29.2 C
Jakarta
30 April 2024, 0:52 AM WIB

PKPA Undiknas Komitmen Lahirkan Advokat Berdedikasi dan Kapabel

DENPASAR – Universitas Pendidikan Nasional (Undiknas) kembali menggelar Pendidikan Khusus Profesi Advokat (PKPA) yang sudah berlangsung sejak 2017 lalu.

PKPA kali ini merupakan kali kedua di tahun 2017 yang digelar Fakultas Hukum dan Ilmu Sosial Universitas Pendidikan Nasional yang bekerja sama dengan perhimpunan profesi advokat Peradi Denpasar.

PKPA kali ini diikuti 42 peserta dari sejumlah daerah di Indonesia salah satunya Manado. Sebagai narasumber, PKPA ini menghadirkan Ketua DPC Peradi kota Denpasar I Nyoman Budi Adnyana.

Acara tersebut digelar di Gedung B, Fakultas Hukum dan Ilmu Sosial, Undiknas di jalan Bedugul, Denpasar.

“Ini periode kedua PKPA di tahun ini yang kami gelar. PKPA yang pertama kami gelar di bulan Mei lalu lewat online,” kata Putu Eva Ditayani Antari selaku Ketua Pelaksana PKPA ditemui Sabtu kemarin (12/9).

Perempuan yang juga sebagai Ketua Prodi Ilmu Hukum dan Sosial Undiknas ini mengungkapkan, pihaknya tetap memiliki komitmen untuk tetap menggelar

pendidikan ilmu hukum secara berkesinambungan melalui PKPA ini meski di tengah pandemi covid-19 dengan menggunakan sistem daring.

“Tujuannya agar pandemi covid-19 ini tidak menghambat dari semangat generasi muda yang ingin melanjutkan karirnya sebagai advokat.

Sehingga kami PKPA tetap jalan di masa pandemi yakni dikemas virtual. Kebetulan dari Peradi pun mempersilahkan. Selama memang fasilitas mumpuni,” kata Eva.

Kebetulan juga lanjut dia, Undiknas sudah sangat siap sekali dengan sistem perkuliahan online bahkan sebelum pandemi covid-19 terjadi.

Undiknas sudah membiasakan perkuliahan online antara empat sampai enam pertemuan dari 14 kali pertemuan, sehingga ada penggabungan antara kuliah tatap muka langsung dan perkuliahan online.

“Peserta PKPA ini diikuti berbagai kalangan yang tentunya menempuh pendidikan ilmu tinggi hukum. Mulai dari fresh graduate, ada yang memang sudah magang

di kantor pengacara atau ada dari kalangan kepolisian seperti penyidik, atau polisi yang sudah dekat dengan masa pensiun dan ingin menjadi advokat,” paparnya.

Kuota yang disiapkan untuk PKPA sendiri yakni mencapai 50 orang. Namun di tengah pandemi ini diakui Eva pesertanya menurun, meski tidak banyak.

Menurutnya, masih banyak yang beranggapan skeptis terhadap efektivitas kuliah online ini. “Padahal efektif atau tidaknya kan kembali lagi ke personal.

Kalau memang dia serius mengikuti dia pasti akan memilih tempat yang profer, mempersiapkan semuanya, sementara yang memang hanya sekadar ikut hanya mendengar sambil lalu.

Seberapa komit dia ingin mendapatkan ilmu dari suatu kegiatan. Kalau hanya ingin mendapatkan legalitasnya

sudah sekadar ikut. Kalau ingin mendapatkan ilmu meski daring mestinya ini bukan suatu hambatan,” terang Eva.

Pendidikan khusus advokat ini sendiri akan dilaksanakan selama 30 sesi. Jadi mulai dari 11 September hingga 17 Oktober.

Setiap sesinya sendiri diisi berbagai narasumber, mulai dari Peradi pusat, daerah hingga tingkat DPC.

Dalam satu minggu tersebut, program PKPA ini diadakan pada hari Jumat dan Sabtu antara pukul 15.00 hingga 20.00 malam hari.

“Kami jadwalkan di akhir pekan, sehingga peserta bisa fokus karena mungkin terbentur pekerjaan agar tidak bolos kerja,” ucapnya.

Disinggung tujuan dari PKPA ini, dengan hanya mengeluarkan biaya Rp 6 juta saja, para peserta banyak mendapatkan ilmu yang sangat bermanfaat sesuai tuntutan dunia kerja dari sumber utama langsung yakni advokat.

Selain itu, para peserta ini juga akan mendapatkan sertifikat yang nantinya dijadikan sebagai persyaratan saat mengikuti ujian profesi.

“Setelah lulus ujian profesi advokat biasanya akan magang tahapannya selama dua tahun, setelah itu baru bisa menjadi advokat beracara di pengadilan.

