SELAMA ini perupa Ketut Putrayasa dikenal rajin menyuarakan kegelisahan batinnya dalam merespons carut marut fenomena sosial yang terjadi. “Sisyphus Game”, demikian judul karya satire yang dibuat Putrayasa mengkritisi fenomena rutinitas kekinian yang menjemukan, yang kemudian dipamerkan di Galeri Nasional Indonesia, belum lama ini.
Pameran dalam hajatan bertajuk Pameran Seni Rupa Kotemporer Indonesia: Manifesto VIII. “Sisyphus Game”, merupakan karya instalasi berbahan baja virkan, stainless, dan kuningan, berukuran 215 x 230 x 40 cm dengan berat lebih sekitar satu ton.
Karya Putratasa “Sisyphus Game”, salah satu dari 108 karya perupa Indonesia yang dipamerkan saat itu. Seratus delapan karya yang dipamerkan di galeri bergengsi itu tak lain sebagai ajang gelar kreasi seniman Indonesia, diseleksi dari 613 calon peserta melalui jalur undangan.
Manifesto VIII bertajuk Transposisi, yang dalam pengantar katalog pameran, para perupa diharapkan memiliki kepekaan visioner dan mampu berkontribusi positif bagi kehidupan masyarakat, serta mendorong kemajuan zaman.
Karyanya dianggap memiliki pandangan intuituf dan cerdas membaca fenomena yang terjadi, seniman tentu diharapkan bisa meresponsnya dengan karya. Maka, Putrayasa menghadirkan karya “Sisyphus Game”, yang kritis konstruktif.
Menutur Putrayasa, Sisyphus Game, terinspirasi dari mitologi Yunani Kuno, di mana kelak, Albert Camus, seorang filsuf Prancis, menukilkannya menjadi esai filsafat perihal pergulatan manusia dengan absurditas.
Penalaran absurd, manusia absurd, kreasi absurd, harapan absurd. Judul bukunya Mite Sisifus. Dalam mitologi Yunani, Sisyphus menipu dewa kematian, lalu dikutuk mendorong batu besar ke atas bukit .
Begitu ia sampai di puncak, batu menggelinding kembali ke bawah, dan Sisyphus harus mendorongnya kembali. Begitu terus-menerus. Sungguh perjuangan sia-sia dan absurd.
Hal itu dibenarkan pengamat budaya dan penulis kenamaan Bali, Wayan Westa, karena absurditas ini, Camus menolak segala bentuk agama, futurisme atau ideologi-ideologi yang menjanjikan kebaikan di masa depan. Bagi Camus yang berbicara adalah pengalaman indrawi, konkret masa kini.
Karena itu sulit bagi Camus untuk berbicara mengenai cita-cita atau perencanaan di masa depan. Dunia ini irasional karena tidak bisa menerangkan adanya kemalangan, bencana ataupun tujuan hidup manusia.
Sebab di situ Camus yang amat mengagumi Nietzsche, menilik absurditas berarti ketidakmungkinan mencari jawab pada yang transenden. ‘’Begitu kira-kira bila boleh meminjam penegasan M. Sastraprateja dari buku bertajuk Manusia Multi Dimensional Sebuah Renungan Filsafat (1983),’’ ujar Westa.
Namun, kata Westa, Sisyphus Game satire baja virkan Ketut Putrayasa tidak tengah membawa pesan filosofi dan tantangan moralitas.
Dirinya lebih menyitir pada satu satire kebudayaan, pada keaadan-keadaan kini yang melanda bangsa dan pulau — di mana bencana, kemalangan, serta krisis multi dimensi selalu dihadapi dengan kerutinan absurd. Nyaris seperti Sisyphus yang dikutuk mendorong batu ke puncak bukit, terjatuh lalu mendorongnya lagi dari bawah.
Sejarah dan pengalaman tak pernah kuasa menyadarkan manusia menemukan terobosan-terobosan baru. Agama, ilmu, sain, tak cukup dibuat berkutik di hadapan bencana yang dihadapi manusia.
Putrayasa lewat karyanya itu, ingin menyuarakan bahwa fenomena tersebut sebuah bentuk penjara kurutinan. Ia sadar, kerutinan adalah musuh paling berbahaya seorang kreator. Kerutinan juga musuh besar bagi pemegang kebijakan publik yang tak menemukan jalan keluar saat krisis menimpa rakyat. (adrian suwanto/radar bali)