34.7 C
Jakarta
30 April 2024, 13:40 PM WIB

Asal-Usul Penggelapan Rp40 M yang Menjerat Tiga Pejabat Pelindo III

DENPASAR – Tiga pejabat di bawah PT Pelindo III menjadi tersangka kasus penggelapan cukup mengejutkan publik. Sebab, hubungan antara PT Pelindo Energi Logistik (PEL) dengan PT Benoa Gas Terminal sebetulnya cukup mesra di awal.

 

Ketiga pejabat BUMN itu adalah Mantan Direktur Utama PT Pelindo Energi Logistik (PEL), Kokok Susanto yang saat ini menjabat sebagai Direktur Teknik PT Pelindo III; GM PT PEL Regional Bali Nusra, Irsyam Bakri; dan Direktur Utama PT Pelindo Energi Logistik (PEL), Wawan Sulistiawan.

 

Mereka ditetapkan sebagai tersangka per 31 Maret 2021 oleh Direktorat Reserse Kriminal Khusus Polda Bali. Ketiganya diduga melakukan tindak pidana penggelapan dana proyek pembangkit listrik, PLTG Pesanggaran. Dalam perkara dugaan pidana ini, PT Benoa Gas Terminal (BGT) mengalami kerugian Rp40 miliar.

 

Sebelum bicara kasus yang membelit tiga petinggi PT Pelindo Energi Logistik, cucu dari perusahaan BUMN PT Pelindo III, ada baiknya mengingat kembali proyek konversi pembangkit listrik dari tenaga disel (solar) menjadi gas di Pembangkit Listrik Tenaga Disel/ PLTD (kini PLTG) Pesanggaran, Denpasar yang resmi beroperasi pada tahun 2016.

 

Proyek konversi bahan bakar dalam pembangkitan ini merupakan milik PT Indonesia Power, anak PT PLN yang bergerak dalam pembangkit listrik. Presiden Joko Widodo sempat mengunjungi proyek dari megaproyek listrik 35 ribu MW, pada 11 Juni 2016 silam.

 

Nah, PT Indonesia Power tidak bekerja sendiri. Untuk bisa mengoperasikan PLTG Pesanggaran, maka dibutuhkan pasokan LNG (Liquefied natural gas). Sedangkan pasokan LNG untuk PLTG Pesanggaran, harus diangkut dari Bontang (Kaltim) melalui laut. Dan sesampainya di Bali, LNG itu dimasukkan ke tempat penyimpanan berupa kapal sebagai terminal LNG di perairan Dermaga Selatan, Pelabuhan Benoa, Denpasar.

 

Terminal penyimpanan LNG ini terdiri dari dua unit. Yakni Floating Storage‎ Unit atau FSU, dan satunya dan Floating Regasification Unit atau FRU. FSU untuk menyimpan LNG yang datang, sedangkan FRU tempat mengubah LNG yang masih berupa cair (liquid) menjadi gas agar bisa dipakai sebagai bahan bakar dalam pembangkit listrik.

 

Tempat penyimpanan (storage) dan regasifikasi ini tidak dilakukan PT Indonesia Power sendiri. Melainkan kerja sama dengan PT PEL. Namun, PT PEL juga tidak mengerjakan sendiri. Perusahaan BUMN ini bekerja sama lagi dengan PT Benoa Gas Terminal, anak perusahaan PT Jaya Samudra Karunia (JSK) yang berkantor di Jakarta.

 

“Perjanjian kerja sama tersebut dimulai pada tahun 2016 dan berakhir pada Mei 2021,” ungkap Direskrimsus Polda Bali Kombes Yuliar Kus Nugroho di Mapolda Bali, Selasa (20/4).

Yuliar menjelaskan, dalam perjanjian tersebut ada dua kausal penting. Yakni Capex (capital expenditure/ belanja modal) dan Opex (operating expenditure/ belanja operasional).

 

Dalam hal capex, PT BGT harus membangun atau menyiapkan terminal apung LNG berupa kapal bernama Lumbung Dewata yang digunakan sebagai tempat penyimpanan gas.