Harapannya, ingin menghasilkan lulusan yang memang siap ke dunia kerja. Jadi ketika sudah memperoleh gelar sarjana hukum, mereka sudah punya wadah

di mana harus menempuh pendidikan lanjutan supaya bisa berprofesi sebagai advokat. Termasuk memberikan kesempatan juga kepada lulusan yang berlatar belakang

pendidikan tinggi hukum tidak harus sarjana hukum kadang ada juga dari kalangan Sarjana Ilmu Kepolisian,

atau Sarjana Hukum Islam itu boleh mengikuti PKPA yang penting latar belakang pendidikan tinggi hukum,” urainya.

Harapan lain dari kegiatan ini sendiri yakni menghasilkan calon advokat yang berdedikasi dan kapabel dalam keilmuan menjadi advokat.

“Jangan hanya menjadi advokat modal sertifikat saja, tapi bagaimana memperoleh keilmuan yang memang sesuai dengan tuntutan dunia kerja,” tukas Eva.

Sementara itu, Ketua DPC Peradi kota Denpasar, Nyoman Budi Adnyana yang dalam kesempatan ini sebagai narasumber menjelaskan PKPA

adalah pendidikan khusus profesi advokat yaang menjadi langkah awal seseorang ketika ingin menjadi pengacara.

“Jadi seseorang yang ingin menjadi lawyer harus melewati PKPA dulu. Dengan begitu nanti ada sertifikat  bahwa dia telah mengikuti pendidikan.

Setelah itu akan mengikuti Ujian Profesi Advokat (UPA) ketika lulus ada proses magang. Ya butuh hingga dua tahun hingga dia bisa menjadi advokat,” katanya.

Dalam PKPA itu, Adnyana mengajar sesuai kurikulum yang telah ditentukan oleh Peradi pusat yakni lebih banyak tentang teknis yang dilakoni advokat dalam beracara di dunia hukum.

Materi yang diajarkan 75 persen hal teknis. “Tentang hukum acara pidana, perdata, dan sebagainya itu kan sudah dipelajari saat kuliah S1.

Yang membedakan dalam PKPA ini adalah terapanya seperti apa. Misalnya bagaimana faktanya mendampingi seorang klien di pengadilan.

Bahwa dalam KUHAP cuma diatur seorang tersangka atau terdakwa berhak didampingi advokat. Nah praktiknya seperti itu yang kami ajarkan. Lebih banyak terapanya,” kata Adnyana.

Dari tujuh kali kegiatan PKPA yang digelar sejak 2017 lalu, sudah mendidik 350 orang peserta melalui program ini.

Lebih lanjut Adnyana menjelaskan, untuk pengambilan sumpah sebagai advokat sendiri harus memenuhi umur minimal yakni 25 tahun.

Hal ini, kata dia, mengingat pekerjaan advokat misalnya saat mendampingi klien dalam kasus pidana menyangkut kebebasan orang, pembebasan tanah dalam kasus perdata hingga perkara perceraian.

“Jadi perlu usia yang cukup dewasa. Dalam ketentuan harus minimal 25 tahun. Intinya seorang advokat adalah menjalankan

tugas untuk mendampingi klien yang sedang bermasalah secara hukum baik dalam pidana atau perdata,” jelasnya.

Tugas seorang advokat dalam mendampingi klien itu lanjut dia, bagaimana ia bisa mendudukkan dengan benar persoalan yang membelit klien tersebut.

“Di tingkat penyidikan misalnya, pengacara tidak boleh berbicara. Tapi ketika hak tersangka itu dilanggar maka lawyer harus bicara.

Misalnya dalam KUHAP itu ada pertanyaan yang bersifat menjerat. Jadi pertanyaan dibuat penyidik panjang tetapi ujungnya jawaban ya hanya iya dan tidak saja.

Nah, lawyer harus bicara dalam kondisi itu. Bisa tidak, lawyer menginterupsi penyidik yang seperti itu. Itu perannya.

Atau misalnya dalam persidangan, yang ternyata di dalamnya hal yang mestinya terungkap tetapi tidak terungkap. Ketika ada saksi yang semestinya bisa menjelaskan

sesuatu klien bisa nggak disampaikan lawyer di depan hakim. Itu kemampuan seorang lawyer dipertaruhkan di sana,” imbuhnya.

Untuk itu, tambah Budi Adnyana, melalui PKPA ini pihaknya ingin memberikan pemahaman hal-hal yang dihadapi advokat ketika mendampingi seorang klien yang sedang menghadapi kasus hukum.

“Bagaimana seorang advokat mau membela klien kalau pengetahuan tidak sepadan dengan yang dihadapi. Sehingga seorang pengacara harus bisa menguasai

hukum acara pidana atau perdata. Kalau pengacara tidak baca kitab itu kan menjadi transaksional aja jadi pengacara. Kita tidak mau selerti itu,” pungkasnya.  (rba)

DENPASAR – Universitas Pendidikan Nasional (Undiknas) kembali menggelar Pendidikan Khusus Profesi Advokat (PKPA) yang sudah berlangsung sejak 2017 lalu.

