DENPASAR – Jika Kejari Badung memberi kado indah saat peringatan Hari Bakti Adhyaksa (HBA) ke-60 dengan menuntaskan penyidikan
kasus korupsi LPD Kekeran, Abiansemal senilai Rp 5,2 miliar, kinerja ironis justru ditunjukkan saudara tuanya, yaitu Kejari Denpasar.
Bagaimana tidak, bertepatan dengan puncak HBA yang jatuh pada 22 Juli, Kejari Denpasar “lempar handuk” alias menyerah dalam pengembangan pengusutan kasus korupsi dana silpa APBDes 2017, Desa Dauh Puri Klod, Denpasar Barat.
“Untuk sementara (kasus Dauh Puri Klod) dianggap selesai,” ujar Kajari Denpasar, Luhur Istighfar usai memberikan keterangan pers peringatan HBA.
Menurut Luhur, alasan dihentikannya pengembangan kasus ini karena terdakwa Ni Luh Putu Ariyaningsih (kini terpidana), sudah mengembalikan kerugian negara Rp 700 juta lebih.
Dalam sidang, lanjut Luhur, terpidana juga sudah mengakui bertanggungjawab atas semua kerugian negara.
“Otomatis selesai. Tapi, kalau ada alat bukti baru laporan dari masyarakat bisa kita tindaklanjuti,” imbuh Luhur.
Penghentian pengembangan kasus ini tak ubahnya Kejari Denpasar menelan ludah sendiri. Sebab, dalam mendakwa terdakwa Ariyaningsih, penuntut umum mencantumkan Pasal 55 ayat (1) KUHP.
Penuntut umum yang dikomandoi Kasi Pidsus I Nengah Astawa melihat adanya keterlibatan pihak lain.
Terdakwa Ariyaningsih yang berstatus sebagai bendahara desa tidak berdiri sendiri dalam mengorupsi uang negara. Ada pihak lain yang turut serta atau bersama-sama menyalahgunakan uang negara.
Dan, Pasal 55 itu disetujui hakim dalam persidangan. Dalam amar putusannya, majelis hakim yang diketuai I Wayan Gede Rumega menyatakan
terdakwa Ariyaningsih terbukti melanggar Pasal 3 juncto Pasal 18 Tipikor juncto Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP juncto Pasal 64 ayat (1) KUHP.
Berdasar Pasal 55, hakim menyatakan Ariyaningsih tidak sendiri dalam bertindak. Namun, setelah tuntutan dikabulkan, Kejari Denpasar justru membuang muka.
Ditanya Pasal 55 yang sudah menjadi putusan pengadilan, Luhur berdalih tidak menemukan adanya keterlibatan pihak lain.
“Terdakwa saat proses penyelidikan dan penyidikan menyebut ada keterlibatan pihak lain. Tapi, dalam sidang itu tidak terbukti. Bahkan, dibantah. Terdakwa bilang semua dilakukan sendiri,” kelitnya.
Luhur mengklaim jaksa tidak berpihak pada siapapun. Karena fakta di persidangan tidak muncul nama lain, maka keterlibatan pihak lain dianggap tidak bisa dibuktikan.
“Lepas dari terdakwa pasang badan atau bagaiman, itu bukan ranah kami. Yang jelas, kami sudah mengorek,” dalihnya lagi.
Di lain sisi, penghentian pengembangan kasus ini sontak menuai kecaman dari warga Desa Dauh Puri Klod.
Warga yang melaporkan kasus ini, I Nyoman Mardika mengaku sangat kecewa bercampur geram terhadap kinerja Kejari Denpasar.
Dikatakan Mardika, alasan terdakwa mengakui melakukan perbuatan sendirian bukan alasan untuk menghentikan perkaranya.
Pasalnya, berdasar pemeriksaan di pengadilan dan dalam putusan hakim, korupsi Dauh Puri Klod dilakukan secara bersama-sama.
“Putusan pengadilan ini nilainya lebih tinggi dari sekedar pengakuan bendahara,” sentil Nyoman Mardika.
Dikatakan Mardika, dalam perkara pidana yang diancam hukum itu adalah perbuatan yang memiliki unsur kesalahan di dalamnya.
Pelaku korupsi yang telah mengembalikan kerugian keuangan negara tidak pantas untuk dihentikan penyidikan atau penuntutannya.
Hal itu bertentangan dengan ketentuan Pasal 4 UU Nomor 20/2001. “Sedangkan pengembalian kerugian keuangan negara hanya merupakan unsur yang
meringankan hukuman bagi tersangka/terdakwa. Bukan menyetop pengusutan,” sindir pria yang juga kepala dusun ini.
Ditambahkan, dalam hal tugas dan kewenangan penyidikan kejaksaan sebagaimana diatur dalam Pasal 30 UU Nomor 16/2004 tentang Kejaksaan Republik Indonesia,
jaksa bertugas melaksanakan penetapan hakim dan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap.
“Saya sebagai warga Desa Dauh Puri Klod sangat kecewa dengan kinerja Kejari Denpasar. Putusan pengadilan sudah jelas ada peran serta pihak lain. Tapi, itu diabaikan,” pungkasnya.