produksi Desa Tri Eka Buana juga datang dari wilayah Badung, Gianyar bahkan luar Bali.

“Permintaan arak setiap hari sekitar 2,5 ribu liter. Sementara yang bisa diproduksi hanya sekitar 1,5 ribu liter. Jadi para petani cukup kewalahan memenuhi permintaan,” ujarnya.

Lebih lanjut pihaknya meminta agar Pemerintah Provinsi Bali memperhatikan nasib para petani arak di desanya dengan melegalkan penualan arak.

Sehingga warga di desanya bisa mencari nafkah dengan tenang. Tidak seperti sekarang, warganya terpaksa kucing-kucingan menjual arak untuk menyambung hidup. “90 persen warga kami menjadi petani arak,” tandasnya.

Artikel Terkait

Terpopuler

Artikel Terbaru

/