28.4 C
Jakarta
19 September 2024, 23:11 PM WIB

Dianggap Lalai Jadi Perbekel, Namiartha Ditelanjangi Jaksa dan Hakim

DENPASAR – Anggota DPRD Kota Denpasar I Gusti Made Namiartha akhirnya merasakan kursi panas Pengadilan Tipikor Denpasar, kemarin (11/3).

Politisi PDIP itu “ditelanjangi” oleh jaksa penuntut umum (JPU) Kejari Denpasar dalam kasus korupsi dana silpa APBDes Dauh Puri Klod, Denpasar Barat.

Di sidang kemarin juga terungkap bobroknya pengelolaan keuangan desa Dauh Puri Klod sejak 2010.

Mulai dana yang ditarik tidak sesuai kebutuhan, dana yang ditarik tidak terealisasi kegiatan, hingga dana pendapatan desa dipinjam untuk kepentingan pribadi para aparatur desa.

Namiartha sendiri tampak tegang sejak awal sidang dimulai. Saat menjawab pertanyaan JPU I Nengah Astawa dkk, mantan perbekel itu beberapa kali gelagapan hingga harus mengulang omongannya karena tidak jelas.

Suaranya juga gemetar seperti orang ketakutan ketika memberikan penjelasan. Namiartha juga kerap dibentak hakim anggota dua Hartono lantaran Namiartha

sebagai kepala desa dianggap lalai dalam menjalankan pengawasan, sehingga terjadi penyelewengan dana hingga ratusan juta.

“Saya sendiri bingung setelah ada audit dari BPMPD dan Inspektorat. Kenapa kok bisa ada selisih silpa? Saya bingung,” ujar Namiartha saat ditanya JPU dari mana tahu ada selisih dana silpa.

“Saya juga tidak tahu uang pungutan yang diterima bendahara bisa dipinjam dan digunakan untuk insentif,” imbuh Namiartha.

Keterangan itu membuat hakim Hartono meradang. “Perbekel kok tidak tahu. Sebagai kepala desa, Anda harus tahu!” bentak hakim Hartono. Sontak, Namiartha langsung kelimpungan.

Saat dicecar tugasnya sebagai perbekel bertanggungjawab atas penggunaan uang desa, Namiartha berdalih banyak kegiatan yang harus dijalani sehingga dirinya tidak bisa mengecek rekening desa.

Ketidaksesuaian antara buku kas umum dengan rekening desa terjadi sejak 2014. Anehnya, Namiartha tetap tanda tangan pencairan dana meski terdakwa Ni Putu Ariyaningsih (mantan bendahara) tidak melampirkan SPJ.

“Kok bisa? Tidak ada SPJ tapi Anda tanda tangan selip penarikan. Kewajiban Anda itu memonitor dan mengawasi pengelolaan keuangan desa,” cecar hakim Hartono.

Mendapat pertanyaan seperti itu, Namiartha langsung kelimpungan. Dia berkilah tidak menguasai masalah keuangan.

Namiartha malah menyudutkan terdakwa dan sekretaris desa yang bertugas memverifikasi pencairan dana.

Namiartha terkesan cuci tangan dengan menyebut proses pencairan dana diawali laporan kepala seksi (kasi) kepada sekdes, lalu sekdes konfirmasi ke bendahara untuk menyiapkan penarikan uang sesuai RAPBDes.

Setelah itu dokumen diverifikasi lagi sekdes. Barulah sekdesa laporan secara lisan pada perbekel. Tahap akhir barulah perbekel tanda tangan slip pencairan dana ke bank.

Jika perbekel berhalangan menyertakan surat kuasa. Saat dikejar jaksa kenapa penarikan dana di bank beberapa kali

lebih besar dari RAPBDes, Namiartha menyebut kelebihan dana itu untuk kas tunai pembiayaan operasional kantor.

Seperti pembayaran listrik, air, telepon, dan keperluan mendadak. Hakim Hartono lantas mengejar alasan Namiartha mau meneken buku kas umum (BKU) yang dibuat terdakwa.

BKU dibuat terdakwa tiga sampai enam bulan sekali. Lagi-lagi Namiartha berkilah. Dia mengaku tinggal tanda tangan karena tidak mengetahui masalah pembukuan.

