DENPASAR – Kandas sudah harapan AA Ngurah Alit Wira Putra alias Alit Ketek, 50, bisa bebas dari jerat hukum pidana.
Pasalnya, eksepsi atau nota keberatan yang diajukan mantan Ketua Kamar Dagang dan Industri (Kadin) Provinsi Bali, itu ditolak majelis hakim yang diketuai Ida Ayu Andya Dewi.
Dalam sidang kemarin Alit tampak santai. Mengenakan baju adat madya serba putih, Alit tidak tegang saat mendengarkan hakim membacakan putusan sela.
Ia terus menatap dan memerhatikan hakim. Dua jempolnya terus diputar, mungkin untuk mengusir ketegangan.
Sementara wajah tegang tampak pada istri Alit yang menunggu di belakang kursi terdakwa. Begitu sidang selesai, Alit langsung mengacungkan jempol ke arah kiri, ke arah awak media yang meliput dari pintu samping ruang sidang.
Keluar pintu ruang sidang Alit menebar senyum sambil kembali mengacungkan jempolnya. Saat ditodong untuk wawancara ia bersedia. Alit berusaha ramah.
Setiap wartawan yang bertanya ia jawab sambil memegang tangan wartawan yang bertanya. Saat ditanya tentang laporan balik dirinya terhadap Sandoz Cs ke Polda Bali, Alit mengaku belum sempat mengecek.
“Biar Gusti Randa (pengacara Alit) yang menjelaskan Minggu depan,” katanya. Pun saat ditanya tentang PT BSM yang mengajukan pengembangan proyek perluasan Pelabuhan Benoa
disinyalir belum mengantongi akta pendirian perusahaan, Alit mengatakan hal itu yang akan dibuktikan di persidangan. “Itulah yang akan kami buktikan di persidangan,” tukasnya.
Seperti diberitakan sebelumnya, JPU I Gde Raka Arimbawa menjerat Alit dengan dua dakwaan sekaligus.
Dakwaan pertama, Alit yang juga pengusaha properti ini dalam kurun waktu antara November 2011 sampai Agustus 2012 melakukan penggelapan dan penipuan terhadap korbannya bernama Sutrisno Lukito Disastro.
Diuraikan JPU, pada awal November 2011, Sutrisno (saksi korban) bersama rekannya bernama Abdul Satar datang ke Bali dengan tujuan investasi pada proyek pengembangan kawasan Pelabuhan Benoa.
Rencananya akan dibangun dermaga baru tempat bersandarnya kapal, terminal penumpang internasional,
terminal penumpang domesti, dan marina center atau tempat bersandarnya kapal pesiar ukuran kecil, hotel, pertokoan, pembangkit listrik, depo minyak, dan pusat budaya seperti pentas musik.
Pada akhir November 2011, Candra Wijaya dan Made Jayantara memperkenalkan terdakwa pada Sutrisno di Restoran Kopi Bali, Sanur, Denpasar Selatan, untuk membicarakan kesepakatan pengurusan izin proyek.
Terdakwa mengaku sanggup menyelesaikan semua perizinan dalam waktu enam bulan saja. “Untuk pengurusan proyek izin tersebut,
saya minta uang operasional dibayar di depan sebesar Rp 6 miliar, dan sisanya Rp 24 miliar dibayar bertahap dan dilunasi selesai perjanjian,” ucap terdakwa.
Mendengar perkataan dari terdakwa, saksi Sutrisno menjadi yakin dan percaya pengurusan izin proyek. Pada 26 Januari 2012,
bertempat di rumah Made Jayantara di Jalan Jaya Giri, Renon, Denpasar, bertemu terdakwa dengan Sutrisno disaksikan Candra Wijaya.
Terdakwa berusaha meyakinkan semua urusan beres. Terdakwa kembali meminta uang Rp 30 miliar, yang nantinya diserahkan instansi terkait untuk penerbitan izin proyek.
Terdakwa mengaku memiliki pengaruh karena tokoh masyarakat Bali yang memiliki pengaruh untuk mempengaruhi tokoh dan instansi untuk menerbitkan izin.
Bahkan, terdakwa juga menantang membuat perjanjian tertulis dan konsekuensi logis dari perjanjian pengurusan perizinan.
Terdakwa juga minta namanya dimasukkan ke dalam saham di PT Bangun Segitiga Mas sebesar 15 persen atau setara Rp 50 miliar.
Dengan adanya kata-kata terdakwa semakin yakin. Selanjutnya dibuatkan surat kesepakatan saling pengertian tentang kerja sama pada 26 Januari 2012 yang diteken Sutrisno sebagai pihak pemberi dana, dan terdakwa sebagai pihak mengurus izin.
Jumlah uang yang diterima terdakwa sebesar Rp 16,1 miliar. Sutrisno dan Abdul Satar mau menyerahkan uang karena terdakwa sanggup mengurus izin dan mengaku sebagai anak angkat Gubernur Bali.
Namun, terdakwa tidak pernah menindaklanjuti surat rekomendasi pengembangan kawasan Pelabuhan Benoa.
Surat rekomendasi tidak pernah diterbitkan Pemprov Bali, bahkan setelah lewat enam bulan. Bahkan, saat ini sudah tujuh tahun rekomendasi tidak pernah muncul.
Perbuatan terdakwa diatur dan diancam Pasal 378 KUHP sebagaimana dakwaan pertama JPU. Ancaman pidana dalam pasal ini yaitu penjara empat tahun.
Pasal 372 KUHP sebagaimana dakwaan kedua. Ancaman maksimal pasal ini yakni penjara empat tahun.