33.4 C
Jakarta
18 Oktober 2024, 13:49 PM WIB

Proyek Rumah Subsidi Kerap Makan Korban, Ini Catatan REI Bali…

DENPASAR – DPD Real Estate Indonesia (REI) Bali angkat suara terhadap kasus penjualan rumah berkedok rumah bersubsidi di Desa Batuaji, Samsam, Kerambitan, Tabanan.

Jajaran pengurus DPD REI Bali menegaskan, pihak pengembang atau developer yang membangun perumahan tersebut bukanlah anggota REI.

Wakil Ketua Bidang Organisasi, Keanggotaan, dan Diklat DPD REI Bali, I Gede Suardita menyatakan, pembangunan rumah bersubsisi yang digulirkan pemerintah pusat di Bali ada di beberapa kabupaten.

Yakni di Tabanan, Jembrana, Buleleng, Karangasem, dan sebagian Klungkung. Hanya saja baru sedikit developer khususnya anggota REI yang secara legal membangun rumah bersubsidi tersebut.

“Dari 2017 memang banyak sekali oknum-oknum developer yang menjual rumah dengan iming-iming rumah bersubsidi.

Tapi, sampai sekarang itu baru sebatas angan-angan saja. Mereka sudah meminta uang muka  pada pembeli, padahal proyeknya belum terwujud,” beber Suardita.

Sementara anggota REI yang membangun perumahan bersubsidi dipastikan memenuhi aspek legal. Baik legal perusahaan maupun legal proyek.

Mulai kepemilikan sertifikat atas nama developer, perizinan seperti izin prinsip hingga IMB sudah terbit.

Sedangkan legalitas perusahaan yaitu perusahaan sudah berbadan hukum atau terdaftar resmi di pemerintah.

Setelah aspek legalitas itu ada semua baru perumahan bisa dibangun. “Kalau kami dari REI lebih banyak membangun kawasan perumahan paling sedikit 100 unit. Bukan hanya beberapa unit,” imbuhnya.

Bagi yang konsumen sudah terlanjur membeli atau membayar pada developer, dipersilakan tetap menuntut uangnya dikembalikan.

Nah, sambil mengurus pengembalian dana, konsumen bisa kembali membeli lagi rumah bersubsidi di developer yang legal atau resmi.

Pasalnya, kuota rumah subsidi di Bali saat ini sangat terbatas. Rumah bersubsidi ini memang diperuntukkan pada masyarakat berpenghasilan rendah.

Dari segi harga terjangkau. Pada 2020 harga rumah hanya Rp 168 juta dengan uang muka rata-rata Rp 5 – 10 juta, dan angsuran hanya Rp 1 jutaan.

Sementara itu, Made Indrawan sebagai wakil ketua organisasi bidang perbankkan menyatakan, ada beberapa kendala permasalahan selain kuota berkurang. Di satu sisi antusias masyarakat tinggi, di lain sisi kuota terbatas.

“Perumahan subsidi di Bali jatahnya sedikit sekali, tidak sampai 1.000 unit,” ujar Indrawan. Ia berharap pemerintah daerah bisa membantu melobi ke pusat bahwa rumah subsidi masih dibutuhkan.

Masalah lain menurutnya yaitu banyak syarat yang tidak bisa dipenuhi calon pembeli. Misalnya gaji tidak boleh di atas Rp 6 juta dan sederet persyaratan lainnya yang memberatkan calon pembeli.

Sehingga mereka yang sungguh-sungguh ingin membeli rumah tidak bisa. “Perlu sinkronisasi antara pusat dengan daerah. Misalnya, minimal kawasan untuk rumah subsidi luasnya 50 are.

Tapi, di Negara, Jembrana, banyak pengembang yang membangun di bawah 50 are. Jadi, kebijakan perumahan daerah dan pusat tidak nyambung,” tegas Dwi Masri.

Dwi menegaskan, bagi pembeli yang sudah terlanjur membeli rumah bersubsidi di Batuaji agar tidak trauma. Pihaknya dan anggota REI lainnya siap menampung.

Ada beberapa konsumen yang sebelumnya menjadi korban juga sudah ditampung. “Kami anggota REI sendiri juga bertanggungjawab

menyukseskan program pemerintah tentang rumah subsidi,” imbuh sekretaris DPD REI Bali, Wayan Sunanta Wijaya. 