 

Sedangkan untuk Opex, yakni operasional pengisian gas dari Lumbung Dewata ke IP dikendalikan PT BGT. Atas kerja sama tersebut, PT IP membayar Rp4 miliar per bulan kepada PT PEL. Dari angka itu, PT BGT mendapat bagian Rp2 miliar setiap bulan dari PT PEL.

 

Namun, ketika perjanjian baru berjalan tiga tahun, persisnya pada Juni 2019, Irsyam atas perintah Kokok mengeluarkan surat yang ditujukan kepada PT BGT. Intinya, PT BGT ditendang. Kemudian, PT PEL mengambil alih kepemilikan kapal dan operasional pengisian ulang gas.

 

Padahal, PT BGT sudah menggelontorkan dana tak kecil untuk menyediakan dia kapal yang menjadi tempat penyimpanan dan regasifikasi tersebut. Yakni PT JSK mengklaim mengeluarkan modal USD100 juta. Sekitar Rp1,5 triliun. Kapal itu dibuat dan diimpor langsung dari Korea Selatan.  

Surat Kokok kepada Irsyam untuk menendang PT BGT berdalihkan PT BGT melakukan pergantian kru kapal. Padahal, pergantian kru biasa terjadi, dan tak memengaruhi operasiona kedua terminal LNG tersebut.

“Mereka (PT PEL) mengaku nanti tidak bisa meregas (mengisi gas). Tapi ini terbantahkan karena pergantian kru selama ini terus berjalan,” jelasnya.

 

Tidak itu saja, Wawan juga diduga melakukan penggelapan Vaporizer alat di kapal LNG untuk meregas ke PT IP. Berdasarkan dokumen alat itu adalah punya BGT. Tiba-tiba alat itu stikernya diganti lalu dipindahkan tempatnya. Nantinya alat itu dipasang di bawah kendali PT PEL.

Akibat ditendang PT PEL dari proyek tersebut, PT BGT kehilangan pendapatannya. Perusahaan swasta ini pun mengaku rugi Rp40 miliar. Ini terhitung sejak Juni 2019 sampai Januari 2021, yakni 20 bulan, dengan pendapatan yang mestinya diterima sesai perjanjian Rp2 miliar per bulan. Tentu saja, dengan waktu yang terus berjalan, kerugian PT BGT terus membengkak.

 

“Januari 2021 lalu, pihak  PT BGT keberatan dan melaporkan kasus ini kepolisian,” ungkapnya.

Setelah mendapat laporan dari PT BGT, penyidik Ditreskrimsus melakukan pemeriksaan saksi-saksi. Sedikitnya ada 18 orang saksi yang diperiksa dalam kasus ini.

 

“Lalu ketiganya ditetapkan sebagai tersangka pada 31 Maret 2021,” tutur Yuliar.

 

Ketiga pejabat BUMN dijerat menggunakan Pasal 372 juncto Pasal  55 juncto Pasal 56 KUHP. Yakni penggelapan secara bersama-sama dan berulang.  

 

“Ancaman pidana penjara 4 tahun,” imbuh seraya menyatakan bahwa sampai saat ini ketiga pejabat itu belum ditahan.

 

Ditreskrimsus juga sudah koordinasi bersama PT Indonesia Power bahwasanya terkait pemasalahan tersebut tidak menganggu kelistrikan di Bali, dan tetap berjalan dari awal kasus dilaporkan.

Dalam kasus ini, tambah Yuliar, PT Indonesia Power juga tidak mengalami kerugian. Sebab, kasus ini tak memengaruhi operasional PT IP. Pasokan gas untuk kebutuhan listrik tetap lancar.

 

Sementara itu Humas PT Pelindo III Regional Bali Nusra Siti Juairiah enggan memberikan komentar panjang terkait kasus tersebut. Dia hanya mengatakan PT Pelindo III tidak akan memghalang-halangi proses yang sedang berlangsung di kepolisian. 

 

“Sepengetahuan saya, belum ada manajemen yang dipanggil untuk dimintai keterangan terkait kasus itu,” ungkap Siti Juairiah saat didatangi wartawan di Kantor PT Pelindo III di Kawasan Pelabuhan Benoa Selasa siang (20/4).