Setelah ada audit, Namiartha barulah tidak mau meneken BKU. “Karena hasil audit saya menjadi ragu. Hasil audit menyebut BKU banyak salah,” terang Namiartha.

“Anda tidak tanda tangan BKU, tapi Anda meneken laporan pertanggungjawaban keuangan desa (LPJK). Padahal, catatan keuangan antara di BKU dengan LPJK sama persis,” sodok hakim Hartono.

Tak ayal, Namiartha langsung merah padam. Namun, politikus yang baru terpilih sebagai anggota dewan itu tetap mempunyai jurus berkelit.

“Saya tandatangan LKPJ karena sebelumnya sudah dimusyawarahkan,” kelitnya. Sementara itu, JPU Astawa menyoal pengembalian keuangan oleh Namiartha ke kas desa.

Setelah ada temuan audit, sejumlah perangkat desa ramai-ramai mengembalikan uang. Lagi-lagi Namiartha berkelit.

Katanya, uang yang dikembalikan merupakan uang titipan dari salah satu petugas pungut desa yang sempat kasbon.

“Sebagian (pengembalian) saya pinjamkan dari uang desa, sebagian saya talangi uang pribadi karena petugas yang meminjam itu sudah meninggal dunia,” tuturnya.

Namiartha mengaku mengetahui terdakwa Ariyaningsih menggunakan uang Rp 700 juta lebih setelah Ariyaningsih mengaku sendiri.

Terdakwa juga membuat surat peryataan. Nah, yang menarik, Namiartha mampu menyebutkan secara tepat jumlah uang yang dikembalikan terdakwa Ariyaningsih ke kas negara sehari sebelum sidang.

Yakni Rp 778.176.500. “Dari mana saksi tahu terdakwa mengembalikan uang?” tanya Astawa. Namiartha sempat terkejut ditanya demikian. Ia terdiam sejenak. “Saya tahu dari (berita) koran,” jawabnya.

Sebelumnya, sempat muncul kecurigaan sumber uang pengembalian Rp 778.176.500 oleh terdakwa. Diduga Namiartha menjadi sponsor pengembalian uang tersebut agar Ariyaningsih tidak nyanyi di pengadilan.

Namun, tudingan itu dibantah Namiartha saat diwawancarai usai sidang. “Saya tahunya malah di koran (berita). Saya tidak mau banyak komentar memojokkan sana-sini,” katanya.

Disinggung janji akan memberikan bantuan pada terdakwa jika mau mengakui menggunakan dana, Namiartha kembali berkilah.

Pun saat ditanya tudingan terdakwa, bahwa perbekel pernah menarik dua kali sendiri, Namiartha kembali menyangkal. “Saya tidak pernah menarik sendiri. Selalu berdua dengan bendahara,” sergahnya.

Sementara itu, fakta tak kalah menarik diungkapkan saksi I Putu Gede Sudiarsa, Ketua Badan Permsuyawaratan Desa (BPD).

Sebagai Ketua BPD, Sudiarasa memilik tugas mengawasi kinerja kepala desa. Sudiarsa mengaku mengetahui ada silpa yang tidak bisa dipertanggungjawabkan.

“Kami minta kepala desa coba dicek, kenapa kegiatan tidak bisa dilaksanakan padahal sudah direncanakan. Akhirnya dijawab, sebagian uang silpa tidak ada di rekening desa,” jelas pria paruh baya itu.

Akhirnya BPD menyarankan diadakan audit. “Tapi, hasil audit itu tidak pernah dibuka dan dikasih pada kami.

Mereka (kepala desa dan perangkatnya) beralasan hasil audit bukan wewenang BPD. Akhirnya kami tidak bisa berbuat banyak,” ungkap Sudiarsa.

Kendati begitu, masalah ini akhirnya menggelinding hingga ke meja hijau. Saksi lain yang datang kemarin adalah Made Wardana (mantan perbekel sebelum Namiartha),

IB Joni (mantan camat Denbar), I Made Mertajaya (Kadis Sosial dan mantan Kepala BPMPD), dan Gusti Ayu Sri Saraswini (pegawai BPD Bali). 

