27.3 C
Jakarta
30 April 2024, 6:50 AM WIB

Kupas Peradaban Bali, Rilis Buku Jejak Manusia dan Negara Singha

RadarBali.com – Penekun sejarah, Ngurah Paramartha meluncurkan buku yang bertajuk “Jejak Manusia dan Negara Singha”. Buku itu diluncurkan dalam sebuah acara diskusi yang dilangsungkan di Lovina, Minggu (22/10) siang.

Buku setebal 139 halaman itu, banyak bercerita tentang jejak sejarah yang berkaitan dengan Buleleng. Ngurah menyusuri jejak sejarah raja-raja di Jawa dan kaitannya dengan peradaban di Bali.

Dalam bukunya, Ngurah secara intens menelusuri jejak peradaban di wilayah Desa Pakraman Bulian, Desa Pakraman Kubutambahan, Desa Adat Julah,

Desa Pakraman Tajun, Sinabun, Desa Sukawana di Bangli, Desa Pakraman Pinggan, hingga Desa Pakraman Tenganan yang juga dikenal sebagai Desa Bali Aga.

Ngurah mengaku menulis banyak hal yang berkaitan dengan sejarah. Semua ia dapat berdasarkan jejak arkeologi, terutama prasasti. Disamping juga mendengar cerita dari tetua desa.

“Buku ini sumbangan saya untuk literasi indonesia. Saya tidak meluruskan sejarah. Tapi temuan ini saya tulis, sebagai bagian sejarah. Karena memang sejarah harus ditulis ulang,” kata Ngurah.

Ia mengaku membutuhkan waktu selama 23 tahun menulis buku ini. Riset dimulai sejak tahun 1994. Saking intensnya melakukan riset selama puluhan tahun, ia harus menjadi krama di sebuah pura.

Bahkan naik status menjadi pengempon pura. Pada 2011, ia sebenarnya sudah siap meluncurkan sebuah buku. Setelah melakukan berbagai pertimbangan, ia akhirnya memilih format coffee table book.

“Karena harus ada gambar dan penjelasan yang saling mengikat. Akhirnya tujuh bulan lalu, saya mulai lengkapi dengan foto,” jelasnya.

Selama proses penyusunan itu, Ngurah Paramartha mengaku mendapat banyak catatan-catatan penting, ketika prasasti diturunkan dari gedong simpen.

Biasanya prasasti yang disimpan pada pusat peradaban seperti pura, menyimpan catatan-catatan penting.

Namun ada pula beberapa prasasti yang dikubur di dalam tanah maupun disembunyikan di tebing.

Diduga prasasti itu sengaja disembunyikan, karena khawatir dicuri tentara Jepang dan dilebur menjadi peluru.

“Pesan saya, prasasti itu harus dibuka. Karena masyarakat harus tahu apa isinya. Apakah tentang tata negara, usadha (pengobatan, Red), undagi, maupun pajak,” tandasnya

RadarBali.com – Penekun sejarah, Ngurah Paramartha meluncurkan buku yang bertajuk “Jejak Manusia dan Negara Singha”. Buku itu diluncurkan dalam sebuah acara diskusi yang dilangsungkan di Lovina, Minggu (22/10) siang.

Buku setebal 139 halaman itu, banyak bercerita tentang jejak sejarah yang berkaitan dengan Buleleng. Ngurah menyusuri jejak sejarah raja-raja di Jawa dan kaitannya dengan peradaban di Bali.

Dalam bukunya, Ngurah secara intens menelusuri jejak peradaban di wilayah Desa Pakraman Bulian, Desa Pakraman Kubutambahan, Desa Adat Julah,

Desa Pakraman Tajun, Sinabun, Desa Sukawana di Bangli, Desa Pakraman Pinggan, hingga Desa Pakraman Tenganan yang juga dikenal sebagai Desa Bali Aga.

Ngurah mengaku menulis banyak hal yang berkaitan dengan sejarah. Semua ia dapat berdasarkan jejak arkeologi, terutama prasasti. Disamping juga mendengar cerita dari tetua desa.

“Buku ini sumbangan saya untuk literasi indonesia. Saya tidak meluruskan sejarah. Tapi temuan ini saya tulis, sebagai bagian sejarah. Karena memang sejarah harus ditulis ulang,” kata Ngurah.

Ia mengaku membutuhkan waktu selama 23 tahun menulis buku ini. Riset dimulai sejak tahun 1994. Saking intensnya melakukan riset selama puluhan tahun, ia harus menjadi krama di sebuah pura.

Bahkan naik status menjadi pengempon pura. Pada 2011, ia sebenarnya sudah siap meluncurkan sebuah buku. Setelah melakukan berbagai pertimbangan, ia akhirnya memilih format coffee table book.

“Karena harus ada gambar dan penjelasan yang saling mengikat. Akhirnya tujuh bulan lalu, saya mulai lengkapi dengan foto,” jelasnya.

Selama proses penyusunan itu, Ngurah Paramartha mengaku mendapat banyak catatan-catatan penting, ketika prasasti diturunkan dari gedong simpen.

Biasanya prasasti yang disimpan pada pusat peradaban seperti pura, menyimpan catatan-catatan penting.

Namun ada pula beberapa prasasti yang dikubur di dalam tanah maupun disembunyikan di tebing.

Diduga prasasti itu sengaja disembunyikan, karena khawatir dicuri tentara Jepang dan dilebur menjadi peluru.

“Pesan saya, prasasti itu harus dibuka. Karena masyarakat harus tahu apa isinya. Apakah tentang tata negara, usadha (pengobatan, Red), undagi, maupun pajak,” tandasnya

Artikel Terkait

Terpopuler

Artikel Terbaru

/