MANGUPURA – Kebutuhan ikan air tawar seperti ikan nila maupun mujair di Badung cukup tinggi. Diperkiraan saat ini mencapai 900 ton pertahun.
Karena belakangan mulai berkembang warung kuliner yang menyajikan olahan nila atau mujair. Sayang kebutuhan tidak diimbangi dengan produksi.
Produksi ikan air tawar ini justru merosot dari tahun ke tahun. Berdasar data Dinas Perikanan Kabupaten Badung, pada 2016 total produksi nila dan mujair mencapai 127 ton lebih.
Jumlah tersebut menurun menjadi 118 ton lebih pada 2017. Ironisnya, 2018 lalu hanya menyentuh angka 47 ton lebih. Sehingga kebutuhan ikan dan produksi tidak seimbang.
Kepala Dinas Perikanan Badung, Putu Oka Swadiana mengakui, para petani dalam beberapa tahun belakangan lebih memilih menjual ikan dalam ukuran tanggung.
Ikan nila tanggung yang dipelihara sekitar dua bulan langsung dibeli oleh petani ikan dari kabupaten lain, misalnya Bangli.
Ikan itu kemudian dipelihara kembali di Kantong Jaring Apung di Danau Batur. Sehingga ikan konsumsi tercatat sebagai produksi Kabupaten Bangli.
Petani ikan di Badung menjadi untung karena pemeliharaan singkat dan cepat menghasilkan uang. “Namun kami di Dinas Perikanan rugi secara data produksi karena dicatat di kabupaten lain,” terang Oka Swadiana.
Kata dia, dengan tingginya kebutuhan dan kecilnya jumlah produksi tentu menjadi peluang bisnis masyarakat.
“Ini menjadi peluang bagi petani untuk beramai-ramai membudidayakan ikan nila untuk memenuhi permintaan,” terang birokrat asal Kerobokan, Kuta Utara ini.
Piahknya berupaya untuk memberi dukungan. Salah satunya dengan membangun Balai Benih Ikan (BBI) yang representatif.
Selain itu membuat percontohan budidaya ikan, seperti mina padi, keramba, kolam air tenang, budidaya ikan di saluran irigasi, kolam terpal, kolam air deras, dan sebagainya dalam rangka peningkatan produksi ikan.
“Ikan nila juga baik dikembangkan secara massal, karena pembenihan dan pemeliharaannya lebih mudah. Harganya juga cukup menggiurkan, yakni Rp 35 ribu perkilogram,” pungkasnya.