DENPASAR – Anggota DPRD Kota Denpasar I Gusti Made Namiartha akhirnya merasakan kursi panas Pengadilan Tipikor Denpasar, kemarin (11/3).

Politisi PDIP itu “ditelanjangi” oleh jaksa penuntut umum (JPU) Kejari Denpasar dalam kasus korupsi dana silpa APBDes Dauh Puri Klod, Denpasar Barat.

Di sidang kemarin juga terungkap bobroknya pengelolaan keuangan desa Dauh Puri Klod sejak 2010.

Mulai dana yang ditarik tidak sesuai kebutuhan, dana yang ditarik tidak terealisasi kegiatan, hingga dana pendapatan desa dipinjam untuk kepentingan pribadi para aparatur desa.

Namiartha sendiri tampak tegang sejak awal sidang dimulai. Saat menjawab pertanyaan JPU I Nengah Astawa dkk, mantan perbekel itu beberapa kali gelagapan hingga harus mengulang omongannya karena tidak jelas.

Suaranya juga gemetar seperti orang ketakutan ketika memberikan penjelasan. Namiartha juga kerap dibentak hakim anggota dua Hartono lantaran Namiartha

sebagai kepala desa dianggap lalai dalam menjalankan pengawasan, sehingga terjadi penyelewengan dana hingga ratusan juta.

“Saya sendiri bingung setelah ada audit dari BPMPD dan Inspektorat. Kenapa kok bisa ada selisih silpa? Saya bingung,” ujar Namiartha saat ditanya JPU dari mana tahu ada selisih dana silpa.

“Saya juga tidak tahu uang pungutan yang diterima bendahara bisa dipinjam dan digunakan untuk insentif,” imbuh Namiartha.

Keterangan itu membuat hakim Hartono meradang. “Perbekel kok tidak tahu. Sebagai kepala desa, Anda harus tahu!” bentak hakim Hartono. Sontak, Namiartha langsung kelimpungan.

Saat dicecar tugasnya sebagai perbekel bertanggungjawab atas penggunaan uang desa, Namiartha berdalih banyak kegiatan yang harus dijalani sehingga dirinya tidak bisa mengecek rekening desa.

Ketidaksesuaian antara buku kas umum dengan rekening desa terjadi sejak 2014. Anehnya, Namiartha tetap tanda tangan pencairan dana meski terdakwa Ni Putu Ariyaningsih (mantan bendahara) tidak melampirkan SPJ.

“Kok bisa? Tidak ada SPJ tapi Anda tanda tangan selip penarikan. Kewajiban Anda itu memonitor dan mengawasi pengelolaan keuangan desa,” cecar hakim Hartono.

Mendapat pertanyaan seperti itu, Namiartha langsung kelimpungan. Dia berkilah tidak menguasai masalah keuangan.

Namiartha malah menyudutkan terdakwa dan sekretaris desa yang bertugas memverifikasi pencairan dana.

Namiartha terkesan cuci tangan dengan menyebut proses pencairan dana diawali laporan kepala seksi (kasi) kepada sekdes, lalu sekdes konfirmasi ke bendahara untuk menyiapkan penarikan uang sesuai RAPBDes.

Setelah itu dokumen diverifikasi lagi sekdes. Barulah sekdesa laporan secara lisan pada perbekel. Tahap akhir barulah perbekel tanda tangan slip pencairan dana ke bank.

Jika perbekel berhalangan menyertakan surat kuasa. Saat dikejar jaksa kenapa penarikan dana di bank beberapa kali

lebih besar dari RAPBDes, Namiartha menyebut kelebihan dana itu untuk kas tunai pembiayaan operasional kantor.

Seperti pembayaran listrik, air, telepon, dan keperluan mendadak. Hakim Hartono lantas mengejar alasan Namiartha mau meneken buku kas umum (BKU) yang dibuat terdakwa.

BKU dibuat terdakwa tiga sampai enam bulan sekali. Lagi-lagi Namiartha berkilah. Dia mengaku tinggal tanda tangan karena tidak mengetahui masalah pembukuan.