PKPA kali ini merupakan kali kedua di tahun 2017 yang digelar Fakultas Hukum dan Ilmu Sosial Universitas Pendidikan Nasional yang bekerja sama dengan perhimpunan profesi advokat Peradi Denpasar.

PKPA kali ini diikuti 42 peserta dari sejumlah daerah di Indonesia salah satunya Manado. Sebagai narasumber, PKPA ini menghadirkan Ketua DPC Peradi kota Denpasar I Nyoman Budi Adnyana.

Acara tersebut digelar di Gedung B, Fakultas Hukum dan Ilmu Sosial, Undiknas di jalan Bedugul, Denpasar.

“Ini periode kedua PKPA di tahun ini yang kami gelar. PKPA yang pertama kami gelar di bulan Mei lalu lewat online,” kata Putu Eva Ditayani Antari selaku Ketua Pelaksana PKPA ditemui Sabtu kemarin (12/9).

Perempuan yang juga sebagai Ketua Prodi Ilmu Hukum dan Sosial Undiknas ini mengungkapkan, pihaknya tetap memiliki komitmen untuk tetap menggelar

pendidikan ilmu hukum secara berkesinambungan melalui PKPA ini meski di tengah pandemi covid-19 dengan menggunakan sistem daring.

“Tujuannya agar pandemi covid-19 ini tidak menghambat dari semangat generasi muda yang ingin melanjutkan karirnya sebagai advokat.

Sehingga kami PKPA tetap jalan di masa pandemi yakni dikemas virtual. Kebetulan dari Peradi pun mempersilahkan. Selama memang fasilitas mumpuni,” kata Eva.

Kebetulan juga lanjut dia, Undiknas sudah sangat siap sekali dengan sistem perkuliahan online bahkan sebelum pandemi covid-19 terjadi.

Undiknas sudah membiasakan perkuliahan online antara empat sampai enam pertemuan dari 14 kali pertemuan, sehingga ada penggabungan antara kuliah tatap muka langsung dan perkuliahan online.

“Peserta PKPA ini diikuti berbagai kalangan yang tentunya menempuh pendidikan ilmu tinggi hukum. Mulai dari fresh graduate, ada yang memang sudah magang

di kantor pengacara atau ada dari kalangan kepolisian seperti penyidik, atau polisi yang sudah dekat dengan masa pensiun dan ingin menjadi advokat,” paparnya.

Kuota yang disiapkan untuk PKPA sendiri yakni mencapai 50 orang. Namun di tengah pandemi ini diakui Eva pesertanya menurun, meski tidak banyak.

Menurutnya, masih banyak yang beranggapan skeptis terhadap efektivitas kuliah online ini. “Padahal efektif atau tidaknya kan kembali lagi ke personal.

Kalau memang dia serius mengikuti dia pasti akan memilih tempat yang profer, mempersiapkan semuanya, sementara yang memang hanya sekadar ikut hanya mendengar sambil lalu.

Seberapa komit dia ingin mendapatkan ilmu dari suatu kegiatan. Kalau hanya ingin mendapatkan legalitasnya

sudah sekadar ikut. Kalau ingin mendapatkan ilmu meski daring mestinya ini bukan suatu hambatan,” terang Eva.

Pendidikan khusus advokat ini sendiri akan dilaksanakan selama 30 sesi. Jadi mulai dari 11 September hingga 17 Oktober.

Setiap sesinya sendiri diisi berbagai narasumber, mulai dari Peradi pusat, daerah hingga tingkat DPC.

Dalam satu minggu tersebut, program PKPA ini diadakan pada hari Jumat dan Sabtu antara pukul 15.00 hingga 20.00 malam hari.

“Kami jadwalkan di akhir pekan, sehingga peserta bisa fokus karena mungkin terbentur pekerjaan agar tidak bolos kerja,” ucapnya.

Disinggung tujuan dari PKPA ini, dengan hanya mengeluarkan biaya Rp 6 juta saja, para peserta banyak mendapatkan ilmu yang sangat bermanfaat sesuai tuntutan dunia kerja dari sumber utama langsung yakni advokat.

Selain itu, para peserta ini juga akan mendapatkan sertifikat yang nantinya dijadikan sebagai persyaratan saat mengikuti ujian profesi.

“Setelah lulus ujian profesi advokat biasanya akan magang tahapannya selama dua tahun, setelah itu baru bisa menjadi advokat beracara di pengadilan.

