DI sisi lain kedatangan Tim Kejagung juga mendapat perhatian dari Bendesa Adat Yeh Sanih, Jro Made Sukresna. Ia pun mengadukan adanya indikasi praktik mafia tanah di wewidangan Desa Adat Sanih.
Sukresna sempat menyampaikan pengaduan secara lisan pada tim.
Menurut Sukresna saat ini tanah milik desa adat seluas 58 hektare, diduga dimanfaatkan orang lain. Ia menyebut tanah itu dikontrakkan oleh seseorang berinisial DP dengan nilai kontrak Rp 25 miliar.
“Padahal kami tidak pernah mengontrakkan. Kami juga tidak tahu siapa yang akan mengontrak. Tidak pernah ada koordinasi pada kami,” kata Sukresna.
Menurutnya lahan seluas itu rencananya juga akan terdampak proyek bandara. Konon lahan itu akan menjadi ujung timur dari landasan pacu bandara. Hanya saja ia tak bisa memberikan penjelasan lebih detil. Sebab dirinya tak pernah dilibatkan dalam pembahasan bandara.
“Dari Kejagung sudah merespon dengan sangat baik. Dalam waktu dekat, kami akan segera dipanggil memberikan keterangan yang lebih lengkap terkait masalah yang kami hadapi,” ujarnya.
Seperti diberitakan sebelumnya Tim Pemberantasan Mafia Tanah dari Kejaksaan Agung kini tengah berkantor di Kejaksaan Negeri (Kejari) Buleleng. Tim telah berkantor di Kejari Buleleng sejak Selasa (8/2) lalu. Tim disebut tengah menyelidiki dugaan adanya mafia tanah yang menguasai tanah duwen pura Desa Adat Kubutambahan.
Sementara pada pagi kemarin, Tim Pemberantasan Mafia Tanah dari Kejaksaan Agung turun ke Desa Kubutambahan pada Kamis (10/2). Tim melihat secara langsung sekaligus melakukan pengecekan secara faktual kondisi tanah duwen pura Desa Adat Kubutambahan.
Diduga tanah itu ditelantarkan oleh investor, serta terjadi sengkarut perjanjian. Sehingga proyek pembangunan bandara urung dilaksanakan di sana.