28.4 C
Jakarta
30 April 2024, 3:40 AM WIB

Pandemi Covid-19, Perajin Gula Juruh Tejakula Kurangi Produksi

TEJAKULA – Kendati zaman berubah dan makin banyak produksi gula dengan cara modern, namun masyarakat Banjar Dinas Juruh, Desa Les, Tejakula, Buleleng tetap memproduksi gula dengan cara dan peralatan tradisional.

Mereka terus berupaya melestarikan warisan dari pembuatan gula Juruh dengan cara sederhana berbahan nira dari pohon lontar.

Peralatan yang digunakan tergolong sederhana. Seperti wajan yang digunakan untuk memanaskan nira aren sehingga sebagian besar kandungan air menguap.

Lalu pengaduk terbuat dari kayu atau bambu yang digunakan untuk mengaduk-aduk nira aren agar tidak hangus dan rata panasnya selama proses pembuatan.

Saringan alat yang terbuat dari kain saring halus berfungsi untuk menyaring nira aren agar terbebas dari kotoran dan cetakan dari tempurung kelapa untuk mencetak gula aren.

Membuat gula merah atau lebih dikenal dengan gula Bali ini setiap hari digeluti oleh Nyoman Rencana dan keluarganya.

Ditemui Jawa Pos Radar Bali kemarin, pria berusia 66 tahun melakukan pembuatan gula merah dengan peralatan sederhana dibantu oleh anaknya Gede Kertiasa, 32,

yang nantinya akan meneruskan pembuatan gula merah atau biasanya disebut masyarakat Tejakula dengan gula juruh.

“Kalau ayah sudah 50 tahun lebih memproduksi gula merah. Kalau saya sudah mulai ikut pembuatan gula sejak kecil,” kata Gede Kertiasa ditemui saat pembuatan gula juruh di rumahnya.

Diakuinya, produksi gula merah memang sudah dilakukan secara turun temurun dari keluarga. Mengapa keluarga tetap memilih pembuatan gula dibanding pekerjaan lainnya.

Lantaran di desa tersedia banyak bahan baku pembuatan gula. Salah satu banyak pohon lontar yang ditanam warga desa.

Ditengah pandemi Covid-19 sekarang ini, kata Kertiasa, dia sudah mengurangi produksi gula merah sejak 4 bulan yang lalu lantaran sepi permintaan.

Dulu dirinya hampir setiap hari memproduksi gula. Sehari rata-rata mampu memproduksi 20-25 kilogram, tapi saat ini seminggu hanya 3 sampai 4 kali.

“Harga gula masih stabil dengan kisaran harga Rp 30-35 ribu per kilogram. Untuk gula merah yang kami produksi diambil secara langsung oleh pengepul, baru disalurkan ke seluruh pedagang di pasar-pasar tradisional,” ungkapnya

Kertiasa menuturkan, proses pembuatan gula juruh ada beberapa tahapan. Pertama memastikan pohon lontar sudah bisa menghasilkan air yang biasa disebut tuak.

Kemudian ditambahkan dengan lau yang terbuat dari kayu kesambi agar hasilnya bagus. Selanjutnya, tuak akan diambil sehari dua kali. 

Tuak yang sudah diambil dilakukan penyaringan agar kayu atau lau yang tercampur di dalam tuak bersih. Sehingga gula merah yang dihasilkan bagus.

Setelah selesai penyaringan tuak langsung dimasak selama 3-4 jam agar warna menjadi kecoklatan mengental berubah menjadi gula. Terakhirnya baru gula ditempatkan dalam batok kelapa.

TEJAKULA – Kendati zaman berubah dan makin banyak produksi gula dengan cara modern, namun masyarakat Banjar Dinas Juruh, Desa Les, Tejakula, Buleleng tetap memproduksi gula dengan cara dan peralatan tradisional.

Mereka terus berupaya melestarikan warisan dari pembuatan gula Juruh dengan cara sederhana berbahan nira dari pohon lontar.

Peralatan yang digunakan tergolong sederhana. Seperti wajan yang digunakan untuk memanaskan nira aren sehingga sebagian besar kandungan air menguap.

Lalu pengaduk terbuat dari kayu atau bambu yang digunakan untuk mengaduk-aduk nira aren agar tidak hangus dan rata panasnya selama proses pembuatan.

Saringan alat yang terbuat dari kain saring halus berfungsi untuk menyaring nira aren agar terbebas dari kotoran dan cetakan dari tempurung kelapa untuk mencetak gula aren.

Membuat gula merah atau lebih dikenal dengan gula Bali ini setiap hari digeluti oleh Nyoman Rencana dan keluarganya.

Ditemui Jawa Pos Radar Bali kemarin, pria berusia 66 tahun melakukan pembuatan gula merah dengan peralatan sederhana dibantu oleh anaknya Gede Kertiasa, 32,

yang nantinya akan meneruskan pembuatan gula merah atau biasanya disebut masyarakat Tejakula dengan gula juruh.

“Kalau ayah sudah 50 tahun lebih memproduksi gula merah. Kalau saya sudah mulai ikut pembuatan gula sejak kecil,” kata Gede Kertiasa ditemui saat pembuatan gula juruh di rumahnya.

Diakuinya, produksi gula merah memang sudah dilakukan secara turun temurun dari keluarga. Mengapa keluarga tetap memilih pembuatan gula dibanding pekerjaan lainnya.

Lantaran di desa tersedia banyak bahan baku pembuatan gula. Salah satu banyak pohon lontar yang ditanam warga desa.

Ditengah pandemi Covid-19 sekarang ini, kata Kertiasa, dia sudah mengurangi produksi gula merah sejak 4 bulan yang lalu lantaran sepi permintaan.

Dulu dirinya hampir setiap hari memproduksi gula. Sehari rata-rata mampu memproduksi 20-25 kilogram, tapi saat ini seminggu hanya 3 sampai 4 kali.

“Harga gula masih stabil dengan kisaran harga Rp 30-35 ribu per kilogram. Untuk gula merah yang kami produksi diambil secara langsung oleh pengepul, baru disalurkan ke seluruh pedagang di pasar-pasar tradisional,” ungkapnya

Kertiasa menuturkan, proses pembuatan gula juruh ada beberapa tahapan. Pertama memastikan pohon lontar sudah bisa menghasilkan air yang biasa disebut tuak.

Kemudian ditambahkan dengan lau yang terbuat dari kayu kesambi agar hasilnya bagus. Selanjutnya, tuak akan diambil sehari dua kali. 

Tuak yang sudah diambil dilakukan penyaringan agar kayu atau lau yang tercampur di dalam tuak bersih. Sehingga gula merah yang dihasilkan bagus.

Setelah selesai penyaringan tuak langsung dimasak selama 3-4 jam agar warna menjadi kecoklatan mengental berubah menjadi gula. Terakhirnya baru gula ditempatkan dalam batok kelapa.

Artikel Terkait

Terpopuler

Artikel Terbaru

/