DENPASAR – Ada yang menarik di arena Pesta Kesenian Bali (PKB) Senin lalu (1/7). Dari belakang panggung Kalangan Ratna Kanda, Art Center Denpasar,
Nyoman Suarya tampak serius mengamati penampilan anak didiknya saat mementaskan Tari Sakit Kedis hasil garapannya sendiri yang pertama kali ditampilkan dalam ajang PKB.
Ia merupakan salah satu partisipan yang juga ikut tampil bersama Wanita Hindu Dharma Indonesia (WHDI) Lampung Tengah.
Tarian kreasi Sakit Kedis garapannya tersebut mengambil konsep dari tanaman cengkeh yang tumbuh subur di Lampung.
Selain memiliki nilai ekonomi yang bagus, cengkeh oleh masyarakat Lampung juga dijadikan obat sakit gigi yang sangat ampuh. Kedis sendiri dalam bahasa Lampung memiliki makna gigi.
Sebelumnya tampil, ia juga sempat mengajak komunikasi para penari yang terdiri dari tiga penari putra dan dua penari puteri.
Kelima penari tersebut mengenakan pakaian adat Lampung yang didominasi warna merah. “Saya sangat senang sekali bisa tampil di PKB ini.
Meski saya lahir dan tinggal di Lampung. Tapi, saya merupakan bagian dari orang Bali,” kata pria yang memiliki orang tua asli Tanah Lot, Tabanan ini.
Dalam pementasan yang ditunjukkan oleh WHDI Lampung Tengah, menghadirkan garapan-garapan kolaborasi dua budaya yakni Lampung dan Bali.
Begitu juga dengan iringan musik. Di sisi kanan panggung, WHDI menjadi pengiring enam tarian dan tiga lagu yang ditampilkan kemarin menggunakan gamelan Bali.
Sementara di panggung sisi kiri, para pengiring yang memakai pakaian adat Bali memainkan dengan alat musik khas Lampung, seperti rebana yang didominasi alat musik berkarakter keras.
Mereka tampak senang dan sumringah bisa tampil pertama kali di Bali dalam ajang PKB tahun ini.
Keenam tarian yang dibawakan itu antara lain Tari Sembah, Tari Jurai Emas, Tari Sakit Kedis, Tari Lijung, Tari Bedana, dan Tari Bala.
“Untuk pementasan kali ini, kami melakukan persiapan sekitar enam bulan untuk pemantapannya,” tutur Ni Wayan Desi Hermawati selaku Ketua WHDI Lampung Tengah ditemui usai pentas.
Menurut Desi, alasan utama menampilkan pertunjukan ini di PKB ialah untuk memperkenalkan seni Lampung.
Selain itu, pihaknya ingin menunjukkan bahwa masyarakat Bali yang bertransmigrasi di Lampung diterima dengan baik.
“Ini bukti bahwa melalui seni budaya dapat mempererat persaudaraan krama Bali dengan masyarakat lokal Lampung,” jelasnya.
Perempuan asal Kerambitan ini menambahkan, sejauh ini seni budaya di Lampung Tengah yang digarap oleh warga keturunan Bali yang tinggal di Lampung selalu menampilkan garapan kolaborasi dua budaya antara Lampung dan Bali.
“Kami merasa bangga sebagai orang yang memiliki leluhur dari Bali. Saya lahir dan tinggal di Lampung bisa menunjukkan keduanya.
Jadi, Bali sentris itu sudah berkurang. Kami ingin menunjukkan antara warga keturunan Bali dan warga asli Lampung hubungan kami sangat erat,” tuturnya.
Tarian kolaborasi antara Bali Lampung tercermin dalam salah satu tarian yang dibawakan para penampil. Yakni, Tari Bala (Bali Lampung) yang merupakan
karya tari kolaborasi daerah Bali dan Lampung yang ditarikan oleh lima orang wanita dengan karakter tari laki-laki.
Tari ini menjadi bukti bahwa perbedaan tak menjadi alasan untuk terpecah belah. Bala juga dapat berarti pasukan perang, karena bala merupakan karakter keprajuritan.
”Tari Bala ini digarap pada saat Darma Santi Nyepi Nasional di Kota Metro Lampung pada tahun 1995 yang saat itu dihadiri oleh Presiden Soeharto,” terang Desi.
Selain keenam tarian tersebut, nyanyian khas Lampung tak lupa ditampilkan untuk menghibur para penonton.
Suara merdu dari para penyanyi membuat para penonton hanyut dalam nyanyian. Total jumlah yang terlibat dalam pementasan kemarin berjumlah 48 orang.