DENPASAR – DPD Real Estate Indonesia (REI) Bali angkat suara terhadap kasus penjualan rumah berkedok rumah bersubsidi di Desa Batuaji, Samsam, Kerambitan, Tabanan.

Jajaran pengurus DPD REI Bali menegaskan, pihak pengembang atau developer yang membangun perumahan tersebut bukanlah anggota REI.

Wakil Ketua Bidang Organisasi, Keanggotaan, dan Diklat DPD REI Bali, I Gede Suardita menyatakan, pembangunan rumah bersubsisi yang digulirkan pemerintah pusat di Bali ada di beberapa kabupaten.

Yakni di Tabanan, Jembrana, Buleleng, Karangasem, dan sebagian Klungkung. Hanya saja baru sedikit developer khususnya anggota REI yang secara legal membangun rumah bersubsidi tersebut.

“Dari 2017 memang banyak sekali oknum-oknum developer yang menjual rumah dengan iming-iming rumah bersubsidi.

Tapi, sampai sekarang itu baru sebatas angan-angan saja. Mereka sudah meminta uang muka  pada pembeli, padahal proyeknya belum terwujud,” beber Suardita.

Sementara anggota REI yang membangun perumahan bersubsidi dipastikan memenuhi aspek legal. Baik legal perusahaan maupun legal proyek.

Mulai kepemilikan sertifikat atas nama developer, perizinan seperti izin prinsip hingga IMB sudah terbit.

Sedangkan legalitas perusahaan yaitu perusahaan sudah berbadan hukum atau terdaftar resmi di pemerintah.

Setelah aspek legalitas itu ada semua baru perumahan bisa dibangun. “Kalau kami dari REI lebih banyak membangun kawasan perumahan paling sedikit 100 unit. Bukan hanya beberapa unit,” imbuhnya.

Bagi yang konsumen sudah terlanjur membeli atau membayar pada developer, dipersilakan tetap menuntut uangnya dikembalikan.

Nah, sambil mengurus pengembalian dana, konsumen bisa kembali membeli lagi rumah bersubsidi di developer yang legal atau resmi.

Pasalnya, kuota rumah subsidi di Bali saat ini sangat terbatas. Rumah bersubsidi ini memang diperuntukkan pada masyarakat berpenghasilan rendah.

Dari segi harga terjangkau. Pada 2020 harga rumah hanya Rp 168 juta dengan uang muka rata-rata Rp 5 – 10 juta, dan angsuran hanya Rp 1 jutaan.

Sementara itu, Made Indrawan sebagai wakil ketua organisasi bidang perbankkan menyatakan, ada beberapa kendala permasalahan selain kuota berkurang. Di satu sisi antusias masyarakat tinggi, di lain sisi kuota terbatas.

“Perumahan subsidi di Bali jatahnya sedikit sekali, tidak sampai 1.000 unit,” ujar Indrawan. Ia berharap pemerintah daerah bisa membantu melobi ke pusat bahwa rumah subsidi masih dibutuhkan.

Masalah lain menurutnya yaitu banyak syarat yang tidak bisa dipenuhi calon pembeli. Misalnya gaji tidak boleh di atas Rp 6 juta dan sederet persyaratan lainnya yang memberatkan calon pembeli.

Sehingga mereka yang sungguh-sungguh ingin membeli rumah tidak bisa. “Perlu sinkronisasi antara pusat dengan daerah. Misalnya, minimal kawasan untuk rumah subsidi luasnya 50 are.

Tapi, di Negara, Jembrana, banyak pengembang yang membangun di bawah 50 are. Jadi, kebijakan perumahan daerah dan pusat tidak nyambung,” tegas Dwi Masri.

Dwi menegaskan, bagi pembeli yang sudah terlanjur membeli rumah bersubsidi di Batuaji agar tidak trauma. Pihaknya dan anggota REI lainnya siap menampung.

Ada beberapa konsumen yang sebelumnya menjadi korban juga sudah ditampung. “Kami anggota REI sendiri juga bertanggungjawab

menyukseskan program pemerintah tentang rumah subsidi,” imbuh sekretaris DPD REI Bali, Wayan Sunanta Wijaya. 

Artikel Terkait

Terpopuler

Artikel Terbaru

/