DENPASAR – Kecaman atas putusan Presiden Joko Widodo (Jokowi) atas pengampunan hukuman terhadap I Nyoman Susrama, dalang pembunuhan wartawan Jawa Pos Radar Bali, semakin kencang.
Langkah Jokowi yang mengubah hukuman Susrama dari seumur hidup menjadi hanya 20 tahun dinilai tidak tepat dan terkesan berbau politis.
Apalagi mendadak pemerintah merubah istilah pengampunan Susrama dari grasi menjadi remisi. Ada apa sebenarnya?
Ahli hukum pidana Universitas Udayana (Unud), I Gusti Ketut Ariawan, mengaku belum menemukan dasar hukum yang jelas terkait penggunaan kata remisi dalam perubahan hukuman seumur hidup menjadi 20 tahun penjara.
Remisi sendiri memiliki arti pengurangan hukuman. Sementara grasi adalah pengampunan. Bedanya, jelas Ariawan, remisi diberikan pada napi tapi tidak mengakui kesalahannya.
Sementara grasi diberikan berdasar permohonan dan terdakwa mengakui kesalahannya. Masalahnya, selama menjalani persidangan Susrama mengaku tidak bersalah.
Bahkan, adik mantan Bupati Bangli I Nengah Arnawa itu memberikan keterangan berbelit-belit.
“Fakta – fakta di persidangan kan sudah jelas, yang bersangkutan dinyatakan bersalah berdasar bukti dan keyakinan hakim,” tukasnya.
Selain itu, pemberian remisi cukup ditandatangani Menteri Hukum dan HAM. Tidak perlu sampai presiden. Sementara grasi itu mutlak diberikan Presiden.
Dilihat dari jenis remisi, lanjut Ariawan, ada remisi umum dan khusus. Remisi umum diberikan saat hari kemerdekaan RI, dan remisi khusus diberikan saat hari besar keagamaan.
Ada juga remisi kemanusiaan karena napi sudah berusia 70 tahun dan bagi mereka sakit berkepanjangan.
Semetara remisi tambahan diberikan karena napi sudah melakukan kegiatan yang bermanfaat untuk negara dan membantu kegiatan bermasyarakat di lapas.
Melihat jenis-jenis remisi yang ada, Ariawan melihat tidak berlaku untuk pidana penjara seumur hidup ata pidana mati.
“Kalau terpidana seumur hidup atau pidana mati mendapat pengampunan itu namanya grasi,” jelasnya.
“Dalam undang-undang tentang grasi presiden yang memberikan. Apakah seharusnya presiden memberi remisi?
Sementara cukup diteken Menteri Hukum dan HAM,” tandas akademisi yang kerap menjadi saksi ahli dalam berbagai kasus pidana besar di Bali itu.