26.2 C
Jakarta
22 November 2024, 4:24 AM WIB

Teater Kalangan Hadirkan Wisata Monolog

SINGARAJA – Ada konsep unik yang dihadirkan Teater Kalangan pada Festival Monolog Bali 100 Putu Wijaya.

Mereka menghadirkan konsep yang disebut dengan “Wisata Monolog”. Pada konsep ini, mereka bukan hanya menghadirkan pementasan

yang bersifat keberjarakan pada pementasan-pementasan teater selama ini. Ada juga pementasan yang bersifat benar-benar intim.

Selasa (26/12) malam lalu di Fakultas Bahasa dan Seni (FBS) Undiksha Singaraja, Teater Kalangan menghadirkan delapan naskah sekaligus.

Delapan naskah itu, sekaligus melengkapi jumlah pementasan pada Festival Monolog Bali 100 Putu Wijaya.

Hingga Selasa malam lalu, genap 100 pementasan yang telah ditampilkan oleh komunitas, teater, maupun penggiat seni di Bali.

Delapan naskah yang dipentaskan oleh Teater Kalangan masing-masing, “Aut” dengan aktor Wayan Sumahardika,

“Pidato Gila” dengan aktor Julio Saputra, “Matahari Terakhir” dengan aktor Agus Wiratama, “HP” dengan aktor Ni Putu Purnamiati,

“Damai” dengan aktor Manik Sukadana, “Teror” dengan aktor Cleo Chintya, “Surat Kepada Setan” dengan aktor A.A.N. Anggara Surya,

dan “Bali” dengan aktor Wayan Sumahardika. Seluruh pementasan itu disutradarai oleh Wayan Sumahardika.

Selain itu ada satu pementasan bonus, yakni naskah “Memek” dengan aktor dan sutradara Putu Satria Kusuma.

Pada pementasan malam itu, Teater Kalangan menawarkan sebuah pengalaman baru dalam menonton teater.

Pada dua pementasan pertama, yakni Aut dan Pidato Gila, penonton menyaksikan pementasan bersama-sama.

Selanjutnya pada lima naskah lainnya, yakni Matahari Terakhir, HP, Damai, Teror, dan Surat Kepada Setan, penonton menyaksikannya secara terpisah.

Saat menyaksikan kelima pementasan itu, penonton diberikan tawaran. Apakah akan mengambil “paket wisata monolog”

untuk menonton seluruh pementasan, atau hanya satu pementasan saja. Pada akhirnya, beberapa pementasan yang dipentaskan, benar-benar bersifat intim.

Sebut saja pada naskah “HP”, antara panggung dengan lokasi menonton, dipisahkan dengan sebuah tembok triplek.

Pada tembok itu terdapat lubang-lubang yang sengaja disediakan untuk mengintip pementasan. Aktor dengan asyik melakukan pementasan seorang diri.

Sementara penonton sibuk mencari lubang terbaik untuk menyaksikan pementasan. Pada akhir pementasan, para penonton dibuat tersadar bahwa mereka secara tak langsung terlibat dalam pementasan.

Maklum saja, pada akhir naskah HP, aktor menyebutkan bahwa ia sedang diintip oleh suaminya. Sehingga penonton secara tak langsung disebut sebagai suami sang aktor, yang sibuk mengintip pementasan.

 

Setelah menyaksikan lima pementasan secara terpisah, penonton kembali berkumpul menyaksikan pementasan naskah “Bali” dan bonus pementasan naskah “Memek”.

“Dengan konsep ini kami ajak penonton berpencar menonton lima pementasan bersamaan. Meskipun berpencar, penonton tetap mendiskusikan hal ini setelah pementasan.

Saya tidak menyebutnya sebagai konsep baru, mungkin lebih tepat disebut unik,” kata Sutradara Pementasan, Wayan Sumahardika.

Suma mengatakan konsep itu sengaja dihadirkan untuk membangkitkan beberapa pertanyaan di benak penonton.

Selama ini kebanyakan teater melakukan pendekatan keberjarakan. Sementara Teater Kalangan menggunakan konsep pariwisata yang di dalamnya sebenarnya mengusung keberjarakan dan keintiman pada saat yang bersamaan.

“Sebenarnya kami juga bertanya-tanya tentang pariwisata di Bali itu sendiri. Seolah-olah orang Bali ini begitu berjarak saat melihat Bali.

Kita berpikir seperti turis. Seperti berjarak. Makanya kami gunakan konsep pariwisata ini,” jelas Suma.

Saat disinggung mengenai proses kreatif, Suma menyebut menyutradarai delapan naskah dan dipentaskan pada hari yang sama, menjadi tantangan tersendiri.

Namun di Teater Kalangan, pementasan sebenarnya merupakan proses kreatif dan kolektif para seniman. Kerja sutradara tak murni ikut andil besar dalam pementasan pada awal hingga akhir.

“Di Teater Kalangan, sutradara itu sebenarnya hanya inisiasi. Di dalamnya ada Santiasa Putu Putra yang menciptakan gerak, Gede Gita Wiastra yang mencipta musik.

Jadi saya hanya menginisiasi. Peran saya hanya mengonsep, menginisiasi, dan mengurus keaktoran. Jadi bukan seperti sutradara kebanyakan,” demikian Suma.