Harapannya, ingin menghasilkan lulusan yang memang siap ke dunia kerja. Jadi ketika sudah memperoleh gelar sarjana hukum, mereka sudah punya wadah

di mana harus menempuh pendidikan lanjutan supaya bisa berprofesi sebagai advokat. Termasuk memberikan kesempatan juga kepada lulusan yang berlatar belakang

pendidikan tinggi hukum tidak harus sarjana hukum kadang ada juga dari kalangan Sarjana Ilmu Kepolisian,

atau Sarjana Hukum Islam itu boleh mengikuti PKPA yang penting latar belakang pendidikan tinggi hukum,” urainya.

Harapan lain dari kegiatan ini sendiri yakni menghasilkan calon advokat yang berdedikasi dan kapabel dalam keilmuan menjadi advokat.

“Jangan hanya menjadi advokat modal sertifikat saja, tapi bagaimana memperoleh keilmuan yang memang sesuai dengan tuntutan dunia kerja,” tukas Eva.

Sementara itu, Ketua DPC Peradi kota Denpasar, Nyoman Budi Adnyana yang dalam kesempatan ini sebagai narasumber menjelaskan PKPA

adalah pendidikan khusus profesi advokat yaang menjadi langkah awal seseorang ketika ingin menjadi pengacara.

“Jadi seseorang yang ingin menjadi lawyer harus melewati PKPA dulu. Dengan begitu nanti ada sertifikat  bahwa dia telah mengikuti pendidikan.

Setelah itu akan mengikuti Ujian Profesi Advokat (UPA) ketika lulus ada proses magang. Ya butuh hingga dua tahun hingga dia bisa menjadi advokat,” katanya.

Dalam PKPA itu, Adnyana mengajar sesuai kurikulum yang telah ditentukan oleh Peradi pusat yakni lebih banyak tentang teknis yang dilakoni advokat dalam beracara di dunia hukum.

Materi yang diajarkan 75 persen hal teknis. “Tentang hukum acara pidana, perdata, dan sebagainya itu kan sudah dipelajari saat kuliah S1.

Yang membedakan dalam PKPA ini adalah terapanya seperti apa. Misalnya bagaimana faktanya mendampingi seorang klien di pengadilan.

Bahwa dalam KUHAP cuma diatur seorang tersangka atau terdakwa berhak didampingi advokat. Nah praktiknya seperti itu yang kami ajarkan. Lebih banyak terapanya,” kata Adnyana.

Dari tujuh kali kegiatan PKPA yang digelar sejak 2017 lalu, sudah mendidik 350 orang peserta melalui program ini.

Lebih lanjut Adnyana menjelaskan, untuk pengambilan sumpah sebagai advokat sendiri harus memenuhi umur minimal yakni 25 tahun.

Hal ini, kata dia, mengingat pekerjaan advokat misalnya saat mendampingi klien dalam kasus pidana menyangkut kebebasan orang, pembebasan tanah dalam kasus perdata hingga perkara perceraian.

“Jadi perlu usia yang cukup dewasa. Dalam ketentuan harus minimal 25 tahun. Intinya seorang advokat adalah menjalankan

tugas untuk mendampingi klien yang sedang bermasalah secara hukum baik dalam pidana atau perdata,” jelasnya.

Tugas seorang advokat dalam mendampingi klien itu lanjut dia, bagaimana ia bisa mendudukkan dengan benar persoalan yang membelit klien tersebut.

“Di tingkat penyidikan misalnya, pengacara tidak boleh berbicara. Tapi ketika hak tersangka itu dilanggar maka lawyer harus bicara.

Misalnya dalam KUHAP itu ada pertanyaan yang bersifat menjerat. Jadi pertanyaan dibuat penyidik panjang tetapi ujungnya jawaban ya hanya iya dan tidak saja.

Nah, lawyer harus bicara dalam kondisi itu. Bisa tidak, lawyer menginterupsi penyidik yang seperti itu. Itu perannya.

Atau misalnya dalam persidangan, yang ternyata di dalamnya hal yang mestinya terungkap tetapi tidak terungkap. Ketika ada saksi yang semestinya bisa menjelaskan

sesuatu klien bisa nggak disampaikan lawyer di depan hakim. Itu kemampuan seorang lawyer dipertaruhkan di sana,” imbuhnya.

Untuk itu, tambah Budi Adnyana, melalui PKPA ini pihaknya ingin memberikan pemahaman hal-hal yang dihadapi advokat ketika mendampingi seorang klien yang sedang menghadapi kasus hukum.

“Bagaimana seorang advokat mau membela klien kalau pengetahuan tidak sepadan dengan yang dihadapi. Sehingga seorang pengacara harus bisa menguasai

hukum acara pidana atau perdata. Kalau pengacara tidak baca kitab itu kan menjadi transaksional aja jadi pengacara. Kita tidak mau selerti itu,” pungkasnya.  (rba)

Artikel Terkait

Terpopuler

Artikel Terbaru

/