28.4 C
Jakarta
30 April 2024, 5:02 AM WIB

Aktivis Sebut Kasus Susrama Jokowi Kurang Cermat, Remisi Layak Dicabut

DENPASAR – Keputusan Presiden (Keppres) Nomor 29/2018 tentang pemberian remisi penjara seumur hidup menjadi pidana sementara (20 tahun) kepada 115 orang narapidana, salah satunya I Nyoman Susrama sebenarnya bisa dicabut.

Semua tergatung pada keberanian Presiden Joko Widodo (Jokowi) merespons aspirasi dan tuntutan publik.

Apalagi setelah mendapat respons yang kuat dari publik agar Presiden Jokowi segera mencabut Keppres.

Yang paling penting, pemidanaan Susrama bukan kasus biasa bukan semata-mata berdimensi HAM dan konstitusional, yaitu masa depan demokrasi.

Ini karena pers merupakan pilar keempat demokrasi. Hak warga negara atas informasi yang akurat teracam hilang.

Selain syarat-syarat formal, hal lain yang harus dipertimbangkan adalah kepentingan publik. Hal itu yang semestinya menjadi pertimbangan utama presiden menganulir atau mencabut Keppres.

Kejadian ini juga harus dijadikan pembelajaran khusus, saat hendak memberikan remisi napi seumur hidup, maka Presiden harus hati-hati.

Presiden ketika mendapat pengajuan remisi jangan asal tandatangan. Semua harus dipelajari secara seksama alasan kenapa napi dihukum seumur hidup.

Ditegaskan, pemerintah harus berpikir lebih luas tidak hanya normatif dan formalitas. “Susrama ini kan kejahatan yang luar biasa. Dia melakukan pembunuhan berencana

terhadap jurnalis yang sedang membongkar kasus publik. Saya khawatir kalau remisi tidak dicabut, potensi pengulangan akan tinggi. Jurnalis ketakutan menjalankan tugasnya,” ujar praktisi hukum I Wayan “Gendo” Suardana.

Gendo juga mengecam keras Yasona yang menyebut Susrama sudah memenuhi syarat mendapat remisi karena sudah berkelakuan baik selama di dalam penjara.

Menurut Gendo, apakah ada jaminan sistem pemasyarakatan di dalam rutan atau lapas benar-benar bersih.

Dia mencontohkan kasus sejumlah tahanan bisa keluar penjara dengan memberikan uang tertentu pada Kalapas atau Karutan.

Hal itu menunjukkan sistem pemasyarakatan di Indonesia belum bersih. “Apakah ada ukuran mutlak bahwa Susrama benar-benar berkelakukan baik? Tentu patut diragukan juga penilaian itu,” sindirnya.

Gendo kembali mengingatkan dampak publik dari remisi juga harus diperhitungkan. Yang harus dipertimbangkan adalah kinerja penegak hukum dan lembaga peradilan.

Dalam kasus pembunuhan Prabangsa, aparat penegak hukum, polisi, jaksa, hingga hakim bekerja keras membuktikan kejahatan yang dilakukan Susrama adalah pembunuhan berencana.

Namun, setelah diajtuhi hukuman seumur hidup tiba-tiba menjadi 20 tahun penjara, maka sirna kerja keras aparat penegak hukum.

“Saya melihat lembaga pemasyarakatan hanya menggunakan pertimbangan normatif dan teknis administrasi saja. Di sini letak ketidakadilannya,” tukasnya. 

DENPASAR – Keputusan Presiden (Keppres) Nomor 29/2018 tentang pemberian remisi penjara seumur hidup menjadi pidana sementara (20 tahun) kepada 115 orang narapidana, salah satunya I Nyoman Susrama sebenarnya bisa dicabut.

Semua tergatung pada keberanian Presiden Joko Widodo (Jokowi) merespons aspirasi dan tuntutan publik.

Apalagi setelah mendapat respons yang kuat dari publik agar Presiden Jokowi segera mencabut Keppres.

Yang paling penting, pemidanaan Susrama bukan kasus biasa bukan semata-mata berdimensi HAM dan konstitusional, yaitu masa depan demokrasi.

Ini karena pers merupakan pilar keempat demokrasi. Hak warga negara atas informasi yang akurat teracam hilang.

Selain syarat-syarat formal, hal lain yang harus dipertimbangkan adalah kepentingan publik. Hal itu yang semestinya menjadi pertimbangan utama presiden menganulir atau mencabut Keppres.

Kejadian ini juga harus dijadikan pembelajaran khusus, saat hendak memberikan remisi napi seumur hidup, maka Presiden harus hati-hati.

Presiden ketika mendapat pengajuan remisi jangan asal tandatangan. Semua harus dipelajari secara seksama alasan kenapa napi dihukum seumur hidup.

Ditegaskan, pemerintah harus berpikir lebih luas tidak hanya normatif dan formalitas. “Susrama ini kan kejahatan yang luar biasa. Dia melakukan pembunuhan berencana

terhadap jurnalis yang sedang membongkar kasus publik. Saya khawatir kalau remisi tidak dicabut, potensi pengulangan akan tinggi. Jurnalis ketakutan menjalankan tugasnya,” ujar praktisi hukum I Wayan “Gendo” Suardana.

Gendo juga mengecam keras Yasona yang menyebut Susrama sudah memenuhi syarat mendapat remisi karena sudah berkelakuan baik selama di dalam penjara.

Menurut Gendo, apakah ada jaminan sistem pemasyarakatan di dalam rutan atau lapas benar-benar bersih.

Dia mencontohkan kasus sejumlah tahanan bisa keluar penjara dengan memberikan uang tertentu pada Kalapas atau Karutan.

Hal itu menunjukkan sistem pemasyarakatan di Indonesia belum bersih. “Apakah ada ukuran mutlak bahwa Susrama benar-benar berkelakukan baik? Tentu patut diragukan juga penilaian itu,” sindirnya.

Gendo kembali mengingatkan dampak publik dari remisi juga harus diperhitungkan. Yang harus dipertimbangkan adalah kinerja penegak hukum dan lembaga peradilan.

Dalam kasus pembunuhan Prabangsa, aparat penegak hukum, polisi, jaksa, hingga hakim bekerja keras membuktikan kejahatan yang dilakukan Susrama adalah pembunuhan berencana.

Namun, setelah diajtuhi hukuman seumur hidup tiba-tiba menjadi 20 tahun penjara, maka sirna kerja keras aparat penegak hukum.

“Saya melihat lembaga pemasyarakatan hanya menggunakan pertimbangan normatif dan teknis administrasi saja. Di sini letak ketidakadilannya,” tukasnya. 

Artikel Terkait

Terpopuler

Artikel Terbaru

/