SINGARAJA – Ada konsep unik yang dihadirkan Teater Kalangan pada Festival Monolog Bali 100 Putu Wijaya.

Mereka menghadirkan konsep yang disebut dengan “Wisata Monolog”. Pada konsep ini, mereka bukan hanya menghadirkan pementasan

yang bersifat keberjarakan pada pementasan-pementasan teater selama ini. Ada juga pementasan yang bersifat benar-benar intim.

Selasa (26/12) malam lalu di Fakultas Bahasa dan Seni (FBS) Undiksha Singaraja, Teater Kalangan menghadirkan delapan naskah sekaligus.

Delapan naskah itu, sekaligus melengkapi jumlah pementasan pada Festival Monolog Bali 100 Putu Wijaya.

Hingga Selasa malam lalu, genap 100 pementasan yang telah ditampilkan oleh komunitas, teater, maupun penggiat seni di Bali.

Delapan naskah yang dipentaskan oleh Teater Kalangan masing-masing, “Aut” dengan aktor Wayan Sumahardika,

“Pidato Gila” dengan aktor Julio Saputra, “Matahari Terakhir” dengan aktor Agus Wiratama, “HP” dengan aktor Ni Putu Purnamiati,

“Damai” dengan aktor Manik Sukadana, “Teror” dengan aktor Cleo Chintya, “Surat Kepada Setan” dengan aktor A.A.N. Anggara Surya,

dan “Bali” dengan aktor Wayan Sumahardika. Seluruh pementasan itu disutradarai oleh Wayan Sumahardika.

Selain itu ada satu pementasan bonus, yakni naskah “Memek” dengan aktor dan sutradara Putu Satria Kusuma.

Pada pementasan malam itu, Teater Kalangan menawarkan sebuah pengalaman baru dalam menonton teater.

Pada dua pementasan pertama, yakni Aut dan Pidato Gila, penonton menyaksikan pementasan bersama-sama.

Selanjutnya pada lima naskah lainnya, yakni Matahari Terakhir, HP, Damai, Teror, dan Surat Kepada Setan, penonton menyaksikannya secara terpisah.

Saat menyaksikan kelima pementasan itu, penonton diberikan tawaran. Apakah akan mengambil “paket wisata monolog”

untuk menonton seluruh pementasan, atau hanya satu pementasan saja. Pada akhirnya, beberapa pementasan yang dipentaskan, benar-benar bersifat intim.

Sebut saja pada naskah “HP”, antara panggung dengan lokasi menonton, dipisahkan dengan sebuah tembok triplek.

Pada tembok itu terdapat lubang-lubang yang sengaja disediakan untuk mengintip pementasan. Aktor dengan asyik melakukan pementasan seorang diri.

Sementara penonton sibuk mencari lubang terbaik untuk menyaksikan pementasan. Pada akhir pementasan, para penonton dibuat tersadar bahwa mereka secara tak langsung terlibat dalam pementasan.

Maklum saja, pada akhir naskah HP, aktor menyebutkan bahwa ia sedang diintip oleh suaminya. Sehingga penonton secara tak langsung disebut sebagai suami sang aktor, yang sibuk mengintip pementasan.

 

Setelah menyaksikan lima pementasan secara terpisah, penonton kembali berkumpul menyaksikan pementasan naskah “Bali” dan bonus pementasan naskah “Memek”.

“Dengan konsep ini kami ajak penonton berpencar menonton lima pementasan bersamaan. Meskipun berpencar, penonton tetap mendiskusikan hal ini setelah pementasan.

Saya tidak menyebutnya sebagai konsep baru, mungkin lebih tepat disebut unik,” kata Sutradara Pementasan, Wayan Sumahardika.

Suma mengatakan konsep itu sengaja dihadirkan untuk membangkitkan beberapa pertanyaan di benak penonton.

Selama ini kebanyakan teater melakukan pendekatan keberjarakan. Sementara Teater Kalangan menggunakan konsep pariwisata yang di dalamnya sebenarnya mengusung keberjarakan dan keintiman pada saat yang bersamaan.

“Sebenarnya kami juga bertanya-tanya tentang pariwisata di Bali itu sendiri. Seolah-olah orang Bali ini begitu berjarak saat melihat Bali.

Kita berpikir seperti turis. Seperti berjarak. Makanya kami gunakan konsep pariwisata ini,” jelas Suma.

Saat disinggung mengenai proses kreatif, Suma menyebut menyutradarai delapan naskah dan dipentaskan pada hari yang sama, menjadi tantangan tersendiri.

Namun di Teater Kalangan, pementasan sebenarnya merupakan proses kreatif dan kolektif para seniman. Kerja sutradara tak murni ikut andil besar dalam pementasan pada awal hingga akhir.

“Di Teater Kalangan, sutradara itu sebenarnya hanya inisiasi. Di dalamnya ada Santiasa Putu Putra yang menciptakan gerak, Gede Gita Wiastra yang mencipta musik.

Jadi saya hanya menginisiasi. Peran saya hanya mengonsep, menginisiasi, dan mengurus keaktoran. Jadi bukan seperti sutradara kebanyakan,” demikian Suma.

Artikel Terkait

Terpopuler

Artikel Terbaru

/