Setelah ada audit, Namiartha barulah tidak mau meneken BKU. “Karena hasil audit saya menjadi ragu. Hasil audit menyebut BKU banyak salah,” terang Namiartha.

“Anda tidak tanda tangan BKU, tapi Anda meneken laporan pertanggungjawaban keuangan desa (LPJK). Padahal, catatan keuangan antara di BKU dengan LPJK sama persis,” sodok hakim Hartono.

Tak ayal, Namiartha langsung merah padam. Namun, politikus yang baru terpilih sebagai anggota dewan itu tetap mempunyai jurus berkelit.

“Saya tandatangan LKPJ karena sebelumnya sudah dimusyawarahkan,” kelitnya. Sementara itu, JPU Astawa menyoal pengembalian keuangan oleh Namiartha ke kas desa.

Setelah ada temuan audit, sejumlah perangkat desa ramai-ramai mengembalikan uang. Lagi-lagi Namiartha berkelit.

Katanya, uang yang dikembalikan merupakan uang titipan dari salah satu petugas pungut desa yang sempat kasbon.

“Sebagian (pengembalian) saya pinjamkan dari uang desa, sebagian saya talangi uang pribadi karena petugas yang meminjam itu sudah meninggal dunia,” tuturnya.

Namiartha mengaku mengetahui terdakwa Ariyaningsih menggunakan uang Rp 700 juta lebih setelah Ariyaningsih mengaku sendiri.

Terdakwa juga membuat surat peryataan. Nah, yang menarik, Namiartha mampu menyebutkan secara tepat jumlah uang yang dikembalikan terdakwa Ariyaningsih ke kas negara sehari sebelum sidang.

Yakni Rp 778.176.500. “Dari mana saksi tahu terdakwa mengembalikan uang?” tanya Astawa. Namiartha sempat terkejut ditanya demikian. Ia terdiam sejenak. “Saya tahu dari (berita) koran,” jawabnya.

Sebelumnya, sempat muncul kecurigaan sumber uang pengembalian Rp 778.176.500 oleh terdakwa. Diduga Namiartha menjadi sponsor pengembalian uang tersebut agar Ariyaningsih tidak nyanyi di pengadilan.

Namun, tudingan itu dibantah Namiartha saat diwawancarai usai sidang. “Saya tahunya malah di koran (berita). Saya tidak mau banyak komentar memojokkan sana-sini,” katanya.

Disinggung janji akan memberikan bantuan pada terdakwa jika mau mengakui menggunakan dana, Namiartha kembali berkilah.

Pun saat ditanya tudingan terdakwa, bahwa perbekel pernah menarik dua kali sendiri, Namiartha kembali menyangkal. “Saya tidak pernah menarik sendiri. Selalu berdua dengan bendahara,” sergahnya.

Sementara itu, fakta tak kalah menarik diungkapkan saksi I Putu Gede Sudiarsa, Ketua Badan Permsuyawaratan Desa (BPD).

Sebagai Ketua BPD, Sudiarasa memilik tugas mengawasi kinerja kepala desa. Sudiarsa mengaku mengetahui ada silpa yang tidak bisa dipertanggungjawabkan.

“Kami minta kepala desa coba dicek, kenapa kegiatan tidak bisa dilaksanakan padahal sudah direncanakan. Akhirnya dijawab, sebagian uang silpa tidak ada di rekening desa,” jelas pria paruh baya itu.

Akhirnya BPD menyarankan diadakan audit. “Tapi, hasil audit itu tidak pernah dibuka dan dikasih pada kami.

Mereka (kepala desa dan perangkatnya) beralasan hasil audit bukan wewenang BPD. Akhirnya kami tidak bisa berbuat banyak,” ungkap Sudiarsa.

Kendati begitu, masalah ini akhirnya menggelinding hingga ke meja hijau. Saksi lain yang datang kemarin adalah Made Wardana (mantan perbekel sebelum Namiartha),

IB Joni (mantan camat Denbar), I Made Mertajaya (Kadis Sosial dan mantan Kepala BPMPD), dan Gusti Ayu Sri Saraswini (pegawai BPD Bali). 

Artikel Terkait

Terpopuler

Artikel Terbaru

/