32.6 C
Jakarta
25 April 2024, 15:29 PM WIB

Petualang Sabang, Puisi Sederhana Sarat Makna Si Penyair Gondrong

DENPASAR – Buku puisi terbaru penyair berambut gondrong Wayan Jengki Sunarta berjudul “Petualang Sabang” (Pustaka Ekspresi, 2018) bakal diluncurkan Jumat, (12/10) malam ini pukul 19.30 di Jatijagat Kampung Puisi (JKP-109), Renon, Denpasar.

Acara dimeriahkan dengan pembacaan puisi, musikalisasi puisi, dan ngobrol puisi. Petualang Sabang berisi 50 puisi sederhana yang sebagian besar ditulis selama berada di Sabang, Aceh, pada bulan Oktober dan November 2016.

Setelah pulang ke Bali, puisi-puisi tersebut diolah lagi oleh sang penyair dan baru pada 2018 bisa diwujudkan menjadi sebuah buku utuh.

Puisi-puisi dalam buku ini lebih bersifat impresi. Memaparkan suasana, kesan, atau gambaran tempat-tempat yang dikunjungi dan hal-hal yang menarik perhatian penyairnya.

“Buku ini  menggambarkan perasaan saya selama berada di Sabang, ” jelas penyair Wayan Jengki Sunarta.

Kehadiran Jengki di Sabang berkaitan dengan program residensi Sastrawan Berkarya dari Badan Pengembangan dan Pembinaan Bahasa, Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia.

Selama di Sabang, Jengki banyak berinteraksi dengan kehidupan masyarakat setempat, alam, dan budayanya.

Sebagai orang yang tumbuh dalam kultur berbeda, Jengki mendapatkan banyak pengalaman menarik ketika berada di Sabang, yang kemudian diolah menjadi puisi-puisi sederhana yang sarat renungan.

Buku ini juga dibubuhi ilustrasi menarik berupa sketsa dan grafis dengan teknik cetak cukil kayu yang dikerjakan oleh perupa muda, Nina Fajariyah.

Perupa yang berasal dari Jakarta itu merespons 20-an puisi dalam buku ini untuk memberikan gambaran suasana yang terkandung di dalam puisi.

“Boleh dikatakan ini menjadi semacam kerja kolaborasi antara penyair dan perupa,” jelasnya.

Seperti diketahui, Wayan Jengki Sunarta lahir di Denpasar, 22 Juni 1975. Lulusan Antropologi Budaya, Fakultas Sastra, Universitas Udayana, ini juga pernah kuliah Seni Lukis di ISI Denpasar.

Menekuni puisi sejak awal 1990-an, kemudian merambah ke penulisan prosa liris, cerpen, feature, esai/artikel seni budaya, kritik/ulasan seni rupa, dan novel.

Tulisan-tulisannya tersebar di berbagai media massa dan terangkum dalam sejumlah buku bersama. Buku-buku sastranya yang telah terbit adalah: Pada Lingkar Putingmu (bukupop, 2005),

Cakra Punarbhawa (Gramedia, 2005), Purnama di Atas Pura (Grasindo, 2005), Impian Usai (Kubu Sastra, 2007), Malam Cinta (bukupop, 2007), Pekarangan Tubuhku (Bejana, 2010),

Perempuan yang Mengawini Keris (Jalasutra, 2011), Magening (Kakilangit Kencana, 2015), Montase (Pustaka Ekspresi, 2016),

Senandung Sabang (Badan Bahasa, 2017), Montase (diterbitkan ulang oleh Indie Book Corner, 2018), Petualang Sabang (Pustaka Ekspresi, 2018).

Beberapa karya sastranya meraih penghargaan, antara lain: Krakatau Award 2002 dari Dewan Kesenian Lampung,

Cerpen Pilihan Kompas 2004, Cerpen Terbaik Kompas 2004 versi Sastrawan Yogyakarta, Nominator Lomba Naskah Monolog Anti Budaya Korupsi se-Indonesia 2004,

Nominator Anugerah Sastra Majalah Horison 2004, Widya Pataka dari Gubernur Bali (2007), Longlist Khatulistiwa Literary Award (2010), Lima Belas Nominasi Sayembara Buku Puisi HPI (2016).

Di tengah kesibukannya sebagai penulis, dia mengelola Jatijagat Kampung Puisi (JKP), sebuah komunitas berkesenian di Denpasar. 

