26.3 C
Jakarta
25 April 2024, 6:49 AM WIB

Sambut Baik Perpres Soal Penanaman Modal, Tapi Harga Arak Anjlok

KARANGASEM – Perajin minuman fermentasi atau destilasi khas Bali berupa Arak Bali, Tuak Bali, dan Brem Bali di Bali menyambut baik pasca diberlakukannya Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 10 Tahun 2021 tentang Bidang Usaha Penanaman Modal.

 

Namun, hal tersebut tak semata membuat usaha mereka bisa berkembang pesat. Ada sejumlah persoalan yang ditemukan di lapangan sebagaimana yang disampaikan oleh I Nyoman Masta, selaku tokoh masyarakat di Desa Sidemen, Karangasem. Salah satu desa penghasil arak tradisional.

 

“Kalau kami baca Perpres, memang melegakan dan kami positif menyambut itu. Namun disisi lain, ada beberapa hal yang harus konsisten dilakukan,” ujarnya saat dikonfirmasi radarbali.id pada Selasa (23/2).

 

Beberapa hal tersebut di antaranya, di mana perlu adanya upaya khusus untuk menjaga proses fermentasi dan destilasi secara tradisional yang dilakukan secara turun temurun oleh para petani atau perajin arak.

 

“Ketika ada praktek tidak sesuai tradisional, kami minta agar dilarang,” tegasnya.

 

Sebab, menurut Masta, kenyataan di lapangan, ia mengamati ada sejumlah arak ataupun sejenisnya yang beredar di masyarakat ini diduga tak memiliki asal usul yang jelas. Baik dalam hal asal, proses pembuatan dan bahan baku yang digunakan.

 

Lebih buruknya, harga minuman tersebut pun dijual dengan harga yang tak masuk akal dan kemudian membuat para pengerajin arak ini pusing tujuh keliling, karena arak yang mereka buat tak laku di pasaran.

 

“Itu kenyataan di lapangan. Arak herbal (minuman berbahan baku tuak kelapa) jadi tak laku. Tetapi di lapangan, entah arak dari mana dan bahan baku dari apa bisa beredar dengan harga murah. Misalnya, arak kami jual 15 ribu, eh ada arak dari luar lain yang asal usulnya tidak jelas dijual dengan harga 10 ribu,” paparnya.

 

Petani atau perajin arak jadi merugi dong? “Kondisi kami di sini memang memprihatinkan. Di sini, arak yang kami jual sudah berjubel karena tidak ada yang mau beli. Karena persaingan harga dengan arak luar, ada perajin arak di sini yang juga terpaksa menjual dengan harga murah,” jawabnya.

 

Diketahui, Pemerintah Provinsi Bali pada tanggal 29 Januari 2020 memang telah memberlakukan Peraturan Gubernur Bali Nomor 1 Tahun 2020 tentang Tata Kelola Minuman Fermentasi dan/atau Destilasi Khas Bali yang memberikan penguatan dan pemberdayaan perajin bahan baku minuman fermentasi dan/ atau destilasi khas Bali, standardisasi produksi untuk menjamin keamanan dan legalitas, serta kesejahteraan Krama Bali.

 

Dampak dari Pergub tersebut memang membuat arak banyak yang beredar, namun persaingan semakin ngawur karena harga arak justru jatuh. Terlebih banyak beredar di lapangan yang araknya tak memiliki asal-usul yang jelas, termasuk bahan baku yang digunakan.

 

“Kami khawatir, ketika arak-arak yang bukan bahan bakunya dari fermentasi tuak itu beredar, apalagi mengatasnamakan desa kami misalnya, kami yang kena dampak,” pungkasnya.

KARANGASEM – Perajin minuman fermentasi atau destilasi khas Bali berupa Arak Bali, Tuak Bali, dan Brem Bali di Bali menyambut baik pasca diberlakukannya Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 10 Tahun 2021 tentang Bidang Usaha Penanaman Modal.

 

Namun, hal tersebut tak semata membuat usaha mereka bisa berkembang pesat. Ada sejumlah persoalan yang ditemukan di lapangan sebagaimana yang disampaikan oleh I Nyoman Masta, selaku tokoh masyarakat di Desa Sidemen, Karangasem. Salah satu desa penghasil arak tradisional.

 

“Kalau kami baca Perpres, memang melegakan dan kami positif menyambut itu. Namun disisi lain, ada beberapa hal yang harus konsisten dilakukan,” ujarnya saat dikonfirmasi radarbali.id pada Selasa (23/2).

 

Beberapa hal tersebut di antaranya, di mana perlu adanya upaya khusus untuk menjaga proses fermentasi dan destilasi secara tradisional yang dilakukan secara turun temurun oleh para petani atau perajin arak.

 

“Ketika ada praktek tidak sesuai tradisional, kami minta agar dilarang,” tegasnya.

 

Sebab, menurut Masta, kenyataan di lapangan, ia mengamati ada sejumlah arak ataupun sejenisnya yang beredar di masyarakat ini diduga tak memiliki asal usul yang jelas. Baik dalam hal asal, proses pembuatan dan bahan baku yang digunakan.

 

Lebih buruknya, harga minuman tersebut pun dijual dengan harga yang tak masuk akal dan kemudian membuat para pengerajin arak ini pusing tujuh keliling, karena arak yang mereka buat tak laku di pasaran.

 

“Itu kenyataan di lapangan. Arak herbal (minuman berbahan baku tuak kelapa) jadi tak laku. Tetapi di lapangan, entah arak dari mana dan bahan baku dari apa bisa beredar dengan harga murah. Misalnya, arak kami jual 15 ribu, eh ada arak dari luar lain yang asal usulnya tidak jelas dijual dengan harga 10 ribu,” paparnya.

 

Petani atau perajin arak jadi merugi dong? “Kondisi kami di sini memang memprihatinkan. Di sini, arak yang kami jual sudah berjubel karena tidak ada yang mau beli. Karena persaingan harga dengan arak luar, ada perajin arak di sini yang juga terpaksa menjual dengan harga murah,” jawabnya.

 

Diketahui, Pemerintah Provinsi Bali pada tanggal 29 Januari 2020 memang telah memberlakukan Peraturan Gubernur Bali Nomor 1 Tahun 2020 tentang Tata Kelola Minuman Fermentasi dan/atau Destilasi Khas Bali yang memberikan penguatan dan pemberdayaan perajin bahan baku minuman fermentasi dan/ atau destilasi khas Bali, standardisasi produksi untuk menjamin keamanan dan legalitas, serta kesejahteraan Krama Bali.

 

Dampak dari Pergub tersebut memang membuat arak banyak yang beredar, namun persaingan semakin ngawur karena harga arak justru jatuh. Terlebih banyak beredar di lapangan yang araknya tak memiliki asal-usul yang jelas, termasuk bahan baku yang digunakan.

 

“Kami khawatir, ketika arak-arak yang bukan bahan bakunya dari fermentasi tuak itu beredar, apalagi mengatasnamakan desa kami misalnya, kami yang kena dampak,” pungkasnya.

Artikel Terkait

Terpopuler

Artikel Terbaru

/