DENPASAR – Konsultan Center For Publik Health Innovation (CPHL) Fakultas Kedokteran Universitas Udayana dr Yessy Crosita mengatakan, berdasar riset, sebagian pelaku bunuh diri bermasalah dengan kesehatan jiwa.
Menurut alumni S2 Fakultas Kedokteran di Belanda ini, dari otopsi psikiatri maupun sejarah sebelum meninggal, rata-rata ada masalah kesehatan jiwa di diri pelaku.
Riset-riset dahulu juga menunjukkan, setidaknya 70 persen kejadian bunuh diri di Indonesia tersebut disebabkan oleh depresi.
Kejadian bunuh diri juga karena adanya faktor manusia tersebut merasa tidak berguna, merasa dirinya tidak mampu melakukan hal-hal yang dituntut masyarakat dan sebagainya.
Hal tersebut yang sering membuat orang tersebut berpikir tak ada gunanya lagi hidup. “Padahal, kalau kita punya komunitas yang saling berbagi dan mendukung,
sepertinya hal tersebut mampu untuk memulihkan kesehatan jiwanya,” tutur perempuan yang kini segera menyelesaikan S3 di Institut Pertanian Bogor (IPB) ini.
Ia juga melihat, tidak semua yang akan melakukan tindakan bunuh diri dengan mengirimkan sinyal. Tetapi sebagian besar mengirimkan sinyal.
Hal tersebut terungkap dari studi kasus yang dilakukannya. 4 dari 5 orang nyatanya mengirimkan sinyal, bahkan jauh-jauh hari sebelum orang tersebut bunuh diri.
Contohnya, orang tersebut mengatakan “Mungkin kalau saya tidak ada, keadaan akan lebih baik”. Kata-kata tersebut sering ditanggapi biasanya saja, bukannya bertanya lebih lanjut tentang persoalan yang sedang dihadapinya.
“Untuk itu, saya berpesan agar kita membuka diri dengan sinyal-sinya tersebut. Sebaiknya masyarakat bisa membantu,” terangnya.
Kalau dari diri sendiri? “Ya perlu mengenali keputusasaan kita sendiri. Dan ketika keputusasaan itu datang, mencari orang, membicarakan, bercerita.
Jadi tidak disimpan sendiri. Kalau disimpan sendiri, jadi semakin buntu, akhirnya yang ketemu ya bunuh diri lagi,” tutupnya.