DENPASAR – Buku puisi terbaru penyair berambut gondrong Wayan Jengki Sunarta berjudul “Petualang Sabang” (Pustaka Ekspresi, 2018) bakal diluncurkan Jumat, (12/10) malam ini pukul 19.30 di Jatijagat Kampung Puisi (JKP-109), Renon, Denpasar.

Acara dimeriahkan dengan pembacaan puisi, musikalisasi puisi, dan ngobrol puisi. Petualang Sabang berisi 50 puisi sederhana yang sebagian besar ditulis selama berada di Sabang, Aceh, pada bulan Oktober dan November 2016.

Setelah pulang ke Bali, puisi-puisi tersebut diolah lagi oleh sang penyair dan baru pada 2018 bisa diwujudkan menjadi sebuah buku utuh.

Puisi-puisi dalam buku ini lebih bersifat impresi. Memaparkan suasana, kesan, atau gambaran tempat-tempat yang dikunjungi dan hal-hal yang menarik perhatian penyairnya.

“Buku ini  menggambarkan perasaan saya selama berada di Sabang, ” jelas penyair Wayan Jengki Sunarta.

Kehadiran Jengki di Sabang berkaitan dengan program residensi Sastrawan Berkarya dari Badan Pengembangan dan Pembinaan Bahasa, Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia.

Selama di Sabang, Jengki banyak berinteraksi dengan kehidupan masyarakat setempat, alam, dan budayanya.

Sebagai orang yang tumbuh dalam kultur berbeda, Jengki mendapatkan banyak pengalaman menarik ketika berada di Sabang, yang kemudian diolah menjadi puisi-puisi sederhana yang sarat renungan.

Buku ini juga dibubuhi ilustrasi menarik berupa sketsa dan grafis dengan teknik cetak cukil kayu yang dikerjakan oleh perupa muda, Nina Fajariyah.

Perupa yang berasal dari Jakarta itu merespons 20-an puisi dalam buku ini untuk memberikan gambaran suasana yang terkandung di dalam puisi.

“Boleh dikatakan ini menjadi semacam kerja kolaborasi antara penyair dan perupa,” jelasnya.

Seperti diketahui, Wayan Jengki Sunarta lahir di Denpasar, 22 Juni 1975. Lulusan Antropologi Budaya, Fakultas Sastra, Universitas Udayana, ini juga pernah kuliah Seni Lukis di ISI Denpasar.

Menekuni puisi sejak awal 1990-an, kemudian merambah ke penulisan prosa liris, cerpen, feature, esai/artikel seni budaya, kritik/ulasan seni rupa, dan novel.

Tulisan-tulisannya tersebar di berbagai media massa dan terangkum dalam sejumlah buku bersama. Buku-buku sastranya yang telah terbit adalah: Pada Lingkar Putingmu (bukupop, 2005),

Cakra Punarbhawa (Gramedia, 2005), Purnama di Atas Pura (Grasindo, 2005), Impian Usai (Kubu Sastra, 2007), Malam Cinta (bukupop, 2007), Pekarangan Tubuhku (Bejana, 2010),

Perempuan yang Mengawini Keris (Jalasutra, 2011), Magening (Kakilangit Kencana, 2015), Montase (Pustaka Ekspresi, 2016),

Senandung Sabang (Badan Bahasa, 2017), Montase (diterbitkan ulang oleh Indie Book Corner, 2018), Petualang Sabang (Pustaka Ekspresi, 2018).

Beberapa karya sastranya meraih penghargaan, antara lain: Krakatau Award 2002 dari Dewan Kesenian Lampung,

Cerpen Pilihan Kompas 2004, Cerpen Terbaik Kompas 2004 versi Sastrawan Yogyakarta, Nominator Lomba Naskah Monolog Anti Budaya Korupsi se-Indonesia 2004,

Nominator Anugerah Sastra Majalah Horison 2004, Widya Pataka dari Gubernur Bali (2007), Longlist Khatulistiwa Literary Award (2010), Lima Belas Nominasi Sayembara Buku Puisi HPI (2016).

Di tengah kesibukannya sebagai penulis, dia mengelola Jatijagat Kampung Puisi (JKP), sebuah komunitas berkesenian di Denpasar. 

Artikel Terkait

Terpopuler

Artikel Terbaru

/