DENPASAR – Tiga pejabat di bawah PT Pelindo III menjadi tersangka kasus penggelapan cukup mengejutkan publik. Sebab, hubungan antara PT Pelindo Energi Logistik (PEL) dengan PT Benoa Gas Terminal sebetulnya cukup mesra di awal.

 

Ketiga pejabat BUMN itu adalah Mantan Direktur Utama PT Pelindo Energi Logistik (PEL), Kokok Susanto yang saat ini menjabat sebagai Direktur Teknik PT Pelindo III; GM PT PEL Regional Bali Nusra, Irsyam Bakri; dan Direktur Utama PT Pelindo Energi Logistik (PEL), Wawan Sulistiawan.

 

Mereka ditetapkan sebagai tersangka per 31 Maret 2021 oleh Direktorat Reserse Kriminal Khusus Polda Bali. Ketiganya diduga melakukan tindak pidana penggelapan dana proyek pembangkit listrik, PLTG Pesanggaran. Dalam perkara dugaan pidana ini, PT Benoa Gas Terminal (BGT) mengalami kerugian Rp40 miliar.

 

Sebelum bicara kasus yang membelit tiga petinggi PT Pelindo Energi Logistik, cucu dari perusahaan BUMN PT Pelindo III, ada baiknya mengingat kembali proyek konversi pembangkit listrik dari tenaga disel (solar) menjadi gas di Pembangkit Listrik Tenaga Disel/ PLTD (kini PLTG) Pesanggaran, Denpasar yang resmi beroperasi pada tahun 2016.

 

Proyek konversi bahan bakar dalam pembangkitan ini merupakan milik PT Indonesia Power, anak PT PLN yang bergerak dalam pembangkit listrik. Presiden Joko Widodo sempat mengunjungi proyek dari megaproyek listrik 35 ribu MW, pada 11 Juni 2016 silam.

 

Nah, PT Indonesia Power tidak bekerja sendiri. Untuk bisa mengoperasikan PLTG Pesanggaran, maka dibutuhkan pasokan LNG (Liquefied natural gas). Sedangkan pasokan LNG untuk PLTG Pesanggaran, harus diangkut dari Bontang (Kaltim) melalui laut. Dan sesampainya di Bali, LNG itu dimasukkan ke tempat penyimpanan berupa kapal sebagai terminal LNG di perairan Dermaga Selatan, Pelabuhan Benoa, Denpasar.

 

Terminal penyimpanan LNG ini terdiri dari dua unit. Yakni Floating Storage‎ Unit atau FSU, dan satunya dan Floating Regasification Unit atau FRU. FSU untuk menyimpan LNG yang datang, sedangkan FRU tempat mengubah LNG yang masih berupa cair (liquid) menjadi gas agar bisa dipakai sebagai bahan bakar dalam pembangkit listrik.

 

Tempat penyimpanan (storage) dan regasifikasi ini tidak dilakukan PT Indonesia Power sendiri. Melainkan kerja sama dengan PT PEL. Namun, PT PEL juga tidak mengerjakan sendiri. Perusahaan BUMN ini bekerja sama lagi dengan PT Benoa Gas Terminal, anak perusahaan PT Jaya Samudra Karunia (JSK) yang berkantor di Jakarta.

 

“Perjanjian kerja sama tersebut dimulai pada tahun 2016 dan berakhir pada Mei 2021,” ungkap Direskrimsus Polda Bali Kombes Yuliar Kus Nugroho di Mapolda Bali, Selasa (20/4).

Yuliar menjelaskan, dalam perjanjian tersebut ada dua kausal penting. Yakni Capex (capital expenditure/ belanja modal) dan Opex (operating expenditure/ belanja operasional).

 

Dalam hal capex, PT BGT harus membangun atau menyiapkan terminal apung LNG berupa kapal bernama Lumbung Dewata yang digunakan sebagai tempat penyimpanan gas.

