DENPASAR – Status sebagai destinasi pariwisata internasional memposisikan Provinsi Bali “rawan”.
Buktinya, lagi-lagi jaringan pembobol anjungan tunai mandiri (ATM) asal Bulgaria kembali beraksi. Syukur Ditreskrimsus Polda Bali sigap.
Dalam waktu dua hari, 21-22 Desember 2018 komplotan KDY, VRG, VKN, dan VVC digulung. Kejahatan cyber crime (skimming) terbukti terjadi di sejumlah ATM di Bali.
Menurut advokat sekaligus “panglima hukum” Togar Situmorang SH MH MAP, kejahatan transnasional (transnasional crime) masih menjadi ancaman serius bagi Bali di tahun 2019.
Kejahatan siber (cyber crime) dalam bentuk skimming kartu ATM diprediksi masih akan menjadi tantangan serius aparat penegak hukum, khususnya kepolisian.
“Masih ada kejahatan lainnya yang berat seperti human trafficking dan cyber crime seperti skimming ATM yang melibatkan WNA (Warga Negara Asing).
Itu termasuk transnational crime yang menjadi tantangan serius di tahun 2019,” kata Togar Situmorang, di Denpasar, Kamis (3/1).
Kejahatan transnasional adalah kejahatan terorganisasi yang terjadi lintas perbatasan negara dan melibatkan kelompok atau jaringan yang bekerja di lebih dari satu negara untuk merencanakan dan melaksanakan bisnis ilegal atau kejahatan.
Bentuk kejahatan terorganisasi transnasional yang paling lazim adalah pencucian uang, penyelundupan manusia secara ilegal, perdagangan manusia (human trafficking),
kejahatan siber, dan penyelundupan obat-obatan terlarang atau narkoba yang melibatkan jaringan internasional, senjata, hewan terancam punah, organ tubuh, dan lainnya.
Menurut Togar Situmorang yang juga caleg DPRD Bali dapil Denpasar nomor urut 7 dari partai Golkar itu, bentuk kejahatan transnasional yang lazim selama ini terjadi di Bali
dan melibatkan WNA adalah peredaran narkoba yang melibatkan jaringan internasional, penyelundupan manusia secara ilegal, perdagangan manusia (human trafficking), dan kejahatan siber seperti skimming ATM.
Sebagai daerah pariwisata internasional, Bali tentu sangat potensial menjadi sasaran empuk pelaku kejahatan transnasional.
Contohnya saja, kata Togar Situmorang, kasus maraknya tenaga kerja ilegal asal Tiongkok yang bekerja di Bali.
Sebagaimana yang pernah terungkap saat mereka menyewa Villa Sanctus di kawasan Uluwatu, Badung sebagai markas untuk para pekerja ilegal Tiongkok ini.
Mereka banyak bekerja sebagai fotografer dan penata rias pengantin secara ilegal. “Sayangnya tidak ada tindakan tegas aparat penegak hukum, baik pihak imigrasi maupun kepolisian.
Seharusnya yang dominan dan berada di garda terdepan mestinya pihak imigrasi yang harus melakukan pemeriksaan ketat. Jangan sampai kecolongan,” kritik Togar Situmorang.
Bentuk kejahatan transnasional lainnya yang cukup meresahkan adalah kejahatan siber misalnya berupa skimming kartu ATM yang melibatkan WNA yang juga marak terjadi di Bali.
Di tahun 2018 ada beberapa kasus yang sudah diungkap pihak kepolisian. “Misalnya kasus skimming ATM yang melibatkan WNA dari Rusia,
Bulgaria, Rumania yang kasusnya sudah diputuskan di PN (Pengadilan Negeri) Denpasar,” beber Togar Situmorang.
Di awal tahun 2019, Ditreskrimsus Polda Bali juga merilis penangkapan pelaku kejahatan cyber crime berupa skimming melalui ATM yang terjadi di wilayah Denpasar.
Pelaku berjumlah 4 orang berinisial KDY, VRG, VKN, VVC berkewarganegaraan Bulgaria. Pelaku berhasil ditangkap berawal dari koordinasi yang dilakukan
oleh Ditreskrimsus Polda Bali dengan pihak Perbankan yang ada di wilayah Denpasar terkait maraknya kasus skimming kartu ATM ini.
Menurut Togar, penangkapan tersebut membuktikan Bali masih menjadi sasaran empuk pelaku kejahatan transnasional.
“Bali adalah pusat pariwisata dunia. Banyak WNA ke Bali. Tapi banyak juga yang punya motif dan modus sekalian liburan dan sambil melakukan kejahatan,” ujar Togar Situmorang.
Apalagi, kejahatan transnasional ini lebih canggih dan modern dengan menggunakan teknologi tinggi. Ini yang harus diwaspadai pihak aparat penegak hukum.
Kalau tidak, imbuh Togar, masyarakat dan pariwisata Bali akan sangat dirugikan. Jadi harus ada integrasi lintas instansi.
“Seluruh stakeholder harus menjaga Bali dalam satu kesatuan utuh. Kalau polisi tidak aware, masyarakat Bali akan dikorbankan.
Pihak imigrasi jaga jangan ada WNA ilegal yang masuk. Pihak Kominfo juga harus menjaga jaringan internet dan mencegah kejahatan siber di internet,” beber Togar.
Sebagai resolusi penegakan hukum tahun 2019 di Bali, Togar Situmorang berharap penegakan hukum harus mengedepankan asas egaliter dimana semua warga negara kedudukannya sama di depan hukum.
Jangan sampai ada tebang pilih dalam penegakan hukum. Penerapan hukum juga jangan terlalu terburu-buru. Tangani kasus dengan asas praduga tak bersalah.
Jangan karena publik trial, tekanan pihak tertentu ataupun dari masyarakat. Aparat penegak hukum harus terbebas dari intervensi, tekanan dan intrik-intrik.
“Hukum harus sebagai panglima. Sebab manusia selalu berhubungan dengan hukum. Kalau penegakan hukum tidak murni,
yang ada hanya kepentingan dan penyalahgunaan jabatan (abuse of power). Itu yang kita takutkan terjadi di Bali,” tegas Togar. (rba)