 

Sedangkan untuk Opex, yakni operasional pengisian gas dari Lumbung Dewata ke IP dikendalikan PT BGT. Atas kerja sama tersebut, PT IP membayar Rp4 miliar per bulan kepada PT PEL. Dari angka itu, PT BGT mendapat bagian Rp2 miliar setiap bulan dari PT PEL.

 

Namun, ketika perjanjian baru berjalan tiga tahun, persisnya pada Juni 2019, Irsyam atas perintah Kokok mengeluarkan surat yang ditujukan kepada PT BGT. Intinya, PT BGT ditendang. Kemudian, PT PEL mengambil alih kepemilikan kapal dan operasional pengisian ulang gas.

 

Padahal, PT BGT sudah menggelontorkan dana tak kecil untuk menyediakan dia kapal yang menjadi tempat penyimpanan dan regasifikasi tersebut. Yakni PT JSK mengklaim mengeluarkan modal USD100 juta. Sekitar Rp1,5 triliun. Kapal itu dibuat dan diimpor langsung dari Korea Selatan.  

Surat Kokok kepada Irsyam untuk menendang PT BGT berdalihkan PT BGT melakukan pergantian kru kapal. Padahal, pergantian kru biasa terjadi, dan tak memengaruhi operasiona kedua terminal LNG tersebut.

“Mereka (PT PEL) mengaku nanti tidak bisa meregas (mengisi gas). Tapi ini terbantahkan karena pergantian kru selama ini terus berjalan,” jelasnya.

 

Tidak itu saja, Wawan juga diduga melakukan penggelapan Vaporizer alat di kapal LNG untuk meregas ke PT IP. Berdasarkan dokumen alat itu adalah punya BGT. Tiba-tiba alat itu stikernya diganti lalu dipindahkan tempatnya. Nantinya alat itu dipasang di bawah kendali PT PEL.

Akibat ditendang PT PEL dari proyek tersebut, PT BGT kehilangan pendapatannya. Perusahaan swasta ini pun mengaku rugi Rp40 miliar. Ini terhitung sejak Juni 2019 sampai Januari 2021, yakni 20 bulan, dengan pendapatan yang mestinya diterima sesai perjanjian Rp2 miliar per bulan. Tentu saja, dengan waktu yang terus berjalan, kerugian PT BGT terus membengkak.

 

“Januari 2021 lalu, pihak  PT BGT keberatan dan melaporkan kasus ini kepolisian,” ungkapnya.

Setelah mendapat laporan dari PT BGT, penyidik Ditreskrimsus melakukan pemeriksaan saksi-saksi. Sedikitnya ada 18 orang saksi yang diperiksa dalam kasus ini.

 

“Lalu ketiganya ditetapkan sebagai tersangka pada 31 Maret 2021,” tutur Yuliar.

 

Ketiga pejabat BUMN dijerat menggunakan Pasal 372 juncto Pasal  55 juncto Pasal 56 KUHP. Yakni penggelapan secara bersama-sama dan berulang.  

 

“Ancaman pidana penjara 4 tahun,” imbuh seraya menyatakan bahwa sampai saat ini ketiga pejabat itu belum ditahan.

 

Ditreskrimsus juga sudah koordinasi bersama PT Indonesia Power bahwasanya terkait pemasalahan tersebut tidak menganggu kelistrikan di Bali, dan tetap berjalan dari awal kasus dilaporkan.

Dalam kasus ini, tambah Yuliar, PT Indonesia Power juga tidak mengalami kerugian. Sebab, kasus ini tak memengaruhi operasional PT IP. Pasokan gas untuk kebutuhan listrik tetap lancar.

 

Sementara itu Humas PT Pelindo III Regional Bali Nusra Siti Juairiah enggan memberikan komentar panjang terkait kasus tersebut. Dia hanya mengatakan PT Pelindo III tidak akan memghalang-halangi proses yang sedang berlangsung di kepolisian. 

 

“Sepengetahuan saya, belum ada manajemen yang dipanggil untuk dimintai keterangan terkait kasus itu,” ungkap Siti Juairiah saat didatangi wartawan di Kantor PT Pelindo III di Kawasan Pelabuhan Benoa Selasa siang (20/4).

Artikel Terkait

Terpopuler

Artikel Terbaru

/